Membedah Praktik Kapal ‘Kencing di Laut’


Dalam patroli rutinnya, Polisi Perairan (Polair) Polda Sumatera Selatan berhasil menangkap tangan sebuah tanker bernama MT Andhika Arsanti saat melakukan ship-to-ship transfer di perairan Sungai Musi.

Saat digerebek, kapal yang disebut media dibekingi orang kuat itu tengah memompa keluar 1.200 ton dari 54.310 barel minyak mentah milik Pertamina yang diangkutnya ke MT Merlion 2. Kejadian yang berlangsung dalam bulan puasa beberapa waktu lalu itu cukup mengejutkan kendati bukan yang pertama di Indonesia.

STS ilegal, dikenal dengan istilah ‘kapal kencing di laut’ oleh publik di Tanah Air, sudah acap terjadi sebelumnya. Pada 15 Desember 2011 misalnya, tanker Soechi Anindya ‘kencing di laut’ sebanyak 180 ton marine fuel oil (MFO) dari 5.200 ton milik PLN yang dipercayakan pengangkutannya kepada pelayaran tersebut di sekitar Kabupaten Meranti, Riau.

Adapun yang menjadi ‘urinoarnya’ adalah MT Fulfill. Lalu, di Pulau Karimun, Kepulauan Riau, tanker Jelita Bangsa juga ‘kencing di laut’ pada 3 Juni 2014. Mengangkut 59.507,66 metrik ton minyak mentah milik Chevron, kapal ini berhasil memindahkan sebanyak 1.000 metrik ton ke MT Ocean Maju. Bila MT Andhika Arsanti ditangkap oleh polisi, MT Soechi Anindya dan MT Jelita Bangsa dicokok oleh patroli Bea dan Cukai ketika tengah menjalankan aksi.

Dua Model

Apa yang disampaikan di muka merupakan kejahatan maritim khas Indonesia di mana pelaku kejahatan (perpetrator) adalah carrier atau transporternya sendiri. Di sisi lain, ada model lain -sebut saja model Selat Malaka. Karakteristiknya: kapal pengangkut BBM dibajak oleh pihak ketiga, dalam hal ini kelompok- kelompok lanun yang beroperasi sekitar Selat Malaka/ Singapura.

Sebelum merompak, mereka memantau dengan saksama tanker yang akan dijadikan target, mulai dari voyage plan hingga jenis dan jumlah muatan yang diangkut. Biasanya saat target masuk ke dalam ‘jebakan’ mereka yang terdiri dari gabungan suasana perairan yang sepi dan tak ada kapal patroli keamanan maritim milik coastal state berseliweran.

Mereka mendekati target dengan menggunakan speedboat atau sampan kayu yang dilengkapi outboard engine atau motor tempel dan ketika sudah berada di sisi freeboard (dinding kapal) dan kemudian melemparkan tambang atau menaikkan galah berpengait untuk mencapai dek anjungan. Setelah menguasai anjungan, gerombolan ini menyetir kapal menuju lokasi pertemuan dengan kapal penampung BBM yang sudah mereka atur sebelumnya. Tuntas mentransfer BBM, kapal dan krunya pun dilepas.

Menurut ReCAAP ISC, apa yang dilakukan oleh model Selat Malaka/Singapura disebut dengan siphoning. Sepanjang periode 2011-2014, telah terjadi 16 kali siphoning yang mayoritasnya TKP-nya adalah Selat Malaka/Singapura dan Laut China Selatan. Sementara jumlah BBM yang berhasil ditransfer dari setiap kapal yang dirampok berkisar dari 700-3.500 metrik ton.

Penegakan Hukum

Penegakan hukum terhadap praktik ‘kapal kencing di laut’ di Indonesia masih tertatih-tatih. Setiap penggerebekan yang berhasil memang dibawa ke meja hijau, namun putusannya sering kali tidak memberikan efek jera sehingga di lain waktu kejahatan yang sama diulang kembali.

Karena itu, dorongan dari stakeholder kemaritiman agar lebih serius dalam menangani ‘kapal kencing di laut’ ada benarnya. Ambil contoh proses hukum terhadap tanker Jelita Bangsa yang disebut sebelumnya.

Pihak Kantor Wilayah Bea dan Cukai Khusus Kepulauan Riau yang menangkapnya tidak transparan dalam memproses kapal itu. Dikabarkan oleh media, MT Jelita Bangsa malah tidak ditahan di Tanjung Balai Karimun. Di Jakarta, pihak operator kapal mengatakan bahwa proses investigasi telah selesai dan tidak ada kasus hukum yang ditujukan kepada Trada Maritime, sang operator.

Jikapun proses hukum berlanjut, sering kali yang menjadi pesakitannya hanyalah kru kapal, nakhoda beserta ABK-nya. Sementara itu, kapal yang menampung BBM curian berlayar tanpa tersentuh hukum. Kapalkapal penampung ini kebanyakan berbendera kemudahan (flag of convenience/FoC).

Di berbagai belahan dunia, kapal-kapal FoC rentan dipakai dalam aksi kejahatan maritim. Hal ini terjadi karena flag state (negara bendera) tidak pernah mengontrol mereka. Flag state tidak bisa mengontrol karena ia sering kali tidak tahu siapa owner sesungguhnya dari kapal- kapal yang mengibarkan bendera FoC.

Kebanyakan owner anonim atau menggunakan perusahaan cangkang alias shell company untuk mengurus FoC. Apa saja kemudahan yang ditawarkan oleh flag of convenience? Pajak adalah kemudahan pertama yang diberikan oleh FoC kepada para owner. Selain itu, ship owner juga dibebaskan dalam membayar gaji ABK, tidak ada standar upah minimum.

Yang dipraktikkan oleh negara kemudahan ini jelas bertentangan dengan Geneva Convention on the High Seas 1958 yang mengatur tentang perlunya ada hubungan yang asasi (genuine link) antara ship owner dan negara bendera. Karena itu, kapal-kapal ini sangat sering dipakai dalam tindak kejahatan.

Namun, ada dilema dengan FoC. Boleh jadi mereka melanggar berbagai aturan di bidang pajak, perburuhan dan lainnya tetapi para ship owner amat terbantu oleh open registry jutaan dolar tiap tahunnya.

Dalam bisnis pelayaran yang begitu kompetitif seperti saat ini, penghematan bernilai jutaan itu akan mampu memperpanjang nafas pengusaha pelayaran yang saat ini masih tersengal akibat didera oleh lesunya perekonomian dunia.

Sebagai negara yang memiliki cukup banyak ship owner Indonesia juga menyaksikan banyak di antara mereka yang mendaftarkan kapalnya kepada open registry. Bukan hanya perorangan, terdapat pula BUMN yang melakukan hal itu.

Itu artinya, pemerintah perlu memperhatikan kapal-kapal berbendera kemudahan yang dimiliki owner Indonesia dalam upaya memberantas praktik ‘kapal kencing di laut’.

Barangkali, dengan momentum tax amnesty yang saat ini sedangdijalankannya pemerintah bisa memikirkan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara bendera kemudahan. Ia bisa menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan jumlah armada kapal berbendera Merah Putih untuk angkutan barang ekspor-impor. Tentu saja hal yang tidak baik dari praktik FoC yang ada selama ini tidak ditiru. Semoga.

Dimuat dalam Koran SINDO, Senin, 25 Juli 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?