Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?



Walaupun Oktober sudah berlalu, namun tentulah masih bisa kita berkontemplasi seputar Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berulang tahun ke-68 pada bulan tersebut. Tulisan ini membatasi diri pada matra laut. 

Dalam kurun empat tahun terakhir, Indonesia telah mengirimkan kapal perangnya berlayar ke luar negeri untuk mengemban misi internasional. Ambil contoh, KRI Diponegoro-365. Kala itu, ia menjalankan dua misi sekaligus, yakni sebagai bagian dari Satuan Tugas Maritim TNI Kontingen Garuda (Konga) XXVIII-A di Libanon dan reinforcement bagi patroli keamanan multinasional di wilayah perairan Somalia yang masih saja dibayangi ancaman piracy atau perompakan. Menurut Panglima TNI waktu itu, Jenderal TNI Djoko Santoso, ketika melepas kapal perang tersebut di dermaga Komando Lintas Laut Militer, Tanjung Priok, Jakarta, kedua misi itu merupakan yang pertama dalam sejarah panjang TNI-AL. 

Pertanyaannya, apakah pengiriman kapal-kapal perang itu belakangan ini mengindikasikan bahwa TNI-AL akan menjadi blue water-navy kembali?

Secara umum blue-water navy adalah konsepsi tentang kemampuan angkatan laut satu negara untuk digelar atau deployment di samudera luas/high seas dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam studi ilmu peperangan modern, angkatan laut yang ingin menerapkan prinsip blue-water navy harus memiliki kemampuan membela diri yang handal dari kemungkinan serangan lawan yang berasal bawah air (kapal selam), permukaan (kapal perusak, frigat, korvet, dll), dan serangan udara. Di samping itu, untuk menjadi sebuah angkatan laut yang blue-water dibutuhkan suplai logistik yang baik sehingga armada yang sedang berada di tengah samudera luas tadi dapat beroperasi terus-menerus tanpa mengalami gangguan.

Pilihan untuk menjadi angkatan laut dengan karakteristik blue-water biasanya ditentukan oleh sifat-sifat lingkungan maritim negara bersangkutan atau bisa juga karena alasan lain. Namun yang jelas, menjadi blue-water navy tidak terkait dengan postur armada (baca: tipe kapal) yang dimiliki oleh satu negara. Dengan bahasa lain, untuk menjadi blue-water navy tidak mesti harus memiliki aircraft carrier (kapal induk) atau kapal selam bertenaga nuklir dan lain sebagainya. Banyak angkatan laut di dunia yang mengoperasikan kapal-kapal baru nan canggih tapi tidak menjadi blue-water navy karena mereka tidak mampu mendukung kebutuhan logistiknya. Kunci untuk menjadi blue-water navy adalah kemampuan untuk mensuplai armada di garis depan secara terus-menerus.

TNI-AL= blue-water navy

TNI-AL sejatinya merupakan blue-water navy. Bacalah doktrin Eka Sasana Jaya mereka. Secara umum, menurut doktrin yang diformulasikan pada 17 Agustus 1965 itu, kapal-kapal perang TNI-AL dapat digelar untuk menjamin keselamatan armada niaga Indonesia saat berlayar di manapun, baik di laut territorial maupun lautan lepas; TNI-AL merupakan conditio sine qua non bagi armada niaga Indonesia.

Doktrin Eka Sasana Jaya merupakan adaptasi dari pemikiran ahli strategi maritim Alfred Thayer Mahan. Dalam perspektif Mahanian a strong navy was vital to the success of a nation, and control of the seas was vital for the projection of force on land and overseas.

Seiring dengan ditetapkannya doktrin Catur Karma Eka Karma pada 1988 dan doktrin Sad Dwi Bhakti pada 1994, doktrin Eka Sasana Jaya tidak digunakan lagi. Kendati hipotetis, dengan perubahan doktrin tadi, perlahan-perlahan TNI-AL menjadi seperti sekarang ini, yakni tidak jelas apakah blue-water navy, green-water navy atau brown-water navy. Ada yang bercanda: “TNI-AL suka bermain di air keruh.”

Ketika terjadi reformasi di Indonesia lebih sepuluh tahun lalu, termasuk reformasi di tubuh militer, TNI-AL sebetulnya memiliki peluang untuk kembali menerapkan doktrin mereka, namun sayang, sejauh penulis pahami, hingga saat ini tidak terlihat adanya pemikiran ke arah itu. Memang ada reformasi di tubuh TNI-AL, sebagaimana di tubuh angkatan lainnya, tapi terbatas pada masalah sikap politik tentara atau, paling banter, bisnis militer. 

Tentu pimpinan TNI-AL tidak bisa sepenuhnya dikatakan tidak memiliki niat mereformasi total TNI-AL, ada faktor-faktor, politis tentunya, yang berada di luar jangkauan mereka. Karena itu, momentum pengiriman kapal-kapal perang  ke samudera luas harus dimanfaatkan oleh kalangan TNI-AL dan masyarakat lainnya untuk kembali meneguhkan jatidiri TNI-AL sebagai blue-water navy.

Mengingat Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi, mudah-mudahan dengan pemilihan umum yang akan digelar tak lama lagi itu akan terpilih wakil-wakil rakyat dengan kesadaran maritim yang kuat sehingga keinginan untuk menjadikan kembali TNI-AL sebagai blue-water navy bisa didukung dengan kebijakan politik yang solid. 

Dukungan politik parlemen sangat dibutuhkan untuk mengawal arah reformasi TNI-AL karena, suka atau tidak suka, ada banyak stigma lama yang masih melekat pada tubuh matra ini yang dibangun oleh pihak-pihak lain. Hanya dukungan dan keputusan politik yang bisa menghapuskan semua itu. Di samping itu, dukungan politik parlemen juga dibutuhkan untuk menetapkan bahwa proses reformasi TNI tidak berarti proses unifikasi. Masing-masing angkatan harus dibiarkan berkembang sesuai dengan karakteristik matranya. Jangan biarkan tentara menentukan nasib dirinya sendiri, politisi juga perlu terlibat.*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum