Mengkritisi Rencana Pemangkasan THC

Setelah lama tak muncul ke atas permukaan, terminal handling charge (THC) kini timbul kembali. Adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Luhur Binsar Pandjaitan yang memicu naiknya isu tersebut ke ruang publik dan ramai dibicarakan oleh kalangan kemaritiman di Tanah Air beberapa waktu belakangan ini. Menurut dia, THC disasar karena ia menjadi salah satu komponen yang berkontribusi cukup signifikan terhadap tingginya ongkos logistik di Indonesia.

THC pernah menjadi isu hangat di saat Menteri Perhubungan dijabat oleh Hatta Rajasa. Begitu pula ketika posisi Menhub dipunggawai oleh EE Mangindaan masalah yang satu ini juga sampai ke mejanya. Kala itu ada usulan dari operator terminal peti kemas, khususnya yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok, untuk menaikkan container handling charge (CHC) menjadi US$ 100 dari US$ 80 per twenty-foot equivalent unit.

Dalam catatan penulis, tidak jelas apakah permintaan ini disetujui oleh mantan Gubernur Sulawesi Utara itu hingga ia diganti Menhub Ignasius Jonan.

Kini, Menteri Luhut “turun gunung” kembali untuk mengurusi masalah THC setelah sebelumnya kantornya bertarung dengan persoalan dwelling time (DT) yang dinilai masih tinggi. Upaya ini sukses, paling tidak dari kacamata pemerintah. Sepertinya, kesuksesan ini mendorong sang menteri merasa perlu turun gunung lagi. Apakah dia juga akan berhasil seperti dalam pertempuran melawan DT? Kita lihat saja.

Menarik mengkaji upaya yang dilakukan oleh Menteri Luhut dan seluruh jajarannya dalam upaya menekan tingginya ongkos logistik nasional. Ada determinasi yang kuat untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa ini di dalamnya dan hal ini patut diapresiasi. Sayangnya, asumsi-asumsi yang dipakai sebagai pijakan dalam mengambil kebijakan tidak seluruhnya tepat.

Dalam menyelesaikan dwelling time (DT) misalnya, pemerintah berasumsi bahwa ia disebabkan oleh operator terminal/pelabuhan yang menumpuk peti kemas demi mengejar pemasukan dari layanan penumpukan. Lantas, diterapkanlah kebijakan pembatasan lama penumpukan peti kemas maksimal hanya dua hari. Lebih dari waktu itu, peti kemas mesti dipindah ke lini 2 kendati dokumennya belum clear. Dengan memindahkan peti kemas dari lini 1 (stacking yard) ke lini 2 pada hari ketiga itulah didapat angka DT yang berkisar 2,7 hari.

Okelah, kita terima klaim pemerintah bahwa DT berhasil diturunkan. Tetapi tidak begitu ceritanya dengan ongkos logistik. Malahan ongkos logistik naik karena tingginya movement (dalam bentuk lift on-lift off, trucking, TKBM) peti kemas di dalam area pelabuhan sebelum  betul-betul meninggalkan pelabuhan menuju end destination-nya.

Pemangkasan THC

Rencana Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya bersama Kementerian Perhubungan untuk memangkas THC patut dikritisi. Pasalnya, THC merupakan istilah yang cenderung menyesatkan. Bila dilihat kata pertama dari rangkaian akronim tersebut, yaitu terminal, terbangun persepsi di kalangan khalayak bahwa biaya (charge, kata terakhir dari akronim THC) dipungut oleh operator/pengelola terminal.

Padahal, yang memungut THC adalah perusahaan pelayaran dan biaya ini digolongkan oleh mereka sebagai surcharge atau biaya tambahan. Ada pun pungutan yang dikenakan oleh operator/pengelola terminal dikenal dengan istilah container handling charge (CHC). Yang manakah yang ingin dipangkas oleh pemerintah? Apa pun pilihannya, pemerintah perlu berhati-hati.

Soalnya, THC atau surcharge sudah merupakan best practice dalam bisnis pelayaran global. Ia dikenakan oleh pelayaran kepada customer untuk menutupi semua biaya yang tidak pernah akan tertutupi jika hanya mengandalkan freight. Selain THC, biaya tambahan lainnya adalah bunker surcharge, war risk surchage dan sebagainya. Sementara itu, CHC merupakan jeroan-nya operator terminal peti kemas. Ia sumber pendapatan utama terminal.

Kalau pemerintah berencana memangkas THC, apa yang bisa pemerintah tawarkan kepada perusahaan pelayaran asing sebagai barternya? Lalu, bila pemerintah hendak menurunkan CHC, apakah pemerintah siap dengan menurunnya revenue Pelindo? Selama ini, pendapatan  Pelindo terbesar disumbang oleh terminal-terminal peti kemas yang berada dalam kendali mereka.

Lagian, CHC di Indonesia tidak pernah naik dalam kurun lima tahun terakhir. Usulan kenaikan yang pernah diajukan oleh operator terminal peti kemas pada era Menhub EE Mangindaan tak jelas apakah disetujui atau tidak.

Asumsikan bahwa usulan itu tidak disetujui, maka besarnya CHC di terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok berkisar 80 dollar AS/teu. Mau diturunkan ke angka berapa?

Isu THC/CHC di Indonesia tidak bisa disamakan dengan terminal peti kemas di luar negeri. Wong hitung-hitungan bisnis terminal peti kemasnya beda dengan di sini. Di Indonesia suku bunga tinggi, izin bisnis seabrek, pajak berlapis, PNBP menyekik, dll. Semua ini berdampak, salah satunya, ketika beli crane. Pastinya, operator terminal membeli  dengan harga mahal.

Diterbitkan dalam koran KONTAN, edisi Jumat, 5 Mei 2017

Komentar

  1. http://moyshipminiature.blogspot.co.id/2016/03/menjual-miniature-kapal-gedung-dan.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?