Menanti Revolusi di Pelabuhan



Jangan terkejut dulu membaca judul tulisan ini. Dan, tulisan ini tidak hendak diniatkan untuk memicu upaya perubahan berkecepatan tinggi itu di pelabuhan. Kendati, sebagai kawasan dengan tingkat pergesekan sosial yang tinggi, pelabuhan sebetulnya merupakan lahan yang subur bagi kemunculan revolusi dan sejarah dunia telah membuktikan hal ini. Salah satunya adalah revolusi yang diusung oleh Lech Walesa. Mantan presiden Polandia yang juga mantan buruh galangan kapal Lenin Shipyards itu melancarkan gerakan Solidarnosc-nya dari pelabuhan Gdanks.

Lalu, mengapa dipilih judul di atas? Karena, dalam konteks yang berbeda, revolusi kini memang diperlukan di pelabuhan. Adalah perubahan lingkungan strategis bisnis kepelabuhanan yang menyebabkan perlunya revolusi itu. Perubahan terjadi seiring dengan dioperasikannya kapal pengangkut peti kemas tipe triple E dalam 4 tahun terakhir oleh salah satu raksasa pelayaran dunia, Maersk Line.

Dengan kemampuan menggendong peti kemas lebih dari 18.000 twenty foot equivalent unit (TEU) kapal triple E jelas tidak akan bisa merapat di hampir sebagian besar pelabuhan utama dunia karena panjang dermaga dan alat bongkar muat peti kemas atau gantry crane yang ada tidak sesuai dengan dimensi kapal tersebut. Ambil contoh MV Maersk Mc-Kinney Moller, salah satu kapal tipe triple E yang dioperasikan oleh pelayaran itu, panjangnya mencapai 400 meter sementara lebarnya 59 meter dengan kapasitas muatan 18.250 TEU. Ini sih boleh dibilang ‘pulau berjalan’.

Saat ini, pelabuhan yang bisa melayani MV Maersk Mc-Kinney Moller dan ‘saudara-saudara kandungnya’ hanyalah Shanghai, Ningbo, Xiamen, Qingdao, Yantian, Hong Kong (semuanya di Cina). Untuk kawasan Asia Tenggara, Tanjung Pelepas, Malaysia dan Singapura, sementara di Asia Selatan adalah Kolombo, Srilanka. Di Eropa kontinental, pelabuhan Rotterdam, Gothenburg, Wilhelmshaven, Bremerhaven, Gdansk, Antwerp dan Algeciras. Southampton, Gateway dan Felixstowe adalah pelabuhan-pelabuhan yang mendapat kehormatan bisa melayani kapal tipe triple E di Inggris. Sayang, tidak ada satupun pelabuhan di benua Amerika yang mampu melayani mereka.

Selain MV Maersk Mc-Kinney Moller, pelayaran dari Denmark itu juga mengoperasikan beberapa unit kapal tipe triple E yang lain. Terdapat 14 unit kapal tipe yang sama yang menjadi ‘keluarga besar’ MV Maersk Mc-Kinney Moller, antara lain, Mary Maersk, Marie Maersk, dan Maersk Majestic. Rencananya perusahaan yang bermarkas di Kopenhagen itu akan membangun total 20 unit kapal peti kemas tipe triple E. Di samping Maersk, perusahaan pelayaran Prancis CMA-CGM dan Mediterranean Shipping Company (MSC) dari Italia juga mengoperasikan kapal-kapal peti kemas berbadan bongsor.

Walaupun pelabuhan-pelabuhan di atas telah mampu melayani kapal-kapal triple E dan kapal berbadan besar lainnya, namun kecepatan bongkar-muat peti kemas di sana masih belum bisa mengimbangi banyaknya peti kemas yang diharus dibongkar. Sehingga, waktu tunggu kapal di pelabuhan (dwelling time) membangkak hingga 50 persen, dari 12 hari menjadi 18 hari. Jadi, masalah congestion – istilah yang lebih lazim untuk menumpuknya peti kemas di pelabuhan -  yang tinggi bukan hanya dialami oleh pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, namun dihadapi pula oleh pelabuhan-pelabuhan world-class walaupun dengan pokok persoalan yang berbeda.

Terkait dengan kongesti tersebut, firma konsultasi kemaritiman internasional Drewry Maritime Research, dalam medianya Container Insight Weekly, mengatakan. “Kapal peti kemas 19.000 TEU itu lebih besar 50 persen dari pada kapal peti kemas 13.000 TEU. Namun, produktifitas bongkar-muat pelabuhan per hari hanya meningkat 20 persen karena gantry crane harus bergerak lebih jauh sesuai dengan lebarnya kapal tersebut. Jauhnya jarak jangkauan membuat jumlah total gerakan gantry crane yang ‘mengeroyok’ kapal peti kemas bongsor makin lambat. Idealnya, untuk kapal sebesar itu dibutuhkan kecepatan bongkar-muat antara 3.000-3.500 gerakan per hari.”

Di situlah perlunya revolusi di pelabuhan; revolusi peralatan bongkar-muat. Operator pelabuhan harus mampu meningkatkan produktifitas gantry crane mereka untuk melayani kapal-kapal peti kemas raksasa, menurut mantan CEO Maersk Line, Eivind Kolding, paling tidak menjadi 35 gerakan per crane. Gantry crane yang termutakhir saat ini masih mempergunakan teknologi post-Panamax yang bila dibandingkan dengan dimensi kapal-kapal tipe triple E sudah tidak memadai lagi. Jika kelak tipe kapal Malaccamax diadopsi oleh operator kapal peti kemas internasional, maka alat bongkar-muat peti kemas yang saat ini melayani triple E akan benar-benar out of date.

Indonesia masih amat jauh untuk terlibat dalam urusan melayani bongkar-muat si bongsor; kita masih berbicara kapal peti kemas berukuran 1.700 TEU hingga 3.000 TEU. Kendati dalam waktu yang tak terlalu lama lagi beberapa pelabuhan nasional akan bisa melayani freighter yang lebih besar, namun diperkirakan hanya berkisar antara 5.000 TEU atau paling banter 10.000 TEU. Sebuah pencapain yang patut diapresiasi. Tetapi, jangan sampai kita terlena. Revolusi dalam teknologi pembangunan kapal baru atau newbuilding berlari dengan kencangnya sementara teknologi alat bongkar-muat berlari-lari kecil saja.

Itu berarti, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kapal-kapal di bawah 13.000 TEU akan discrap alias dibesituakan agar keseimbangan armada kapal dunia tetap terjaga. Apakah kita siap mengantisipasi berkurangnya kapal-kapal kecil itu dan digantikan oleh kapal-kapal bongsor? Entahlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?