Mengkritisi Kebijakan Asas Cabotage



Menjelang Desember tahun ini, saat pelayaran penunjang kegiatan perminyakan lepas pantai (offshore) harus sudah seratus persen menggunakan kapal berbendera Indonesia, penerapan asas cabotage atau pengangkutan barang domestik memakai kapal nasional masih menyisakan isu yang menarik untuk dikomentari. Isu itu bisa jadi nantinya malah memelesetkan tujuan asas cabotage. Sejak diterapkan pada 2005 melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, yang kemudian diperkuat dengan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, asas cabotage memang selalu disertai riak kontroversi dan inkonsistensi.

Pertanyaannya kini, untuk siapa sih sebetulnya asas cabotage diterapkan? Apakah untuk segelintir pengusaha pelayaran atau untuk seluruh pelaku industri ini?

Pengusaha mapan

Ketika digagas pada 2005, kondisi bisnis pelayaran nasional berada pada posisi yang cukup memprihatinkan. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah armada kapal berbendera Indonesia sekitar 6.041 dengan kapasitas angkut 5,67 juta GT (gross ton). Lima tahun kemudian, tepatnya pada 2010, angka itu membengkak menjadi 9.835 unit dengan kapasitas angkut 13,03 juta GT. Kini, kapal-kapal itu sudah mencapai 12.600 unit yang terdiri dari berbagai tipe.

Namun, kapal-kapal penunjang kegiatan offshore masih relatif sedikit jumlahnya sehingga Kemhub masih mengizinkan kapal-kapal asing beroperasi melayani kegiatan sektor ini. Berdasarkan jumlah klarifikasi yang diajukan ke Asosiasi Pelayaran Niaga Nasional (INSA) oleh Kemhub, saat ini ada 26 unit kapal tipe ini yang masih beroperasi di perairan Indonesia. Perinciannya: kapal jenis pipe laying barge 9 unit, subsea umbilical riser flexible vessel/SURF 7 unit, derrick crane 5 unit, dan cable laying barger 5 unit. Berdasarkan Permenhub No. 48/2011 mereka sudah harus stop beroperasi pada akhir Desember 2013.

Besar kemungkinannya pemerintah akan tetap memberikan toleransi kepada kapal-kapal penunjang kegiatan offshore. Namun INSA sudah menyarankan pemerintah agar mereka tetap konsisten dengan deadline yang sudah ditetapkan.

Tarik ulur terjadi karena beberapa faktor. Pertama, asas cabotage sebetulnya hanya memberdayakan pengusaha pelayaran yang sudah mapan. Jika pertumbuhan jumlah armada tersebut dengan cermat, yang tumbuh adalah armada dari perusahaan yang sudah kuat yang jumlahnya tidak sampai 20 perusahaan.

Bagi mereka asas cabotage menaikkan daya tawar terhadap kalangan perbankan, asuransi dan lain bahkan juga terhadap pemerintah. Relatif sedikitnya perusahaan pelayaran yang bonafid dari lebih dari seribu anggota INSA menandakan bahwa organisasi ini lebih banyak dihuni oleh usahawan berskala UKM yang kebanyakan hanya mengandalkan usaha sebagai agen kapal.

Nah, bagi pengusaha kelas UKM, keberadaan cabotage tidak banyak artinya. Seorang teman saya yang pengusaha dengan kategori ini mengungkapkan, ia sangat sulit mendapatkan pembiayaan dari perbankan untuk membeli kapal. Padahal, ia memiliki kontrak pengangkutan yang meyakinkan. Terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi.

Di samping hanya menguntungkan pengusaha pelayaran yang sudah mapan, asas cabotage dinilai juga tidak melibatkan pelaku pelayaran rakyat (Pelra) yang sebetulnya jauh lebih sentral perannya dalam merajut Nusantara. Dan, jika dilihat dari bendera kapal, Pelra sudah jauh hari mengibarkan Merah-Putih. Maka di Pelra asas cabotage telah sempurna dijalankan. 

Penyebab kedua, adanya kekhawatiran penerapan asas cabotage sebagai upaya menendang pemain lama dan menggantinya dengan pelaku baru. Hal ini terasa sekali dalam sektor kapal penunjang kegiatan offshore. Pengusaha pelayaran nasional memang sudah ada yang berinvestasi untuk pembelian kapal-kapal di bidang ini. Tetapi tidak sedikit juga yang hanya berteriak akan berinvestasi tapi dengan syarat akhiri dulu pengoperasian kapal-kapal offshore asing. Konon, mereka yang berteriak tadi sebetulnya sudah menyiapkan jajaran armada pengganti di luar negeri dan akan dimasukan ke Indonesia dengan mereka sebagai agennya. Artinya, mereka tidak berinvestasi, cukup bekerja sama saja. Soal bendera Merah Putih bisa diatur. 

Alasan mereka tidak berinvestasi  karena kapal lepas pantai tidak didukung dengan kontrak jangka panjang; yang tersedia hanya kontrak berdurasi pendek, kurang dari setahun. Di samping itu, dalam kontrak termaktub klausul early termination. Klausul ini menyebabkan lembaga perbankan atau kreditur enggan memberikan pinjaman kepada pengusaha pelayaran. Akibatnya, antusiasme pengusaha pelayaran tinggal antusiasme saja.****

Diterbitkan dalam koran KONTAN edisi 25 November 2013.


Komentar

  1. thanks atas sharing informasi mengenai dunia logistik, sangat berguna.

    Salam kenal,
    Artha Nugraha Jonar

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?