Membedah relasi bisnis di pelabuhan



Belum lama berselang, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, diramaikan oleh aksi mogok ribuan truk yang biasanya melayani kegiatan bongkar-muat di pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia itu. Aktifitas pengiriman dan penerimaan barang di sana lumayan terganggu walaupun, kata Pelindo II, tidak merugikan sedikit pun perusahaan pelat merah tersebut. Yang ada, aksi mogok itu justru merugikan pengguna jasa truk itu sendiri, lanjut operator pelabuhan itu.

Mogok hanya berlangsung sehari. Tapi, pengusaha truk yang tergabung dalam Organda Angsuspel  Tanjung Priok “berpesan keras” jika masalah yang melandasi aksi mereka tidak dituntaskan, aksi serupa akan berulang, bahkan dengan kekuatan yang lebih besar. Mereka mempersoalkan monopoli yang dilakukan Pelindo II dengan mendirikan anak usaha yang lini bisnisnya berhimpitan dengan mereka. Saat ini Pelabuhan Tanjung Priok dilayani 15.000 unit truk yang dioperasikan oleh anggota asosiasi ini.

Apa yang disuarakan oleh mitra Pelindo II itu merupakan refleksi dari pola relasi yang ada saat ini di Pelabuhan Tanjung Priok, dan juga pelabuhan-pelabuhan lain yang dioperasikan oleh Pelindo I, III dan IV.

Pertanyaannya, bagaimanakah sebenarnya pola relasi Pelindo II dan mitra bisnisnya selama ini, khususnya sejak diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran sehingga memicu tudingan monopoli tadi?

Bisnis pelabuhan saat ini

Pemberlakuan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, sebagai pengganti UU No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran, menjadikan bisnis pelabuhan di Indonesia berubah drastis. Peraturan itu dinilai mengedepankan dua semangat utama, yakni kesetaraan dan otonomi daerah. Sehingga, praktek monopolistik yang selama 16 tahun dijalankan oleh BUMN kepelabuhanan dipastikan tidak ada lagi.

Dengan semangat kesetaraan, kini tidak ada lagi beda antara perusahaan pelat merah dan usaha swasta. Mereka sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk berbisnis pelabuhan. Sementara, dengan semangat otonomi daerah pemerintah beroleh kewenangan untuk mengatur bisnis ini di daerahnya. Di samping itu pemda juga bisa ikut berusaha langsung dalam kancah usaha kepelabuhanan.

Semua itu dimungkinkan karena UU No. 17 Tahun 2008 memisahkan fungsi regulator dan operator yang selama satu dasawarsa lebih dikendalikan oleh Pelindo. Fungsi regulator kini berada di tangan Otoritas Pelabuhan (OP), aparat organik Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Pelindo dibatasi hanya sebagai operator/pengusaha.

Dulu, BUMN ini begitu digdaya sehingga dijuluki “negara dalam negara”. Julukan tadi didasari oleh luasnya wilayah yang menjadi kewenangan mereka. Ambil contoh Pelabuhan Tanjung Priok. Wilayah (dalam istilah kepelabuhanan disebut Daerah Lingkungan Kepentingan atau DLKp)-nya mencakup Ancol, Marunda dan Cempaka Putih.

Sesuai UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran relasi antarapelaku usaha di pelabuhan adalah setara. Tapi, merujuk kepada tudingan Angsuspel (sebetulnya juga disuarakan oleh pengusaha bongkar-muat dan pelayaran) bahwa Pelindo melakukan monopoli sepertinya relasi itu tidak seimbang. Artinya, posisi Pelindo lebih tinggi dibanding mitra usahanya.

Bahwa posisi Pelindo lebih tinggi dibanding mitranya memang benar adanya. Bab XXI Ketentuan Peralihan, Pasal 344, Ayat 1, mengatakan: “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di pelabuhan berdasarkan Undang-Undang ini”.

Pasal 3 malah lebih menguatkan posisi Pelindo: “Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud”.

Kendati semangat kesetaraan merupakan jiwa UU Pelayaran, Pelindo ternyata tidak serta merta bisa disingkirkan dari pelabuhan agar aset yang dikelolanya bisa dikonsesi ulang kepada swasta oleh pemerintah. Bahkan, jika pun evaluasi aset seperti yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 344 dijalankan, tetap saja Pelindo berposisi lebih unggul dibanding swasta. Lagian, penulis pesimis evaluasi yang diperintahkan bisa dijalankan.

Lantas, di mana letak kesetaraan itu? Kesetaraan itu tetap ada dan ia tergantung pada para pelaku usaha swasta apakah mau memanfaatkannya atau tidak. Caranya dengan membangun pelabuhan/terminal di luar area yang sudah dikelola oleh Pelindo. Jika mereka tetap berkeinginan berusaha di lahan Pelindo, tidak ada pilihan selain mengikuti apa yang digariskan oleh BUMN tersebut. Pelindo’s game, Pelindo’s rules.

Pengusahan swasta perlu membuktikan diri bahwa mereka cukup bonafid dalam mengembangkan pelabuhan atau terminal baru di luar yang sudah ada. Soalnya Indonesia membutuhkan banyak fasilitas tersebut.****

Sumber: Harian Kontan, Selasa, 25 Juni 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?