Membaca Peluang dan Tantangan Dalam Bidang Kemaritiman



Bidang kemaritiman nasional saat ini berada dalam kondisi yang sangat menggembirakan. Bagaimana tidak. Saat ini hampir semua orang membicarakan kemaritiman apa pun latar belakang mereka. Semuanya ini diawali dalam masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) yang lalu. Masing-masing calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subiyanto, berulang-ulang menyebut komitmen mereka untuk memajukan kemaritiman nasional jika menjadi presiden kelak.

Sebagaimana yang sudah diketahui, akhirnya Joko Widodo terpilih sebagai presiden RI ke-7. Program kemaritiman yang menjadi andalannya adalah tol laut dan poros maritim yang sampai saat ini masih terus diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Perdebatan berkisar, salah satunya, seputar masalah istilah kemaritiman dan kelautan. Sebagian besar anggota masyarakat mengidentikkan kemaritiman itu sama dengan perikanan, pariwisata bahari, riset kelautan dan sejenisnya. 

Tidak ada yang salah dengan semua bidang tersebut. Hanya saja, secara tradisional dan berlaku hampir merata di seluruh dunia, kemaritiman adalah pelayaran (shipping) yang didukung oleh pelabuhan, galangan kapal, pelaut dan perbankan serta asuransi yang kuat. Berikut contoh lembaga internasional yang menggambarkan bahwa kemaritiman itu lebih berat kepada pelayaran. International Maritime Organization (IMO) yang mengurusi pelayaran, International Maritime Law institute (IMLI) yang fokus pada hukum maritim/pelayaran. Sementara untuk kelautan di pakai istilah sea atau ocean: misalnya International Seabed Authority yang mengelola landas kontinen.

Terlepas dari kondisi di atas, bidang kemaritiman sejatinya menawarkan peluang bagi mereka yang ingin memanfaatkannya. Tetapi, tersimpan pula tantangan yang jika tidak diantisipasi bisa memadamkan niat yang ada.

Peluang

Sejak diluncurkannya program tol laut dan poros maritim, sektor pelabuhan nasional menawarkan peluang usaha yang cukup menjanjikan. Peluang itu mulai dari jasa konstruksi hingga operator terminal di pelabuhan. Berdasarkan data yang sudah dipublikasi, pemerintah berencana membangun 24 pelabuhan baru di seluruh Indonesia dengan alokasi biaya mencapai ratusan triliun rupiah. Pelabuhan-pelabuhan ini nantinya akan menjadi bagian integral dari program tol laut.

Dalam tol laut, operator kapal didorong untuk mengoperasikan kapal-kapal yang lebih besar kapasitas angkutnya sehingga pada giliran berikutnya akan menurunkan biaya logistik. Untuk itu diperlukan pelabuhan yang bisa menampung mereka lengkap dengan fasilitas bongkar-muat yang handal, terutama untuk peti kemas.

Saat ini, ada berbagai pelayaran peti kemas domestik yang menghubungkan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar. Dengan proyek pembangunan pelabuhan baru tadi nantinya jumlah port of call bagi pelayaran akan bertambah, misalnya Sorong dan Bitung.

Usaha operator terminal pelabuhan juga tidak kalah menariknya. Namun, peluang bisnis di sektor yang satu ini bukan ‘barang baru’. Ia sudah lama hadir di berbagai pelabuhan yang dikuasai oleh BUMN pelabuhan (Pelindo). Dalam istilah kepelabuhan nasional bisnis ini disebut terminal operator. Inti usaha ini adalah pihak ketiga bekerja sama dengan Pelindo dalam membongkar dan memuat barang dari dan ke atas kapal di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh BUMN tersebut dan mendapatkan bagian keuntungan untuk itu.

Lalu, ada juga peluang usaha mendirikan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS). Hanya saja, kesempatan ini dibatasi hanya untuk pabrikan yang membutuhkan fasilitas terminal untuk melayani raw material mereka. Karenanya, terminal ini tidak bisa digunakan untuk melayani kapal-kapal yang tidak terkait langsung dengan aktifitas pabrik.

Tantangan

Apa tantangan untuk berbisnis di bidang kemaritiman? Tantangan terbesar adalah masalah peraturan, baik yang bersumber dari undang-undang atau pun rule of the game di bawahnya. Ambil contoh, asas cabotage (diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran). Aturan ini sebetulnya untuk angkutan laut di mana pengiriman antarpulau dikhususkan hanya untuk kapal-kapal berbendera Merah-Putih. Tetapi, sampai derajat tertentu, keberadaan asas cabotage bisa mempengaruhi operasi terminal yang ada.

Dikaitkan dengan program poros maritim yang ada, kebijakan tadi bisa jadi akan mengganjalnya. Dalam poros maritim pemerintah amat diharapkan memberikan aneka fasilitas, infrastruktur dan regulasi yang dapat menarik minat kalangan pelayaran internasional dan komunitas maritim lainnya untuk mendatanginya dan dapat menjalankan bisnis yang menguntungkan di Indonesia. 

Namun, dengan asas cabotage tidak ada tempat untuk pemain asing. Untuk perbandingan, sebagai salah satu poros maritim di dunia, Singapura menjadi lokasi berkantornya lebih dari 4.200 multinational corporations dan 26.000 perusahaan mancanegara lainnya. Dari jumlah itu, ada ratusan perusahaan pelayaran asing di samping pelayaran milik Kota Singa itu sendiri, yakni Neptune Orient Line (NOL). Sanggupkah pelayaran nasional kita “berdamai” dengan asing? Sepertinya sulit karena asas cabotage kita hanya sedikit memberi ruang untuk itu.

Masalah yang ada bukan tidak bisa diselesaikan. Caranya, mari kita duduk bareng merembukkan hal-hal yang saling bertentangan itu dan mencari jalan keluar terbaik. Kita memang belum pernah duduk bersama membahas kemaritiman dengan tuntas.*****

Dimuat dalam majalah GERAKAN edisi Maret 2015

Komentar

  1. mungkin asas cabotage tersebut untuk menciptakan daya saing dan mengembangkan industri angkutan perairan nasional sehingga mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional. Mungkin itu Pak Dosen maksud dari UU No.17 tahun 2008. Salam Kangen pak dari mantan murid FIKOM UPI YAI

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?