Langsung ke konten utama

Memperkuat Diplomasi Maritim Indonesia



Indonesia kembali mencalonkan diri sebagai anggota Dewan atau Council Organisasi Maritim Internasional (IMO) Periode 2013-2015 dalam pemilihan dalam Sidang Majelis IMO ke-28 di London, Inggris, 25 November-4 Desember 2013. Dalam sidang Majelis IMO tahun 2011, Indonesia meraih peringkat ke dua dengan jumlah suara 128 pemilih. Angka tersebut hanya berbeda sedikit dengan peringkat satu, yaitu Singapura yang mendapat dukungan 131 suara.

Untuk mewujudkan keinginan itu, Indonesia tengah berupaya menggalang dukungan dari negara-negara anggota IMO, antara lain dengan menyelenggarakan pertemuan pertengahan September di kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Acara ini dihadiri perwakilan negara-negara anggota IMO, pejabat-pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan juga anggota-anggota asosiasi. 

Mereka antara lain berfungsi sebagai tim lobi. Sekedar catatan, telah menjadi Indonesia angota organisasi badan di bawah naungan PBB tersebut sejak 1961 dengan status kategori C yang disandang sejak 1971.
Konvensi IMO Amendemen 1993 mengatur anggota Council IMO dikelompokan tiga kategori, yaitu A, B dan C. Jumlah anggota dewan keseluruhan mencapai 40 negara dengan komposisi 10 negara kategori A, 10 negara kategori B dan 20 negara kategori C. 

Anggota Dewan kategori A merupakan negara-negara yang memiliki kepentingan terbesar dalam dalam memfasilitasi jasa pelayaran internasional. Di kelompok ini ada China, Yunani, Italia, Jepang, Norwegia, Rusia, Inggris dan AS.

Anggota dewan kategori B adalah negara-negara dengan kepentingan terbesar  dalam perdagangan maritim. Sementara kategori C terdiri dari negara-negara yang bukan kategori A dan B namun memiliki kepentingan khusus dalam transportasi maritim dan navigasi pelayaran. Di samping itu, mereka dipilih juga untuk melengkapi prinsip keterwakilan dari berbagai belahan dunia.

 Atase eselon III

Walaupun Indonesia menyandang sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tetap saja kita hanya saja merupakan anggota kategori C hingga saat ini. Itulah sebabnya banyak pertanyaan muncul seputar masalah bagaimana kinerja diplomasi kita di IMO.

Selama ini, kendati yang menjadi permanent representative atau wakil tetap Indonesia di IMO adalah duta besar RI di London. Namun dalam pelaksanaannya, yang menghadiri sebagian besar sidang IMO adalah atase perhubungan (Athub) dengan posisi sebagai alternate representative. Sepertinya di situlah persoalannya.

Atase hanyalah pejabat eselon III dengan kewenangan yang terbatas. Padahal, ia harus menghadiri sidang-sidang IMO yang berlangsung 36-40 minggu setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, RI menempatkan duta besar di UNESCO. Beberapa negara anggota IMO lainnya pun mempunyai perwakilan setingkat duta besar.

Sebagai pembanding, Malaysia yang baru pertama kali terpilih sebagai anggota IMO pada tahun 2005, menempatkan personel dengan kualifikasi kelas satu. Malaysia pernah tercatat menempatkan mantan/pensiunan Direktur Jenderal Marine Department (setingkat direktur jenderal perhubungan laut). Dengan pengalamannya perwakilan Malaysia di IMO dapat berperan aktif dalam pembahasan setiap isu.

Posisi diplomasi maritim RI yang hanya berstatus atase tadi diperparah dengan proses pemilihan seorang pegawai Kemenhub menjadi Athub. Athub seringkali berupa hadiah “hiburan” bagi pejabat-pejabat yang tidak berhasil memperoleh posisi di eselon II di kantor pusat. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik, bahkan terbukti dengan bahasa Inggris yang sangat rendah. 

Karenanya, kerap muncul kesenjangan dalam berkomunikasi dengan mitra. Misalnya saja salah menyampaikan statement tentang posisi Indonesia, dan bahkan banyak juga yang malah tidak berani berbicara. Kondisi inilah yang tampaknya menyebabkan kita tidak bisa mengambil keuntungan dengan posisi sebagai negara maritim terbesar di dunia.


Karena itu, tampaknya posisi Athub perlu dikaji ulang. Titik berangkatnya adalah menempatkan atase 

perhubungan personel kelas satu, bukan Athub hanya diposisikan sebagai orang yang mengurusi pejabat 

Kemenhub yang sedang dinas ke luar negeri. Kalau perlu, status perwakilan kita di IMO dinaikan dari sekadar 

Athub menjadi duta besar seperti yang sudah kita terapkan di UNESCO dan PBB.


Diterbitkan dalam harian KONTAN, edisi 10 Oktober 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?