Memaknai Geliat Digitalisasi Pelabuhan Nasional

Dalam bulan Oktober, belasan pelabuhan di Tanah Air mulai menerapkan pelayanan kapal berbasis teknologi informasi. Dikenal dengan istilah Inaportnet, sistem ini memungkinkan operator pelabuhan yang mengaplikasikannya memberikan servis -dermaga, alat bongkar-muat dan armada truk pengangkut- secara lebih terukur bagi kapal yang akan sandar maupun yang akan berlayar kembali.
Di samping itu, penerapan Inaportnet -bersama kembarannya, Indonesia National Single Window (INSW)- dapat mengurangi tatap muka antara operator pelabuhan dan pengguna jasa sehingga peluang main mata yang berujung gratifikasi/korupsi bisa ditutup rapat. Last but not least, penggunaan kertas pun dapat ditekan seminimal mungkin karena hampir seluruh proses administratif terkait dengan kedatangan/keberangkatan kapal sudah online.
Penulis berkesempatan melihat salah satu pelabuhan yang menerapkan Inaportnet beberapa waktu lalu dan mengetahui bahwa implementasi sistem tersebut dikemas dengan istilah digital port. Karenanya, penerapan Inaportnet bolehlah disebut pula digitalisasi pelabuhan, suatu istilah yang saat ini amat terkenal. Dalam bahasa lain, penerapan Inaportnet di pelabuhan-pelabuhan di Tanah Air memang mengisyaratkan telah tibanya masa digital dalam bisnis kepelabuhanan nasional.
Memang agak sedikit terlambat bila dibanding negara lain. Singapura misalnya, negara ini sudah lebih dari satu dekade menerapkan pelayanan kapal berbasis teknologi informasi (TI). Kini, negeri tersebut tengah mempersiapkan sistem yang lebih maju yang memungkinkan interaksi para pihak – shipper, transporter, authorities - makin tokcer layaknya berbagai platform IT kekinian.

Quo vadis?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, satu hal sudah terang-benderang keberadaannya, yaitu penerapan teknologi digital tak terhindarkan dalam bisnis kepelabuhanan nasional. Lalu, kembali ke laptop, hendak ke mana (quo vadis) sektor pelabuhan kita dengan program Inaportnet yang ada? Apakah digitalisasi pelabuhan itu mengarah kepada praktik yang telah melahirkan transportasi online, belanja online, dan lain-lain? Apakah digitalisasi ini juga akan mendorong disruption sehingga bisnis pelayaran dan pelabuhan akan gulung tikar sebagaimana yang telah berlaku di bidang usaha ritel? Ataukah, ia tak lain hanya sebatas untuk mempermudah pelayanan kapal saja?
Memang digitalisasi pelabuhan nasional (INSW dan Inaportnet) masih terhitung balita, masih terdapat kekurangan di sana-sini. Umpamanya, kendati sudah online, proses penyandaran kapal di sebuah pelabuhan yang sudah menerapkan Inaportnet tetap memerlukan tatap muka untuk membahas rencana kedatangan kapal dengan melibatkan syahbandar, karantina, dsb. Sementara itu, penerapan INSW masih dihadapkan pada kenyataan tidak seluruh instansi pemerintah yang terkait dengan proses pengurusan dokumen barang terintegrasi di dalamnya. Belum lagi praktik koruptif yang melibatkan regulator, pelabuhan/terminal dan pemilik barang yang masih merajalela dalam proses pengurusan dokumen impor/ekspor.
Mumpung masih baru diterapkan, program digitalisasi pelabuhan nasional perlu disempurnakan dengan menutup celah yang ada agar manfaatnya betul-betul bisa dirasakan oleh insan kemaritiman/kelautan di Tanah Air. Juga, mengintegrasikanya supaya dapat tune-in dengan berbagai upaya pada level internasional. Dua satu tema besar dalam komunitas kemaritiman mondial adalah isu green ocean dan smart ocean. Dua elemen ini seperti dua sisi mata uang.
Secara umum, karena tidak ada definisinya, green ocean adalah konsepsi terkait pemanfaatan laut – pelayaran, pelabuhan, perikanan dan lainnya – dengan menerapkan filosofi hijau (green). Artinya, jika mengoperasikan kapal, pelabuhan atau bisnis perikanan sedapat mungkin menggunakan listrik dari pembangkit yang digerakan oleh energi terbarukan misalnya. Di sisi lain, filosofi hijau tadi akan lebih mantap lagi penerapannya jika smart technology dimanfaatkan sebesar-besarnya.
Teknologi itu mencakup peta navigasi digital, penggunaan GPS dengan akurasi tinggi dan berbagai aplikasi lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk kelautan ini (smart ocean) akan mendorong navigasi yang lebih selamat yang pada giliran selanjutnya akan mengurangi tingkat kecelakaan dan polusi dari kapal. Bagi operator pelabuhan, pemanfaatan teknologi akan membantu upaya mereka dalam menuju green port.
Sayangnya, dalam program digitalisasi pelabuhan nasional yang sudah berjalan masih belum terlihat dengan gamblang tahapan-tahapan (road map) menuju green ocean. Peta jalan diperlukan karena digitalisasi pelabuhan pada hakikatnya hanyalah satu elemen dari green ocean. Publik perlu tahu setelah digitalisasi pelayanan kapal di pelabuhan apa lagi yang akan dilakukan oleh operator pelabuhan, paling tidak pelabuhan besar, di Tanah Air. Bagaimana dengan program paperlessmereka? Atau, bila mereka akan beralih ke robot untuk proses bongkar-muat barang? Jadi, jangan berhenti sampai di digitalisasi pelayanan kapal atau dokumen.
Diterbitkan dalam Akurat.co edisi Senin, 30 Oktober 2017

Komentar

  1. Di-bawah-nya ada masalah2x seputar kebutuhan atas armada/dan kebutuhan atas project2x cargo..charter (beserta berbagai macam tipe2x-nya) yg kemudian muncul kombinasi antar tipe2x charter tsb. Validasi atas kepemilikan armada n armada-nya..serta legalitas cargo, dsb.
    Yang pada inti-nya IT bukan untuk mengganti-kan tapi untuk memperjelas..sehingga terdapat data2x..n dari data2x tsb bisa di-olah sedemikian rupa..utk perbaikan2x ke-dpn-nya.

    Best Regards,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?