Pelajaran Dari Kebocoran di Teluk Balikpapan

Balikpapan menjadi titik fokus perhatian komunitas maritim domestik dan internasional beberapa waktu ini. Pasalnya, pipa minyak yang mengular di dasar Teluk Balikpapan mendadak bocor hingga mencemari perairan dan pantai. Sempat pula muncul kebakaran yang menewaskan beberapa orang yang dipicu oleh tumpahan minyak.
Sampai tulisan ini diselesaikan belum jelas apa penyebab bocornya pipa milik perusahaan minyak milik Pertamina itu. Salah satu kemungkinan pemicu terjadinya kebocoran adalah jaringan pipa dihajar jangkar kapal. Lokasi kebocoran memang tempat kapal melego jangkar (anchorage).
Para pengamat memperkirakan, nakhoda kapal tidak mengetahui bahwa di bawah perut kapalnya terdapat jaringan pipa karena obyek tersebut tidak tertera dalam peta yang ada di atas kapalnya. Dalam kalimat lain, peta navigasi perairan Balikpapan yang beredar di kalangan pelayaran terhitung jadul alias tidak updated.
Sinyalemen ini dibenarkan oleh Pusat Hidro-oseanografi TNI AL (Pushidrosal). Menurut lembaga pembuat peta navigasi satu-satunya di Indonesia itu, peta pelayaran untuk wilayah tersebut terakhir kali diperbarui pada 2015.
Selain masalah perpetaan navigasi, isu pemanduan dan protection and indemnity (P&I) juga mencuat dari kasus bocornya pipa minyak milik Pertamina tersebut. Bagaimana sebetulnya keduanya dimplementasikan di Indonesia?
Sebagai kawasan yang padat oleh lalu-lintas kapal–mulai dari tanker, kapal nelayan, tongkang batubara, dan lainnya–tentulah wilayah ini ditetapkan sebagai perairan pandu oleh Kementerian Perhubungan. Di samping itu, di perairan ini juga dipasang fasilitas vessel traffic system (VTS) untuk mendukung efektifitas pemanduan atas kapal-kapal yang lalu-lalang di sana agar tak terjadi tubrukan atau collision.
Apapun jenis kapalnya, setiap tubrukan selalu ditakuti karena akan terjadinya tumpahan minyak. Selain Balikpapan, terdapat dua puluh lokasi lain yang dilengkapi VTS, yaitu Belawan, Batam, Teluk Bayur, Palembang, Jakarta, Merak, Panjang, Semarang, Surabaya, Benoa, Lembar, Pontianak, Batu Licin, Banjarmasin, Samarinda, Sorong, Bitung, Dumai dan Bintuni.
Sulit menelusuri pemberitaan media apakah pemanduan oleh Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Balikpapan berjalan dengan baik pada saat terjadinya kebocoran pipa minyak atau sehari-harinya.
Terlepas dari masalah di muka, pemanduan di perairan pandu di seluruh Indonesia menyimpan banyak cerita negatif. Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan (KM) No. 24 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pemanduan, sebuah perairan dinyatakan menjadi perairan pandu didasarkan pada dua unsur: kapal dan di luar kapal.
Hal yang terkait kapal misalnya jenis kapal, jenis muatan kapal dan sebagainya. Sementara yang termasuk di luar kapal adalah rintangan/bahaya navigasi di alur perairan, lebar alur perairan dan lain-lain.
Di mana cerita negatifnya? Begini. Aktifitas pemanduan ini tidak gratis alias ada biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran. Biaya ini diatur berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan dan disesuaikan dengan jenis, struktur dan golongan tarif.
Nah, seringkali biaya pemanduan dikenakan, sementara sarana/peralatan (dalam hal ini pandu) tidak ada. No service but still pay. Seharusnya no service, no pay. Cerita lainnya, biaya pandu yang kenakan terhadap pelayaran terbilang mahal.

Melalui Pihak Ketiga
Pemanduan sebetulnya kewenangan pemerintah sebagai negara pelabuhan (port state) yang pelaksanaannya bisa saja didelegasikan kepada pihak ketiga yaitu BUMN pelabuhan ataupun swasta. Praktek ini lazim di seluruh dunia.
Negara mendelegasikan pelaksanaan pemanduan karena biasanya tidak memiliki biaya untuk menyediakan dan merawat armada kapal pandu. Pihak ketiga yang menjalankan pemanduan tentu akan memungut biaya pandu berikut margin untuk investasi armada dan SDM yang sudah dikeluarkan.
Kasus kebocoran pipa minyak milik Pertamina mengangkat pula ke hadapan publik di Tanah Air mengenai keberadaan praktik P&I. Lazim diucapkan ‘pandi’ oleh komunitas kemaritiman mondial, P&I merupakan sebuah bentuk pertanggungan atas kerugian pihak kepada yang disebabkan oleh pengoperasian kapal secara serampangan.
Kapal merubuhkan dermaga saat sandar, merusak sarana bantu navigasi atau non-navigational perils lainnya adalah contohnya. Pandi bukanlah asuransi.
Perbedaan istilah uang pertanggungan atau premi bisa dijadikan pembeda keduanya. Pada asuransi dana yang dibayarkan oleh klien kepada perusahaan asuransi diistilahkan dengan premi, sementara pada P&I disebut dengan call. Selanjutnya, perusahaan asuransi didirikan dan bertanggungjawab hanya kepada pemegang sahamnya.
Adapun Pandi dibentuk dan bertanggungjawab kepada anggotanya. Hal ini dikarenakan dana pertanggungan Pandi dikumpulkan dari pelayaran yang menjadi anggotanya. Dana inilah yang akan dibayarkan kembali kepada mereka manakala terjadi insiden.
Jika uang pertanggungan yang akan dibayarkan kepada anggota P&I yang terkena insiden tidak cukup, semua anggota akan diminta menambah kontribusi mereka. Namun, ketika dana surplus akan dikembalikan kepada anggota dalam bentuk penurunan pembayaran call atau dikembalikan. Di sisi lain, perusahaan asuransi biasanya akan mereasuransikan risiko yang mereka tanggung. Perbedaan terakhir, asuransi mengurusi perlindungan yang bersifat lebih terkuantifikasi seperti lambung dan permesinan kapal (hull and machinery) dan asuransi barang yang diangkut kapal.
Kalangan pelayaran nasional sudah lama mengenal P&I. Ada yang mengatakan sejak Indonesia merdeka. Hanya saja mereka bergabung dengan klub-klub pandi luar negeri. Jika kita asumsikan jumlah tonase kapal nasional saat ini sekitar 20-an juta ton dengan iuran US$2 per ton, ada triliunan rupiah devisa yang melayang ke luar negeri sejak merdeka.
Menariknya, dari triliunan dana tadi hanya 30% saja yang dicadangkan oleh klub-klub pengurus P&I Eropa (terutama Inggris) untuk membayar kerugian yang dibayarkan kepada pihak ketiga akibat kesalahan yang dilakukan oleh anggotanya. Sekitar 70% sisanya diinvestasikan entah di mana dan Indonesia tidak mendapat manfaat sedikitpun dari investasi itu.
Tanpa bermaksud mendahului penyelidikan pihak berwenang dalam kasus kebocoran pipa minyak di Teluk Balikpapan dan berpihak kepada salah satu pihak yang diduga patut bertanggung jawab, MV Ever Judger telah melakukan non-navigational perils.
Ia sudah merusak properti milik pihak ketiga (dalam hal ini Pertamina). Sayangnya, dalam kasus yang berlaku yang justru jadi pesakitan dan sering disebut harus membayar ganti-rugi atas pencemaran Teluk Balikpapan dan sekitarnya adalah perusahaan pelat merah tersebut. Kapal itu hampir tak terdengar namanya disebut sebagai pihak yang juga patut bertanggung jawab.
Kini, sudah lebih dari dua minggu kasus kebocoran pipa minyak milik Pertamina di Balikpapan. Ada yang sudah terang tapi tak sedikit yang masih samar. Semoga tidak terulang lagi petaka yang sama ke depannya.
Terbit dalam Bisnis Indonesia, Jumat, 20 April 2018

Komentar

  1. ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
    hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
    untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
    terimakasih ya waktunya ^.^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?