Memahami tata kelola maritim Jepang

 Jepang dan Indonesia berbagi predikat sebagai sama-sama negara kepulauan atau archipelagic state. Merujuk UNCLOS 1982, Artikel 46, negara kepulauan adalah a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other island (poin a). Sementara, yang dimaksud dengan archipelago adalah a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features forms an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such (poin b).

Dari sisi jumlah, pulau-pulau di Jepang hampir mencapai 7.000 dengan luas lautan sekitar 4 juta kilometer persegi (km²). Dibandingkan dengan Indonesia, Jepang jelas ‘tidak ada apa-apanya’. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan luas lautan lebih dari 5 juta km².

Namun, Jepang sudah lama melebihi Indonesia dalam berbagai sektor yang berhubungan dengan maritim, seperti pelayaran, pelabuhan, dan lainnya. Jepang sudah bertransformasi menjadi maritime power sementara negeri ini masih saja bertahan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.

Untuk menjadi Jepang seperti sekarang ternyata prosesnya relatif baru, sekitar 9 tahun. Jepang memang sudah melintasi masa lebih dari 100 tahun di bidang maritim, tapi hitungan 9 tahun penulis jadikan sebagai patokan kebangkitan maritim Jepang berdasarkan sudut pandang peraturan perundangan-undangan yang menjadi landasan tata kelola maritim (maritime governance) mereka.

Tata kelola maritim Jepang diatur dalam dua dokumen, yaitu Basic Act on Ocean Policy dan Basic Plan on Ocean Policy. Yang pertama berisikan aspek-aspek makro kebijakan kemaritiman seperti, antara lain tujuan yang ingin dicapai dan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah dalam memanfaatkan wilayah maritim. Sementara kedua memuat hal-hal teknis sebagai implementasi aturan perundang-undangan.

Basic Ocean  Act merupakan jawaban terhadap kondisi yang ada jauh sebelum UU itu diterapkan. Saat itu, pengelolaan maritim tersebar di berbagai lembaga dan kementerian dengan ego sektoralnya masing-masing. Tidak ada koordinasi di antara para pihak.

Ocean Policy Research Institute (OPRI) memainkan peran yang teramat sentral dalam penyusunan Ocean Policy Jepang karena lembaga yang berada di bawah naungan Sasakawa Peace Foundation ini adalah pihak yang membuat draf UU dan berbagai aktivitas lainnya hingga draf tersebut disahkan oleh Parlemen Jepang pada 27 April 2007.

Sinergitas dan integralitas
 
Kata kunci Ocean Policy Jepang adalah sinergitas dan integralitas. Kedua nilai ini disatukan langsung di bawah kendali Perdana Menteri yang membentuk Headquarters for Ocean Policy dalam Kantor Kabinet yang terdiri dari seluruh kementerian. Lembaga ini memiliki kewenangan memutuskan berbagai kebijakan kemaritiman Negeri Sakura. PM, siapa pun dia, sangat aktif dalam memantau implementasi berbagai kebijakan yang sudah diambil dalam rapat Headquarters.

Dari sisi kelembagaan, Indonesia memiliki ’kelebihan’ dibanding Jepang. Untuk institusi yang setara dengan Headquarters misalnya, kita memiliki Dewan Kelautan Indonesia (Dekin). Lembaga ini merupakan policymaker di bidang kemaritiman nasional. Kita juga membentuk Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya yang merupakan policymaker kemaritiman. Belum lagi lembaga lain yang pada derajat tertentu menjalankan perumusan kebijakan kemaritiman pula.

Semua lembaga yang disebutkan di muka menghasilkan banyak kebijakan, malah program/proyek, di bidang kemaritiman yang sayangnya tidak seluruhnya matching di antara mereka. Sinergitas dan integralitas yang merupakan elemen penting dalam perumusan kebijakan kemaritiman masih sebatas retorika. Apa yang menjadi penyebabnya? Jawabannya adalah leadership alias kepemimpinan. Jika di Jepang kepemimpinan nasional mereka merupakan tokoh utama dalam pengelolaan maritim, kepemimpinan nasional kita sepertinya terkesan ‘jauh’ dari bidang kemaritiman.

Padahal, Presiden Joko Widodo memiliki visi yang kuat di bidang maritim, yaitu poros maritim dan tol laut, sehingga semestinya tidak ada masalah dengan koordinasi dan arah kebijakan kemaritiman nasional. Ini berarti, Presiden tampaknya harus turun tangan langsung  mengendalikan ‘ritme permainan’ para pembantunya. 

Dimuat dalam harian KONTAN, Jumat, 26 Februari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?