Tax Amnesty Maritim, Mungkinkah?

Sejak diluncurkan beberapa waktu lalu, pengampunan pajak atau tax amnesty terus bertahan pada puncak ‘klasemen’ topik paling hangat di Tanah Air. Sudah banyak tulisan para pengamat dan pakar dalam media massa yang membahasnya. Begitu pula berbagai forum seminar, diskusi dan FGD tak ketinggalan meramaikan isu yang satu ini.
Dari pewacanaan itu, plus perbincangan di berbagai grup Whatsapp (WA) yang sekarang tengah in, mucullah gagasan agar kebijakan tersebut diterapkan sesuai dengan sektor atau bidang usaha yang ada. Itu artinya perlu ada tax amnesty khusus sektor kehutanan, properti dan lain sebagainya.
Gagasan yang cukup bagus. Soalnya, masing-masing sektor atau bidang usaha punya best practices yang jika diterapkan dengan bijak mampu mendorong program tax amnestymencapai targetnya yang dipatok ribuan triliun itu. Wacana penerapan tax amnesty sektoral juga menyentuh bidang maritim, dalam hal ini bisnis pelayaran.
Sebagai usaha yang dikenal dengan sebutan capital intensive, pelayaran layak terlibat menyukseskan kebijakan pengampunan pajak Presiden Joko Widodo. Potensi pemasukan (revenue stream)-nya lumayan besar.
Pertanyaanya, dari sudut mana potensi tax amnesty maritim itu bisa digali? Dan, bagaimana cara mendapatkannya?
Di luar pemasukan ke kantong negara dalam bentuk PPn, PPh dan lain-lain yang sudah berjalan selama ini bisnis pelayaran masih menyisakan potensi pajak untuk digarap dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan menambal defisit yang ada. Potensi ini berasal dari para pemilik kapal (shipowner) yang mendaftarkan kebangsaan kapalnya ke dalam flag of convinience atau bendera kemudahan.
Tidak ada data yang cukup tepat untuk menggambarkan praktik flagging out oleh shipowner Indonesia ke FoC. Karena, prosesnya terjadi di luar negeri dan negara bendera memudahkan hampir segala urusan untuk mendapatkan benderanya, mulai dari pajak, aturan perburuhan termasuk identitas shipowner. Shipowner bisa hanya berupa perusahaan cangkang. Dari sinilah kata kemudahan atau convinience itu bermula. Perlu dicatat, saya tidak mengatakan bahwa flagging out dan FoC merupakan perbuatan melanggar hukum. Praktik ini seluruhnya legal dan lazim dalam bisnis pelayaran internasional.
Merujuk data yang dipublikasi oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), kapal FoC yang dimiliki oleh shipowner Indonesia per Januari 2015 berjumlah 153 unit, setara dengan 4.120.935 dead weigth ton (DWT). Angka ini hampir seperempat dari total tonase armada nasional sebesar 17.029.512 DWT. Jika sebuah negara FoC mengenakan biaya register sebesar US$22 per ton, maka ada capital outflow lebih dari US$90 juta. Itu untuk biaya pendaftaran saja, belum pajak pendapatan. Hampir tidak ada pajak lain yang dikenakan oleh FoC selain income tax yang berkisar antara 7% hingga 9% per tahun.
SECOND REGISTRY
Lalu, bagaimana caranya agar dana yang ada di luar negeri itu bisa masuk ke Tanah Air? Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem registrasi terbuka (open registry). Indonesia sampai saat ini menerapkan sistem pendaftaran tertutup atau close registry. Ini berarti, jika ingin mendapat pemasukan melalui pengampunan pajak kepada shipowner nasional yang mengibarkan bendera FoC di atas kapal mereka, pemerintah perlu melakukan deregulasi proses pendaftaran kebangsaan kapal Indonesia.
Deregulasi itu diniatkan untuk memberikan kemudahan sebanyak mungkin, atau, paling tidak sama dengan kemudahan yang diberikan oleh negara FoC kepada shipowner lokal selama ini. Syukur-syukur bisa lebih. Pemberian convinience kepada pemilik kapal lokal ini bisa dilakukan melalui second registry. Maksudnya, registrasi utama (sebut saja first registry) tetap dibiarkan tertutup, sedangkan untuk menarik minat shipowner nasional agar mau memulangkan uang mereka ke Tanah Air pemerintah membuka pendaftaran ‘kelas’ dua dengan segala kemudahan setara FoC.
Banyak negara yang selama ini dikenal dengan sistem close registry seperti Indonesia telah mengadopsi kebijakan second registry. Setidaknya ada sebelas negara yang telah menjalankan kebijakan tersebut, di antaranya Perancis, Norwegia, Belanda dan Denmark. Bervariasi dalam beberapa aspek, tetapi semua negara yang menerapkan second registry sependapat bahwa policy itu bisa menambah pemasukan keuangan negara.

Ambil contoh register Isle of Man, second registry-nya Inggris. Sejak didirikan pada 1984 hingga kini telah membenderakan 1.079 unit kapal dengan total tonase 23,008 juta DWT. Hong Kong, yang dianggap oleh sebagian besar stakeholder pelayaran global sebagai second registry China, lebih kinclong lagi prestasinya. Menurut Review of Maritime Transport 2015, publikasi resmi UNCTAD, Hong Kong memiliki total tonase 150.801.000 DWT, 2,71% dari total tonase dunia yang mencapai hampir 1,7 miliar DWT lebih. Pembaca bisa bayangkan berapa banyak cuan yang bisa didapat.
Jadi, jika ditanya mungkinkah tax amnesty maritim? Jawabannya sangat mungkin.
Diterbitkan dalam BISNIS INDONESIA, Kamis, 8 September 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?