Catatan Kecil 6 Tahun ISC-ReCAAP



Lembaga Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ship in Asia (ReCAAP) pada 4 September lalu tepat berusia enam tahun, jika dihitung berdasarkan tanggal dioperasikannya Information Sharing Center/ISC milik lembaga tersebut di Singapura. Jika dihitung berdasarkan masa ketika ReCAAP digagas pertama kali, institusi ini telah berusia delapan tahun. Sebab, pembahasan tentang pendirian organisasi internasional ini sudah dimulai sejak 2004.
Sejak pertama didirikan, ISC adalah lembaga yang konsisten dalam menerima dan menyebarluaskan informasi terkait aksi-aksi kejahatan terhadap kapal di seantero perairan Asia ke berbagai instansi penegakan hukum di laut di kawasan itu. Sumber Informasi ISC adalah informasi yang diterima langsung dari pemilik kapal atau bahkan dari KRU yang menjadi korban kejahatan melalui sebuah sistem TI yang canggih. Selain itu, ISC juga melakukan analisis terhadap berbagai kejahatan terhadap kapal seperti tren, profil pelakunya, dll serta menyiapkan petunjuk mengenai langkah-langkah praktis pencegahannya untuk pemilik dan ABK.
Sehubungan dengan hal itu, ReCAAP sedang menyiapkan sebuah manual pencegahan tindak kejahatan terhadap kapal tunda (tug boat) dan akan terbit akhir tahun ini. Diterbitkannya manual tersebut karena  tug boat merupakan jenis yang paling rawan terhadap aksi kejahatan di laut. Selama Januari hingga Agustus tahun 2012, menurut statistik lembaga itu, telah terjadi sembilan insiden yang melibatkan kapal jenis ini.


Sikap Indonesia
Lantas, bagaimana sikap Indonesia terhadap ReCAAP dan ISC-nya? Menjelaskan sikap Indonesia terkait lembaga internasional tersebut bisa diungkapkan dari dua tahapan, yakni fase 2004 dan fase 2006. Pada fase pertama, Indonesia terlibat cukup intensif dalam berbagai pertemuan pendirian ReCAAP yang telah dilontarkan oleh PM Jepang Junichiro Koizumi sejak 2001. Secara politis, Jepang merasa perlu ReCAAP eksis untuk mengamankan kepentingannya di Selat Malaka yang menjadi rute utama bagi kapal-kapal mereka.
Tapi, Selat Malaka yang aman bukan hanya kepentingan Negeri Sakura tapi juga menjadi perhatian negara pengguna (user state) lainnya seperti Cina, Korea, AS, dan lainnya serta, tentu  saja,  tiga negara selat, yakni Indonesia¸ Malaysia dan Singapura. Anggota ASEAN lainnya terlibat pula dalam pembahasan pendirian ReCAAP. Jadi, keberadaan lembaga ini sebetulnya mendapat respon penuh dari berbagai negara di Asia, kecuali kelak, pada 2006, Indonesia dan Malaysia tidak ikut bergabung di dalamnya.
Pada fase kedua, 2006, sikap Indonesia berubah. Saat ISC-ReCAAP dioperasikan di Singapura, Indonesia tidak terlibat sama sekali. Langkah ini diikuti oleh Malaysia walaupun dengan alasan yang berbeda dengan Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan kemaritiman regional, Indonesia menarik diri dari ReCAAP karena proposalnya untuk menjadi host country Information Sharing Center/ISC ditolak. Adapun penolakan ini dikarenakan Indonesia tidak bersedia urunan dana untuk pembangunan fasilitas ISC dan biaya operasionalnya.
Kesempatan tadi disambar oleh Singapura. Itulah mengapa kini ISC-ReCAAP berkantor di Negeri Singa. Sementara Malaysia menarik diri dari forum ini karena alasan yang bersifat politis. Secara resmi, mundurnya Indonesia dari forum ReCAAP didasari sikap politik nasional yang tidak ingin masalah Selat Malaka di-internasionalisasi dan ReCAAP adalah salah satu bentuk upaya internasionalisasi. Jika urusan Selat Malaka ingin dibicarakan, maka pihak yang paling berhak adalah Malaysia, Singapura dan Indonesia sebagai negara selat (littoral state).
Sejak 2006, sikap Indonesia terhadap ReCAAP boleh dibilang “akrab tidak, bermusuhan juga tidak”. Hal ini tercermin  dari kehadiran kita dalam berbagai forum yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut terbatas hanya sebagai undangan saja. Tidak pernah Indonesia mau duduk semeja dengan ReCAAP membahas masalah kejahatan maritim, entah itu piracy, armed robbery dan sebagainya yang kerap diadakan oleh manajemen ReCAAP maupun  organisasi lainnya.
Sebagai sebuah sikap politik, apa yang dilakukan Indonesia sah-sah saja. Malaysia pun tidak masuk sebagai anggota ReCAAP. Hanya saja, seperti diungkapkan Deputi Direktur ReCAAP, Nicholas Teo yang menyambangi Namarin belum lama berselang, negeri jiran tersebut lebih kooperatif terhadap ReCAAP yang dibuktikan dengan makin intensifnya komunikasi mereka melalui instansi coast guard Malaysia (MMEA). Malaysia juga makin terbuka dalam membagi informasi kepada kami, kata Nicholas Teo.
Indonesia nampaknya agak sedikit sulit mengikuti jejak Malaysia dalam keterbukaan informasi kepada ReCAAP. Pasalnya, Indonesia tidak mengakui adanya piracy (perompakan)  dan armed robbery atau perampokan bersenjata terhadap kapal. Bagi kita, perompakan adalah kejahatan seperti yang didefinisikan di dalam UNCLOS 1982 pasal 101. Sementara armed robbery itu hanya pencurian biasa. Jadi tidak perlulah hal tersebut disampaikan kepada pihak lain, apalagi lembaga asing.
 oleh:  Moh Yasin, Kepala Pusat Informasi Keamanan Maritim Indonesia-Namarin (PIKMI)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?