Terhempas Ombak Covid-19

Wabah virus corona betul-betul memukul bisnis pelayaran. Hampir seluruh elemen yang ada pada sektor ini terkena dampaknya. Hanya saja level kerusakannya berbeda-beda. Dimulai dengan pelayaran bahan bakar minyak (BBM) alias tanker. Bisnis yang satu ini kondisinya tidak separah sektor pelayaran lainnya alias masih bisa bernafaslah.

Bukankah dengan adanya virus corona pabrik-pabrik banyak tutup yang pada gilirannya mengurangi konsumsi BBM? Konsumsi turun, pasti turun pula shipment BBM. Di mana untungnya? Di atas kertas, bisnis tanker harusnya megap-megap seperti saudara lainnya sesektor. Namun, ada blessing in disguise di tengah pandemi corona bagi bisnis ini. Memang benar pabrik-pabrik banyak yang ditutup sehingga permintaan BBM anjlok.

Sekadar catatan, ketika wabah corona pertama kali merebak di Wuhan, Provinsi Hubei, China, akhir 2019, tak lama kemudian seluruh sektor industri di negeri Panda itu perlahan tapi pasti terpukul dan bergerak sempoyongan akibat tenaga kerja yang menjalankannya terpaksa dikarantina agar penyebaran virus tersebut bisa ditekan.

Karena ditutup, mesin-mesin yang ada di pabrik berhenti meminum BBM. Perkiraan para analis ketika itu, sekitar 3 juta barel BBM per hari berhenti mengalir ke pabrik-pabrik di China akibat berhenti operasi. Ini jelas pukulan telak bagi bisnis tanker. Pasalnya, negeri ini merupakan konsumen BBM terbesar di dunia. Negara-negara industri lainnya juga menghentikan atau mengurangi jam operasi pabrik-pabrik mereka sebagai dampak Covid-19.

Krisis yang dihadapi bisnis tanker pun makin dalam. Parahnya, BBM yang tidak tersalurkan tadi makin menumpuk stoknya menyusul masuknya suplai baru.

 Kemudian, terjadilah apa yang beberapa waktu lalu sempat viral di seluruh dunia. Beredar citra satelit di berbagai platform media sosial (paling tidak grup Whatsapp yang saya ikuti) dan kanal-kanal berita yang menggambarkan titik-titik merah tersebar merata di perairan di hampir seluruh dunia. Ada di perairan AS, Brasil dan Kanada. Tersebar juga di perairan India, Australia, Singapura dan lainnya. Titik-titik merah itu merupakan armada tanker crude maupun product yang parkir menunggu kesempatan bongkar muatan di pelabuhan tujuan.

Jika tanker crude, ukurannya sangat jumbo, lebih dari 500.000 deadweight ton (DWT) dan sering diistilahkan dengan ultra large crude carrier atau ULCC, biasanya berlayar membawa muatan minyak mentah dari pelabuhan penghasil BBM ke kilang-kilang penyulingan. Sementara tanker crude yang berukuran yang lebih kecil, puluhan ribu DWT saja, membawa minyak yang sudah diolah ke kilang-kilang penyimpanan BBM. 

Menurut berita, kumpulan tanker yang parkir di perairan AS, tepatya di lepas pantai California, seperti dalam citra satelit yang saya sebut di atas merupakan supertanker/ULCC sebanyak 27 kapal. Total minyak mentah yang diangkut sekitar 20 juta barel. 

Sementara itu, tanker yang bergerombol di perairan Singapura merupakan product tanker. Jumlahnya sekitar 60 kapal. Semuanya terisi penuh karena penjualan melorot drastis baik disebabkan oleh Covid-19 maupun oversupply.

Daripada rugi, para operator tanker, khususnya ULCC, bekerja sama dengan pengelola kilang mengubah kapal mereka menjadi floating storage alias gudang terapung. Kontan harga sewa kapal tipe ini naik signifikan, berkisar AS$167.000 per hari. Inilah blessing in disguise itu. Sayang, analis memperkirakan situasi ini tidak akan bertahan lama. 

Pelayaran peti kemas juga relatif masih bisa bernafas meski tersengal karena komoditas yang sangat dibutuhkan dalam masa sulit ini seperti obat-obatan, peralatan medis dan kebutuhan pokok/penting diangkut kebanyakan dalam peti kemas. Daya tahan pelayaran peti kemas dalam menghadapi Covid-19 juga disumbang oleh strategi layanan delay of transit bagi pemilik barang. Ini adalah langkah yang dilakukan shipping line menangguhkan pelayaran armadanya karena adanya gangguan. Langkah ini sudah dilakukan sejak dahulu oleh pelayaran.

Peti kemas yang di-delay ditempatkan sementara di pelabuhan hub di seluruh dunia yang bekerja sama dengan operator pelayaran kontainer. Begitu suasana membaik, pengguna jasa pelayaran bisa ngebut mendistribusikan kargonya menuju end destination

Tentu saja ada biaya untuk layanan tersebut. Inilah yang kini menjadi alternatif pendapatan bagi operator pelayaran kontainer. Sayang, tidak terdengar berita shipper di Indonesia yang memanfaatkan program delay of transit dari operator pelayaran peti kemas.

Yang paling telak disengat Covid-19 adalah pelayaran pesiar (cruise). Indonesia langsung terkena getahnya. Ada puluhan ribu anak Indonesia yang bekerja sebagai pelayan di atas berbagai hotel terapung di dunia tetapi kini perlahan mereka dikirim balik oleh operatornya. Ada Carnival Cruise Line, Cunard Line, American Cruise Line, dan lain-lain. Gelombang pertama sekitar 800 lebih anak buah kapal (ABK) sudah tiba di pelabuhan Benoa, Bali, beberapa waktu lalu. Ratusan lagi sudah menyusul masuk dan terus akan masuk hingga berjumlah, menurut data Kementerian Perhubungan, 20.000 ABK.

Sayang, respon operator pelayaran cruise dunia terbilang lambat dibanding sektor pelayaran lainnya. Misalnya, mereka tidak segera membatalkan pelayaran wisata yang sudah diprogram dan mengembalikan uang tiket. Penumpang akhirnya tetap berlayar di tengah wabah corona sudah mengharu biru di bebagai belahan dunia.

Di Indonesia sendiri kasus terpapar virus corona di atas kapal penumpang juga lumayan 
banyak dibanding pelayaran lain. PT Pelni telah telah menyetop operasi kapal penumpang 
tetapi tetap menjalankan kapal perintis Sabuk Nusantara. Semoga baik-baik saja.

Diterbitkan dalam Bisnis Indonesia, edisi Kamis, 14 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?