Poros Maritim Dunia: Now or Never

Tahun ini, tepatnya Oktober lalu, visi maritim pemerintah genap berusia tiga tahun. Banyak artikel seputar evaluasi eksistensi kebijakan tersebut ditulis di media. Berbagai forum dialog pun  tak ketinggalan dihelat dengan tujuan yang sama. Sebagian besar menilai bahwa poros maritim dunia (PMD) telah sukses dalam menekan disparitas harga antara Jawa dan luar Jawa. Bagi mereka sepertinya PMD diidentikan dengan tol laut.
Bagi sebagian lain, yang jumlahnya juga besar, PMD dievaluasi masih jauh dari berhasil, termasuk proyek tol laut. Kelompok ini dapat digolongkan sebagai kelompok holistik karena melihat PMD dari sudut pandang yang lebih luas, tidak hanya tol laut. Tentu mereka punya alasan untuk ini. Bila merujuk kepada penjelasan poros maritim dunia, ada tujuh pilar yang menjadi sokoguru visi ini. Sebelumnya hanya ada lima pilar saja.
Pilar tersebut meliputi pengelolaan sumberdaya kelautan dan pengembangan sumberdaya manusia, pertahanan-keamanan-penegakan hukum dan keselamatan di laut, tata kelola dan kelembagaan kelautan, ekonomi-infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, budaya bahari, dan diplomasi maritim. Dari tujuh pilar ini tol laut nampaknya berada dalam kelompok ekonomi-infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan. Entahlah.
Namun, yang jelas, tol laut tidak sama dengan PMD. Sehingga, jika tol laut dinyatakan sukses – walaupun klaim ini amat sangat bisa dijungkirbalikan – maka tidak dengan sendirinya pilar-pilar lain menorehkan kesuksesan yang sama pula. Mengapa klaim kesuksesan program tol laut dapat dijungkirbalikan ? Jawabannya cukup sederhana: logika yang dipakai untuk membenarkan kesuksesan tol laut memiliki kesesatan berpikir (fallacy) yang lumayan fatal.
Begini penjelasannya. Pemerintah menyebut bahwa program tol laut telah mampu menekan disparitas harga antara pulau Jawa dan luar Jawa. Berarti, pemerintah menganggap pelayaran (baca: freight atau ongkos angkut) menjadi penyebab utama mahalnya harga komoditas di luar Jawa. Padahal, porsi sektor ini dalam pembentukan harga barang tidak banyak, berkisar antara 10 hingga 15 persen.
Menganggap pelayaran sebagai biang kerok mahalnya harga jual barang, pemerintah akhirnya meluncurkan serangkain subsidi untuk jasa ini. Mulai dari subsidi bunker (BBM) dan  port duesatau biaya pelabuhan. Tak ketinggalan, pemerintah juga membangun kapal-kapal baru yang di lambungnya ditulisi kalimat “tol laut”. Armada ini dioperasikan oleh BUMN pelayaran PT PELNI. Subsidi yang pertama sudah menyundul angka 200 milyar rupiah lebih sementara subsidi kedua juga tidak sedikit rupiahnya.

Now or Never
Lalu, bagaimana dengan pilar-pilar yang lain? Banyak penjelasan yang sudah beredar di jagat media terkait masih kedodorannya bidang-bidang lain poros maritim dunia (PMD). Sebetulnya kalimat yang benar bukan masih kedodoran. Pilar-pilar itu tidak bergerak sama sekali. Bahkan, seorang menteri Kabinet Kerja sempat angkat suara dengan mengatakan bahwa PMD cuma slogan doang.
Ia melihat PMD tidak memiliki cetak biru pada level nasional sehingga semua kementerian berjalan dengan programnya masing-masing tanpa mengarahkannya untuk mewujudkan visi tersebut. Seharusnya, kata sang menteri, setiap kementerian diwajibkan mengalokasikan anggaran mereka bagi program kerja yang sejalan dengan konsep Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Kalau begitu ceritanya, malang sekali kondisi poros maritim dunia. Pada satu sisi ia merupakan visi atau program utama Presiden Joko Widodo yang dengannya Presiden berhasil mendulang dukungan dari komunitas kemaritiman nasional kala pilpres 2014. Namun,di sisi lain, PMD ternyata tidak dipersiapkan dengan baik oleh Presiden maupun timnya.
Kini, dalam sisa waktu dua tahun menjelang pemilu 2019, publik bertanya akankah program PMD ini berhasil membawa Indonesia ke tujuannya sebagaimana yang dijanjikan dahulu? Mereka wajar bertanya mengingat waktunya tinggal tahun ini. Now or never. Pasalnya, tahun depan, konsentrasi pemerintah, wabil khusus Presiden Joko Widodo, akan tersita untuk memenangkan pilpres 2019.
Dan, besar kemungkinannya dalam upaya menjadi presiden untuk kedua kalinya itu konsentrasi tidak diarahkan sepenuhnya kepada bidang kemaritiman lagi. Presiden barangkali akan lebih realistis melihat situasi yang berkembang selama ini di mana bidang kelautan memiliki karakteristik khusus. Ia tidak sama dengan bidang lainnya dan oleh sebab itu diperlukan treatment khusus.
Dan, yang paling penting, untuk memaritimkan Indonesia diperlukan waktu yang panjang, tidak bisa dalam lima tahun. Bahkan, sepuluh tahun sekali pun tidak akan cukup. Bangsa maritim yang ada di dunia saat ini menjadi dirinya yang sekarang dengan menghabiskan banyak waktu, tenaga, pemikiran dan lain sebagainya.
Masih ada waktu untuk memperbaiki poros maritim dunia kita. Asalkan yang menggagasnya juga fokus untuk menyukseskannya. Sekarang atau tidak sama sekali.
Diterbitkan dalam Akurat.co edisi Rabu, 8 November 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?