Pelaut Indonesia Masih Menjadi Obyek Penderita

Dalam waktu yang tidak lama lagi, 2016 akan ditinggalkan dan 2017 pun menanti di hadapan. Bagi dunia kepelautan nasional selama setahun lalu, seperti tahun-tahun sebelumnya, kondisinya hampir tidak banyak berubah.
Pelaut masih saja menjadi obyek penderita. Sayangnya, setahun ke depan keadaan pelaut Indonesia diperkirakan akan tetap seperti yang sudah-sudah jika tidak hendak dikatakan semakin menderita.
Mengapa nasib pelaut Indonesia begitu malangnya? Di mana letak pokok persoalannya? Sekadar catatan, persoalan yang membelit pelaut Indonesia sudah dimulai sejak mereka mengikuti proses pelatihan/pendidikan, sertifikasi hingga penempatan di atas kapal-kapal domestik maupun internasional. Dan, semua persoalan itu berawal dari terpusatnya pengelolaan bidang kepelautan pada satu tangan instansi tanpa ada check and balances dari pihak lain.
Pelatihan atau pendidikan pelaut di Indonesia berada sepenuhnya di tangan Kementerian Perhubungan (Kemhub) mulai dari tingkat rating hingga officer dan tersebar di beberapa daerah di Tanah Air. Tentu swasta diberi kesempatan untuk mendirikan sekolah atau akademi pelayaran namun perizinan dan pengawasannya tetap berada di bawah instansi tersebut.
Hanya saja, dari sudut kelengkapan fasilitas, lembaga pendidikan swasta itu relatif tertinggal dibanding yang dimiliki oleh Kemhub. Hampir tidak ada laboratorium dan simulator sebagai alat bantu pengajaran.
Dulu mereka bisa menumpang kepada sekolah/akademi yang memiliki fasilitas tersebut, dan biasanya itu punyanya Kemhub. Kini, praktik ini sudah tidak bisa lagi dilakukan berdasarkan kebijakan Kemhub pula. Masa depan pendidikan pelaut swasta pun menjadi tak menentu akibatnya.
Berbekal dana negara, Kemhub konon berencana membuka lagi kampus-kampus baru milik mereka yang dikhususkan untuk pendidikan rating. Jika kabar ini benar adanya, maka makin menancaplah kuku dominasi Kemhub dalam pendidikan pelaut Indonesia. Dominasi ini bukan hanya melumpuhkan pelaku swasta namun pelat merah. Selama lima puluh tahun lebih eksistensi pendidikan pelaut di Indonesia baru satu lembaga pendidikan milik Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang bisa beroperasi, yakni Politeknik Maritim Negeri Indonesia (Polimarin) di Semarang.
Selain pendidikan, Kemhub juga memegang kendali atas proses sertifikasi pelaut. Secara de jure Dewan Penguji Keahlian Pelaut (DPKP) disebut sebagai lembaga independen. Ia dinilai independen karena institusi ini terpisah dari lembaga yang mendidik calon pelaut. Tetapi, hampir seluruh personel DPKP pada saat yang bersamaan juga merupakan PNS Kemhub dan tidak sedikit pula yang berposisi sebagai pengajar di lembaga pendidikan pelaut milik Kemhub. Hampir tidak ada orang dari luar kementerian tersebut.
Bagaimana dengan proses penempatan pelaut di kapal-kapal domestik dan internasional, di mana tangan-tangan Kemhub bermain? Dalam penempatan pelaut pihak yang terlibat adalah pelaut itu sendiri, perusahaan pelayaran (principal) dan organisasi pelaut. Adapun Kemhub, bersama-sama Kemenaker dan BNP2TKI, memberikan endorsement terhadap perjanjian kerja yang dibuat antarpihak tadi.
Yang menjadi persoalan bila terjadi persoalan atau perselisihan antara pelaut dan principal. Seringkali Kemhub, yang memiliki kewenangan untuk mencabut SIUPAL atau SIUPPAK, tidak menindak perusahaan pelayaran yang nyata-nyata telah menelantarkan pelaut tanpa gaji atau hak lainnya.
Wajah Pelaut 2017
Gambaran di tahun depan itu akan seperti ini. Proses pendidikan, sertifikasi dan penempatan pelaut tidak akan berubah. Malahan beban mereka dipastikan akan makin berat seiring akan diberlakukannya STCW 2010 (Amandemen Manila). Bukan aturannya yang berat tetapi kewajiban pemutahiran (up dating) sertifikat kecakapan untuk para pelaut yang membuat menjadi horor.
Dengan akan diberlakukannya aturan IMO tentang pelaut tersebut, semula Januari namun diundur Juli 2017, Kemhub sudah mewajibkan para pelaut agar melakukan up dating. Begitu semangatnya Kemhub dengan proyek pemutahiran sertifikat pelaut sampai-sampai pelaut yang bekerja di sungai sekalipun juga disuruh ikut. Padahal, STCW 2010, termasuk aturan sebelumnya, hanya berlaku bagi pelaut yang melayari perairan internasional. Di samping itu, yang dimintai ikut juga termasuk calon pelaut yang baru akan mencari dengan sertifikat yang akan didapat.
Informasi dari Perhimpunan Pelaut Indonesia (PPI) mengatakan, tersedia dana APBN bagi proyek sertifikasi pelaut sesuai STCW 2010 yang besarnya lebih dari 1 triliun rupiah. Hanya saja, tidak ada penjelasan yang memadai bagaimana dana itu akan dipergunakan. Pada 2016, Kemhub juga menyediakan dana untuk program sertifikasi gratis. Instansi ini terutang penjelasan terkait berapa banyak jumlah peserta yang sudah disertifikasi dan berapa jumlah yang terpakai.
Itu bermakna, di tahun baru yang sebentar lagi akan disongsong ‘nenek moyang’ kita akan masih dihantui praktik pungutan liar ketika mereka berusaha mendapatkan sertifikat demi pekerjaan yang tengah diburu. Semoga tidak begitu.
Diterbitkan dalam Beritatrans.com, edisi 30 Desember 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?