Pungli Buku Pelaut, Puncak Gunung Es Korupsi Kemenhub

Kementerian Perhubungan mendadak riuh hari itu. Polisi berseragam dan bersenjata lengkap terlihat di sudut-sudut kantor pusat instansi tersebut. 

Terlihat pula anggota polisi yang mengenakan seragam baru kaus Polo Turn Back Crime di sana. Ada gerangan apakah? Rupanya, korps baju cokelat baru saja menangkap tangan beberapa PNS Kemenhub yang melakukan pungutan liar alias pungli dalam proses penerbitan buku pelaut (bupel). Tak lama berselang, Presiden Joko Widodo bergegas menyambangi Kemenhub yang hanya selemparan batu dari Istana Negara. 

Entah sengaja diatur atau tidak, sebelum operasi tangkap tangan (OTT) itu sang Presiden tengah memimpin rapat pemberantasan pungli di kantornya. Sejak hari itu, publik disuguhi liputan media yang cukup masif seputar kasus pungli bupel. Barangkali, coverage ini akan bertahan hingga beberapa waktu ke depan. 

Puncak Gunung Es 

Sayangnya, liputan media yang ada masih terfokus pada pungli bupel. Padahal, pungli buku pelaut hanyalah puncak gunung es (the tip of the iceberg) dari berbagai praktik koruptif lainnya yang ada di tubuh Kemenhub yang sudah berlangsung dalam waktu yang relatif panjang. Praktik ini begitu akutnya sampai-sampai sejumlah kasus yang sudah mengirimkan sebarisan birokrat instansi tersebut—mulai level kepala subbagian, kepala bagian, direktur, hingga direktur jenderal—ke hotel prodeo tak mampu dijadikan pelajaran oleh sejawatnya agar tidak mengulanginya. 

Pertanyaannya, selain bupel apa lagi yang biasanya bisa diolah oleh birokrat Kemenhub sebagai lahan pungli mereka? Pertama, ini masih terkait dengan profesi pelaut, sertifikat keterampilan atau certificate of proficiency (CoP). Sebelum menjalankan pekerjaannya di atas kapal, berbendera Indonesia ataupun berbendera asing, pelaut diwajibkan memiliki CoP sebagai penanda bahwa mereka terampil dalam aspek-aspek yang dipersyaratkan sesuai dengan tipe kapal. Itu artinya, pelaut yang bekerja di atas tanker misalnya, CoP-nya berbeda dengan mereka yang bekerja di atas kapal penumpang. 

Dalam bahasa lain, pelaut tanker mesti mengantongi, antara lain, sertifikat tanker familiarization, sementara pelaut kapal penumpang harus punya sertifikat crowd management. Di samping CoP, ada juga sertifikat keahlian atau certificate of competence (CoC). Bila CoP bisa didapat oleh mereka yang tidak mengikuti training khusus kepelautan, di lain sisi, CoC diperoleh melalui jalur pelatihan kepelautan yang diselenggarakan oleh lembagalembaga pelatihan pelaut seperti STIP, STIAMI dan lain sebagainya. 

Contoh CoC adalah Ahli Nautika Tingkat (ANT) untuk dek dan Ahli Teknika Tingkat (ATT) untuk kamar mesin. Lalu, di mana letak pungli oleh birokrasi Kemenhub dalam proses sertifikasi pelaut? Pungli dilakukan saat ujian keterampilan/ keahlian dan berlanjut hingga penerbitan sertifikat. Hal ini dimungkinkan karena dalam setiap tahapan instansi tersebut terlibat secara intensif; instruktur dan penguji merupakan PNS yang biasanya berasal dari Direktorat Perkapalan dan Kepelautan (Ditkapel) yang kantornya di-OTT oleh polisi beberapa waktu lalu. Lahan pungli kedua, survei kapal. 

Dalam bidang yang satu ini dikenal dua jenis survei, yaitu mandatory survey dan statutory survey. Yang pertama mencakup hull, machineries dan electricity yang lazimnya dilakukan dalam rentang lima tahunan dan dilaksanakan di lapangan oleh klas. Sedangkan yang kedua meliputi seluruh aspek keselamatan kapal dan intervalnya biasanya setahun sekali yang dieksekusi di lapangan oleh marine surveyor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. 

Jika pekerjaan yang dilakukan oleh klas (PT Biro Klasifikasi Indonesia) sudah transparan– soalnya BKI merupakan badan usaha yang harus menerapkan good corporate governance dan harus akuntabel di mata asuransi, namun tidak demikian halnya dengan marine inspector Ditjen Hubla. Who audits the marine inspector? Jawabannya tentu saja pihak Ditjen Hubla sendiri yang mengawasi para marine inspector-nya. 

Tetapi, karena sesama personel Hubla tentunya pengawasan ini bisa jadi berjalan tidak efektif karena ada jiwa karsa yang dinomorsatukan. Sering kejadian kondisi kelaiklautan sebuah kapal yang sebenarnya tidak laik tetapi tetap saja bisa berlayar karena syahbandar memberikan surat persetujuan berlayar (SPB) karena barangkali ia dapat titip salam dari temannya yang marine inspector. 

Ada pula kisah bagaimana kapal tua ketika di-reflagging menjadi lebih muda sepuluh tahun dari tahun pembuatannya. Semua kebobrokan ini terjadi karena ada bertumpuk- tumpuk duit yang bermain dalam proses survei kapal, berkisar di angka ratusan juta per pemeriksaan. Dari SPB di muka muncul lahan pungli ketiga, yaitu pungli penerbitan SPB yang dilakukan oleh kantor kesyahbandaran. Berdasarkan aturan, syahbandar setempat harus melakukan pemeriksaan langsung ke dermaga sebelum kapal ia izinkan berlayar. 

Tetapi, sering terjadi SPB diberikan tanpa syahbandar perlu ke lapangan sejauh uang rokok telah disiapkan oleh operator kapal. Ada banyak lagi pungli/korupsi di Kemenhub, namun kita cukupkan tiga dulu dalam tulisan ini. 

Upaya Quick Win 

Setelah pungli buku pelaut (bupel) terungkap, apa yang harus dilakukan oleh Kemenhub untuk menegakkan kembali kredibilitas instansi yang sudah terlanjur berdarah-darah? Penulis melihat ada beberapa langkah yang bisa diambil Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebagai quick win. Misalnya, pemisahan fungsi pelatihan, pengujian dan sertifikasi yang saat ini semuanya berada di bawah Kemenhub. 

Instansi tersebut bisa tetap menjalankan fungsi pelatihan karena mereka memiliki fasilitas yang lengkap dan tersebar di beberapa provinsi, tetapi fungsi pengujian/sertifikasi diserahkan kepada pihak ketiga, dalam hal ini bisa dipikirkan untuk melibatkan BNSP. Soal penguji/ instruktur, Indonesia memiliki ribuan profesional di luar PNS Kemenhub yang bisa melakukan pekerjaan ini. Untuk survei kapal, sudah saatnya pekerjaan ini sepenuhnya diserahkan kepada klas. Kebijakan ini akan mempermudah pelaku bisnis pelayaran yang membutuhkan survei karena hanya satu pintu. 

Di samping itu, penyerahan sepenuhnya pekerjaan survei kapal kepada klas akan memperkuat BKI di mata komunitas klasifikasi internasional. Terakhir, kesyahbandaran dilepas dari Kemenhub dan selanjutnya menjadi institusi mandiri. Terserah Presiden mau ditaruh di bawah siapa syahbandar setelah itu. 

Yang jelas syahbandar tidak lagi di bawah Kemenhub. Bila terkuaknya pungli buku pelaut hanya dijadikan peristiwa hukum semata tanpa bergerak ke isu yang lebih substansial, maka OTT Kemenhub hanyalah upaya pencitraan belaka.

Diterbitkan dalam Koran SINDO, Jumat, 14 Oktober 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?