10 TAHUN CABOTAGE. Open Registry: Mengapa Tidak?

Pada bulan Mei ini, tak terasa pemberlakuan asas cabotage di Indonesia sudah genap sepuluh tahun. Banyak pencapaian yang telah diraih oleh dunia pelayaran nasional dalam rentang waktu tersebut. Salah satunya adalah bertambahnya jumlah kapal nasional hingga lebih dari 13.000 unit saat ini. Cerita sukses asas cabotage tidak dapat dilepaskan dari peran pengusaha pelayaran yang tergabung dalam asosiasi pelayaran nasional, INSA, yang tak henti-hentinya mendesak pemerintah sepuluh tahun lalu untuk menerapkan kebijakan itu.

Di saat yang bersamaan, dalam sepuluh tahun itu pula telah terjadi banyak perubahan di tingkat nasional ataupun internasional yang pada gilirannya selanjutnya mempengaruhi penerapan asas cabotage. Pada level nasional, diperkenalkan program tol laut dan poros maritim oleh Presiden Joko Widodo, sementara pada level internasional, terutama di Amerika Serikat, ada upaya serius dari Senator John McCain untuk mengamandemen Jones Act dengan tujuan untuk mengakhiri praktek cabotage di sana. Pemerintah Tiongkok dilaporkan juga akan merevisi asas cabotage yang diterapkan di sana seiring menurunnya pertumbuhan ekonomi mereka.

Pertanyaannya kini, jika Indonesia terpaksa ‘mempensiunkan’ asas cabotage yang diterapkan karena lingkungan strategis berubah, apakah ada cara lain untuk mendongkrak pertumbuhan jumlah armada berbendera Merah-Putih atau, paling tidak, mempertahankannya? Jawabannya tentu saja ada, yaitu pemberlakuan kebijakan open registry.

Open Registry

Ide ini telah pernah dikemukakan oleh berbagai kalangan pada dekade 80-an hingga 90-an tapi tidak bersambut karena berbagai alasan. Open registry adalah kebijakan negara bendera (flag state) yang memberikan kesempatan kepada pemilik kapal dari seluruh dunia, tidak terbatas hanya kepada warga negara bersangkutan, untuk memakai benderanya. Biasanya kebijakan ini diikuti dengan menyediakan berbagai perlakuan khusus atau kemudahan.

Tetapi, jika Indonesia ingin menerapkan open registry, kemudahan yang diberikan harus terbatas pada bidang pajak, kepastian hukum dan lainnya.Jangan sampai kemudahan itu mengorbankan aspek keselamatan dan kondisi kerja bagi pelaut. Sebetulnya banyak negara yang menerapkan kebijakan tersebut untuk meningkatkan jumlah armadanya tanpa perlu mengorbankan aspek keselamatan dan kondisi kerja pelaut.
Belanda dan Norwegia adalah dua negara yang menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan itu ditempuh menyusul merosotnya jumlah armada sementara jumlah orang Belanda atau Norwegia pemilik kapal makin bertambah. Pada kasus kedua negara, pemerintahnya hanya mensyaratkan kepemilikan saham hingga 51 persen pada perusahaan yang kapalnya akan mengibarkan bendera Belanda atau Norwegia. Tetapi, persyaratan ini tentu negotiable.

Untuk mengikuti langkah yang telah diambil oleh kedua negara tersebut, Indonesia perlu segera menata ulang aturan perpajakan dan kepastian hukumnya agar para pemilik kapal mau mendaftarkan kebangsaan kapalnya dengan bendera Indonesia. Sebetulnya aturan hukum yang berlaku memberikan peluang untuk menjalankan kebijakan open registry. Menteri-menteri terkait tinggal mengeluarkan peraturan pelaksanaannya.

Pilihan menerapkan open registry perlu dipikirkan secara serius oleh pemerintah. Pasalnya, peluangnya terbuka lebar. Saat ini jumlah kapal di seluruh dunia makin meningkat seiring tingginya pergerakan muatan (freight). Kebanyakan kapal-kapal itu didaftarkan dalam bendera kemudahan (flag of convenience/FOC). Ada fenomena menarik di sini.

Mungkin karena kampanye rutin ITF/International Transport Workers’ Federation (bermarkas di Inggris) menentang keras perlakuan yang tidak manusiawi terhadap pelaut di atas kapal-kapal FOC di seluruh dunia, mulai muncul keinginan dari sebagian pemilik kapal untuk mengalihkan bendera kapalnya ke kebangsaan lain. Yang termasuk negara FOC, antara lain, Panama, Liberia, Belize. Peluang inilah yang mestinya ditangkap oleh pemerintah dengan menyediakan berbagai kemudahan bagi para pemilik kapal itu.

Karena kemudahan sejatinya bukan semata-mata untuk pelaku industri pelayaran saja, sebaiknya momentum menjaring pemilik-pemilik kapal mengganti bendera kapalnya juga dimanfaatkan untuk membenahi sektor lainnya. Bukankah perbaikan di sektor lain itu akan juga memberikan manfaat bagi industri pelayaran nasional?

Dukungan Akademis

Gagasan open registry bukan hanya gagasan kosong tanpa dukungan kajian ilmiah. Seorang peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Perhubungan pernah mengatakan bahwa sistem registrasi terbuka bisa menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan jumlah armada kapal berbendera Merah Putih untuk angkutan barang ekspor-impor. Namun, pelaku bisnis pelayaran dalam negeri dan sebagian pemerhati kemaritiman menolak gagasan open registry karena khawatir kebijakan itu dapat mengganggu penerapan asas cabotage yang telah diperjuangkan dengan susah payah.

Perdebatan seputar penerapan registrasi terbuka sesuatu yang lumrah. Hanya saja, akan lebih baik jika perdebatan itu juga melibatkan pihak lain mengingat wacana open registry amat sangat strategis untuk didiskusikan hanya oleh Kemenhub, pelaku industri pelayaran, pengamat dan pelaut. Karena menyangkut salah satu simbol negara, yakni bendera, pihak lain itu adalah Presiden RI. Kita membutuhkan keputusannya apakah Sang Merah Putih boleh dikibarkan di atas kapal yang dimiliki oleh orang asing atau tidak. Bentuknya bisa Instruksi Presiden atau Keputusan Presiden atau lainnya.

Salah satu dari sekian banyak bobot strategis yang melekat pada open registry adalah kemampuannya untuk menjadi entry point bagi Indonesia dalam merealisasikan jatidirinya sebagai poros maritim dunia. Dengan menerapkan open registry dapat dipastikan jumlah unit dan tonase kapal berbendera Indonesia, khususnya yang melayari samudera lepas (high seas), akan bertambah. Jika saat ini jumlah kapal nasional mencapai lebih dari 13.000 unit, dioperasikan oleh lebih dari seribu perusahaan pelayaran, dengan penerapan registrasi terbuka jumlah ini diharapkan akan bertambah dengan signifikan.

Jika tonase kapal nasional bertambah, Indonesia akan lebih pede (percaya diri) dalam berperan di komunitas maritim internasional, dalam hal ini IMO. Suka atau tidak suka, salah satu ukuran untuk dapat menentukan kebijakan dalam masyarakat maritim mondial adalah seberapa besar jumlah tonase kapal yang dimiliki oleh satu negara. Contohnya Panama. Ditinjau dari sudut potensi kemaritiman, negera yang terletak di benua Amerika ini tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia.

Tetapi, Panama duduk di Council IMO sebagai anggota dengan kategori A sementara Indonesia berada di kategori C. Posisi ini telah lama disandang oleh Panama, sejak 1958. Dengan kedudukannya itu Panama dapat dengan leluasa mempengaruhi berbagai proses pengambilan kebijakan di IMO dan mengarahkannya sesuai dengan kepentingan mereka. Panama adalah penyumbang dana operasional IMO terbesar, 15,80 persen dari total biaya yang dibutuhkan organisasi yang bermarkas di London, Inggris, ini setiap tahunnya. Kontribusi ini jauh di atas AS yang hanya 4,12 persen, atau Jepang yang hanya 5,23 persen.

Sementara, untuk mencapai posisi kategori C dan mempertahankannya, Indonesia harus “memeras keringat” melobi negara-negara anggota IMO lainnya, terutama yang berada di kategori A, dalam setiap sidang pemilihan anggota Council. November tahun ini adalah masanya pemilihan anggota Council IMO untuk periode berikutnya.

Mengapa Panama begitu powerful di IMO? Jawabannya terletak pada, salah satunya, jumlah tonase kapal yang dimiliki oleh negara itu. Menurut Lloyd’s statistics (Juni 1999), total tonase Panama mencapai 98,2 juta gross tonnage atau 18,5 persen dari total armada niaga dunia. Ini berarti, hampir tidak ada shipowner di dunia ini yang tidak mendaftarkan kebangsaan kapalnya dengan bendera Panama. Bahkan, shipowner Indonesia pun masih banyak yang mengibarkan bendera Panama di atas kapalnya. Dan, Panama adalah salah satu negeri yang menjalankan open registry.

Dengan makin banyaknya armada berbendera Indonesia, kendati tidak diharapkan, jika terjadi perang kita tidak akan terlalu repot menghadapi serangan musuh karena sudah memiliki jumlah kapal yang cukup untuk berperang atau mendukung peperangan. Tinggal dimobilisasi saja. Saatnya presiden melakukan terobosan dalam bingkai kebijakan kembarnya: tol laut dan poros maritim.

Dimuat dalam Jurnal Maritime Online: http://jurnalmaritim.com/2015/05/10-tahun-cabotage-open-registry-mengapa-tidak/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?