Menguak Manajemen Keselamatan Pelayaran Nasional



Belum lagi luput dari ingatan publik soal kecelakaan KM Sahabat dan kapal-kapal lain dalam kurun enam bulan terakhir, kembali terjadi kecelakaan di perairan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Bertambah lagi bilangan kerugian disebabkan oleh buruknya manajemen keselamatan pelayaran di dalam negeri.

Untuk mengukur baik-buruknya manajemen keselamatan pelayaran, industri pelayaran mengenal satu parameter yakni Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974. Ketika kita mengatakan bahwa manajemen keselamatan pelayaran dalam negeri buruk, inilah alat pengukurnya. Masalahnya, apakah standar ini sudah diterapkan di Indonesia?

Kalau sudah, mengapa dalam berbagai kecelakaan kapal di Tanah Air jumlah korban meninggal misalnya, relatif tinggi? Kematian memang di tangan Tuhan, tetapi dari pemberitaaan di media massa tentang berbagai kecelakaan kapal di Indonesia, korban-korban itu menjemput ajalnya rata-rata dikarenakan oleh minimnya life-saving appliances di atas kapal.

Sebagai anggota Organisasi Maritim Internasional (IMO), Indonesia tentu mengadopsi SOLAS 1974 dan karenanya boleh dikatakan telah menerapkannya. Namun, jika diteliti lebih dalam, kenyataannya menunjukkan kondisi berbeda. Dalam kalimat lain, Indonesia sebetulnya tidak menerapkan aturan tersebut.
Kalau berbagai kecelakaan kapal yang terjadi di Indonesia, terutama yang berlaku dalam kurun 3 tahun terakhir, tidak mau dijadikan bukti betapa negeri ini tidak menerapkan SOLAS 1974, mungkin penerapan electronic position-indicator radio beacon (EPIRB) di Indonesia bisa dikemukakan.

Alat ini sangat berguna dalam menentukan posisi kapal sehingga manakala ia mengalami kesulitan, kecelakaan atau tenggelam di lautan kapal penolong akan dengan meudah menemukan posisinya karena terbaca di alat penerima sinyal yang dipasang di kapal penolong.

IMO telah menetapkan bahwa alat itu, yang merupakan sub-sistem dari Global Maritime Distress and Safety System/GMDSS, harus sudah terpasang di kapal-kapal terhitung sejak 1 Februari 1999. Ada cerita menarik soal EPIRB ini. Beberapa hari setelah KM Sahabat tenggelam di seputar perairan Kepulauan Seribu pada 21 Januari lalu, kapal patroli Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan melakukan pencarian bangkai kapal naas tersebut. Sayang, kapal tidak ditemukan. 

Menurut awak media yang menyertai operasi pencarian, mengutip kru kapal KPLP, bangkai KM Sahabat tidak berhasil ditemukan karena tumpahan minyak sebagai pertanda keberadaan bangkai kapal tidak terlihat di lokasi tenggelamnya kapal. Ini berarti pencarian dilakukan dengan metode visual. Dengan kondisi cuaca yang tergolong ekstrem saat ini tentu saja metode ini tidak akan membuahkan hasil. Namun, jika KM Sahabat dilengkapi dengan EPIRB, pencariannya mungkin saja berhasil dengan baik. 

Kini, dengan tidak diketahuinya posisi KM Sahabat perairan sekitar Kepulauan Seribu menjadi rawan karena bangkai itu tentu saja akan berpindah-pindah sesuai dengan kondisi perairan. Parahnya lagi, tidak terdengar kabar dari pemilik kapal itu akankah dilakukan salvage (pengangkatan bangkai kapal) atau tidak.

Pengakuan

Lemahnya implementasi SOLAS 1974 bukan hanya disuarakan oleh pengamat pelayaran tetapi juga diakui oleh Kementerian Perhubungan. Pernah seorang pejabat senior di instansi itu mengungkapkan bahwa penerapan aturan IMO tersebut memang masih belum maksimal. Kendalanya adalah lemahnya pemahaman SOLAS, peraturan perundangan yang tumpang tindih. Belum lagi masalah pendanaan dan ketersediaan SDM yang andal.

Manajemen keselamatan pelayaran nasional juga masih ditandai dengan masih terpisahnya pemeriksaan statutory kapal-kapal berbendera Indonesia. Kementerian Perhubungan selaku pihak yang memegang kewenangan penerapan SOLAS – dalam istilah IMO disebut Administration – telah melimpahkan pemeriksaan konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan kapal kepada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). 

Sementara, aspek lainnya, umpama, instalasi radio, kelaikan alat-alat keselamatan di atas kapal, masih dilaksanakan langsung oleh Kemhub. Kondisi seperti itulah yang sering diistilahkan oleh pemilik kapal domestik dengan multiple classification. Pada awalnya diklasifikasi oleh BKI kemudian diklasifikasi oleh Kemhub. Di negara lain lazimnya pihak klasifikasi melakukan hampir seluruh pekerjaan yang terkait dengan aspek keselamatan kapal. 

Pemeriksaan oleh Kemenhub di lapangan dilakukan oleh Marine Inspector. Marine Inspector memang tidak setenar Syahbandar atau KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai) yang setiap kali kita ke pelabuhan akan dengan mudah dapat dikenali. Bahkan, dalam suatu peristiwa kecelakaan kapal, mereka sering menjadi selebritis karena sering dikutip oleh media massa. Tetapi, Marine Inspector-lah sejatinya yang menjadi ujung tombak dari aspek safety of navigation. Bukan hendak menyalahkan mereka, hingga saat ini kita tidak tahu bagaimana kinerjanya. Pasalnya, pada setiap kecelakaan kapal selalu tercecer fakta bahwa mereka sepertinya telah abai dalam menjalankan tugasnya. Entahlah.*****

*Tulisan diterbitkan dalam majalah JURNAL MARITIM, edisi Februari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?