War Risk Surcharge, JWC dan ISPS Code

Fakta yang diungkap oleh Indonesian Shipowners’ Association (INSA) ini cukup mengejutkan di tengah upaya Indonesia menjadi poros maritim dunia. Ternyata Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta masih dimasukan oleh Joint War Committee sebagai zona rawan perang atau war risk area dalam daftar hitam mereka yang dipublikasikan pada Desember 2015.

Indonesia sebetulnya tidak pernah keluar dari daftar hitam JWC. Sejak dimulainya pencatatan statistik perompakan oleh International Maritime Bureau (IMB) pada 1992, Indonesia terus ‘menghiasi’ senarai yang dikeluarkan oleh perkumpulan asuransi yang bermarkas di London, Inggris, tersebut. Hanya saja, daerah yang dinyatakan rawan perang berbeda setiap tahunnya.

Ketika Aceh masih berkutat dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, daerah tersebut dan perairan sekitarnya masuk dalam war risk area. Seiring dengan membaiknya suasana di Serambi Mekah, JWC mengeluarkan NAD dari daftar hitam mereka.

Di Kalimantan, Balikpapan pernah juga masuk dalam daftar. Sementara Tanjung Priok relatif bertahan sepanjang masa.

JWC menyebutkan aspek keamanan merupakan kriteria utama mengapa suatu area dimasukan ke dalam daftar hitam mereka: mulai dari yang ringan seperti pencurian barang-barang berharga milik ABK ketika kapalnya bersandar di pelabuhan, perampokan bersenjata (armed robbery), piracy, invasi, pemberontakan hingga ancaman senjata pemusnah massal.

Mana kala suatu daerah dinyatakan sebagai war risk area oleh JWC, para shipper yang akan mengirimkan barangnya ke sana akan dikenakan war risk surcharge (WRS). Asuransi ini memiliki dua komponen. Pertama, war risk liability yang mengkover orang dan properti yang ada di atas kapal dan dihitung berdasarkan jumlah kerugian. Kedua, war risk hull yang mengasuransi fisik kapal yang besar tanggungannya disesuaikan dengan nilai atau harga kapal. Adapun besar premi untuk kedua jenis asuransi ini tergantung tingkat stabilitas negara pelabuhan (port state); jika stabil, preminya kecil dan sebaliknya.

JWC dibentuk oleh berbagai firma asuransi yang ada di kota London dan khusus menjamin kapal-kapal yang melayari kawasan berbahaya. Karenanya digolongkan sebagai asuransi khusus. Biasanya asuransi ini ditambahkan ke dalam paket perlindungan yang selama ini sudah dimiliki oleh shipowner, yaitu hull and machinery (H&M) dan kargo. Di tengah dunia yang terus bergejolak akibat perang, kerusuhan dan lainnya yang bersifat non-navigational perils, asuransi war risk sudah sama pentingnya dengan dua asuransi tadi bagi pelaku usaha pelayaran global.


Berbeda dengan ISPS Code                


Kebijakan JWC menetapkan war risk area bukan hanya memicu reaksi dari negara yang terkena namun juga menimbulkan komplikasi dengan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code. Semua orang tahu Pelabuhan Tanjung Priok sudah mengantongi status ISPS Code comply tak lama setelah aturan IMO diberlakukan. Tetapi tetap saja dimasukan ke dalam zona rawan perang.

Sikap JWC  itu jelas memperlihatkan begitu sulitnya menembus dinding praktik bisnis yang mereka bangun. Jika Indonesia ingin melakukan perlawanan terhadap penetapan zona rawan perang seperti yang diusulkan INSA, barangkali membawanya ke forum arbitrase merupakan pilihan bias dipertimbangkan.

Tetapi, diabaikannya status sebuah pelabuhan yang sudah terakreditasi ISPS Code oleh JWC dapat dipahami. Pasalnya, penerapan ISPS Code di Indonesia masih menyisahkan banyak persoalan. Misalnya, masih bebasnya orang-orang yang tidak berkepentingan keluar-masuk pelabuhan. Ditambah lagi, adanya instalasi militer dalam area pelabuhan.

Dalam kasus Pelabuhan Tanjung Priok, terdapat fasilitas pergudangan milik TNI AD dan pangkalan kapal perang TNI AL. Bagi pelaku asuransi itu semua menaikkan risiko. Bagaimana jika fasilitas itu meledak?

Persoalan di muka diperparah dengan lemahnya drill oleh pengelola pelabuhan/terminal termasuk regulator. Sehingga, menimbulkan keraguan di kalangan stakeholder bagaimana bila situasi darurat terjadi di pelabuhan, apakah skenario yang sudah dipersiapkan bisa diterapkan sepenuhnya?

Jadi, ada banyak PR yang harus dikerjakan sebelum mendesak dikeluarkannya wilayah perairan atau pelabuhan nasional dari daftar hitam war risk area yang dikeluarkan oleh JWC.

Diterbitkan dalam koran KONTAN, Senin, 11 Juli 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?