Menkomar Dalam Timbangan Visi Maritim Presiden

Pencopotan Rizal Ramli dari posisi Menteri Koordinator Bidang Maritim memang mengagetkan khalayak luas. Ia tengah ‘berhadapan’ face-to-face dengan Basuki Tjahaya Purnama di Teluk Jakarta dalam isu reklamasi saat direshuffle. Walhasil, tindakan Presiden Joko Widodo menggantinya dengan Luhut Binsar Pandjaitan tak ayal lagi dimaknai oleh publik sebagai ‘kalah sakti’nya mantan Kepala BULOG pada era Presiden Abdurrahman Wahid itu atas Gubernur DKI Jakarta. Apa lagi, Menkomar Luhut berencana meninjau ulang kebijakan Rizal yang menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Genaplah sudah pukulan telak oleh alumni ITB tersebut.

Saya tidak hendak membahas perseteruan Rizal Ramli vs Ahok yang sarat dimensi politik karena politik bukan titik perhatian utama saya selama ini. Lagi pula, sudah banyak pengamat dengan pisau analisis mereka yang tajam membedah masalah ini. Karena tugas pokok dan fungsi Rizal Ramli terkait dengan bidang kemaritiman, maka saya mencoba melihat pencopotannya dari sudut kemaritiman, khususnya dalam perspektif visi maritim Presiden Joko Widodo: poros maritim.

Pertanyaannya, bagian mana dari visi maritim Presiden yang tidak bisa diimplementasikan oleh Rizal Ramli? Karena Rizal merupakan ‘korban’ kedua –sebelumnya Indroyono Susilo juga dicopot dari kursi Menkomar dalam reshuffle pertama namun tidak ada kehebohan yang mendahuluinya- apakah itu bisa diartikan bahwa visi maritim Presiden memiliki loophole sehingga sulit diwujudkan?

Arsitektur Poros Maritim

Poros Maritim adalah gagasan Presiden Joko Widodo yang dimunculkan saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Konsep ini ditawarkan oleh Rizal Sukma kepada Presiden Joko Widodo kala itu. Tentu Duta Besar RI untuk Inggris Raya itu bukan orang satu-satunya yang menawarkan konsep tersebut. Konon, ada belasan orang lain pendukung Jokowi yang concerned dalam bidang kemaritiman yang juga ikut membidani poros maritim. Namun, Rizal Sukma tetap harus disebut sebagai penggagas utamanya karena ia menuliskannya dalam sebuah media nasional saat itu.

Dalam tulisan itu, Rizal mengatakan bahwa gagasan poros maritim yang dilontarkan Jokowi lebih utuh dibanding wacana yang ada sebelumnya karena ia memiliki tiga elemen dasar: sebagai sebuah cita-cita, sebagai doktrin, sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional, dan cara/strategi untuk mewujudkannya. Rizal mengistilahkan poros maritim dengan nama maritime fulcrum tetapi publik lebih suka menyebutnya maritime axis yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi poros maritim.

Oleh karena itu, jelas sudah tidak terhindarkan dimensi politis lebih kental dibanding aspek ekonomis dalam memandang poros maritim. Dalam bidang ekonomi kemaritiman (maritime economics) poros maritim dikenal dengan istilah international maritime center (IMC). IMC adalah sebuah pelabuhan atau negara yang telah berhasil membangun aneka macam fasilitas, infrastruktur dan regulasi sehingga menarik minat kalangan pelayaran internasional dan komunitas maritim lainnya untuk mendatanginya dan dapat menjalankan bisnis yang menguntungkan di pelabuhan/negara bersangkutan.

Singapura dikenal sebagai salah satu IMC yang terbaik. Status IMC yang didapat oleh Negeri Jiran ini bertumpu pada posisinya sebagai sebuah hub kemaritiman global. Sejalan dengan statusnya, Singapura saat ini menjadi lokasi berkantornya lebih dari 4.200 multinational corporations (MNC) dan 26.000 perusahaan mancanegara lainnya. Mereka terdiri dari shipbrokers, charterers, marine insurers, maritime law, dan sebagainya.

Setahun berjalan, poros maritim lebih merupakan gagasan yang ‘polos’ dan baru belakangan dilengkapi. Adalah Presiden Jokowi yang melengkapi kepolosan konsep poros maritim dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur yang digelar di Kuala Lumpur November  2015. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebutkan ada lima unsur dalam poros maritim, yakni diplomasi maritim, pertahanan maritim, sumberdaya maritim, budaya maritim dan infrastruktur maritim.

Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh CSIS untuk memperingati setahun poros maritim tahun lalu yang penulis hadiri, salah seorang pembicara kunci Arif Havas Oegresono, Deputi Kedaulatan RI Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya, mengatakan bahwa lima unsur poros maritim yang disampaikan oleh Jokowi telah berkembang menjadi sepuluh unsur. Sampai Rizal Ramli dicopot tidak jelas kelanjutan tambahan ini. Bahkan, bisa jadi tidak selesainya tambahan ini salah satu alasan logis pemecatannya.
Sebagai sebuah visi, Poros Maritim tak sempurna. Memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Namun poros maritim hampir-hampir tidak memiliki elemen yang bisa membuatnya mendekat kondisi ideal. Padahal, elemen untuk menjadi visi yang (mendekati) ideal itu ada di Indonesia. A. T. Mahan, bapak strategi maritim dunia yang terkenal dengan bukunya The Influence of Sea Power upon History 1660-1783, menyebut enam elemen yang bisa dimanfaatkan oleh sebuah negara agar bisa menjadi kekuatan maritim (sea power) antara lain, geographical position, physical conformation dan extent of territory.

Itu artinya, merujuk posisi geografi Indonesia yang berada tepat di antara Samudera Hindia dan Pasifik misalnya, visi maritim Presiden seharusnya secara spesifik menetapkan sasaran strategis menjadikan negeri ini sebagai negara pelabuhan. Sasaran ini sepertinya disisipkan dalam pilar infrastruktur maritim.

Poros maritim memang lemah dalam aspek spesifik. Visi memang tidak mesti spesifik tetapi paling tidak ia bisa memberikan arah. Sayangnya, poros maritim tidak pula memiliki arahan yang jelas. Ketika kita bertanya ‘Dimulai dari mana upaya untuk mewujudkannya?’ Tidak ada arahannya. Sejak dicanangkan poros maritim telah dieksekusi oleh berbagai kementerian/lembaga. Hasilnya? Tumpang-tindih program tidak terhindarkan.

Pelengkap/pilar yang ditambahkan oleh Presiden Jokowi malah justru membuatnya makin melebar. Menurut informasi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, kini tengah disusun dua buku sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan. Buku pertama akan berisi aspek-aspek politis, seperti geostrategi, geopolitik dan lain sebagainya. Semua itu akan disusun oleh kementerian koordinator tersebut. Sementara, buku dua yang memuat aspek-aspek teknis, akan disiapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Seperti nasib tambahan lima pilar yang dijanjikan oleh Kemenkomar, kedua buku ini tidak jelas juga juntrungannya sampai saat ini.

Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh Menkomar baru Luhut Binsar Pandjaitan agar visi maritim Presiden Joko Widodo bisa dijalankan dan tidak ‘menelan’ korban berikutnya? Ada satu langkah saja yang bisa ia jalankan, yaitu, menetapkan prioritas utama apa yang bisa jalankan oleh pemerintah sebagai quick win. Tidak mungkin menjalankan lima pilar poros maritim sekaligus.


Jadi, masih ada sisa waktu sekitar 3 tahun bagi Menkomar Luhut untuk merapikan kemaritiman nasional. Segera tetapkan prioritas, jenderal!

Diterbitkan daam SINDOWEEKLY, Edisi 22-28 Agustus 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?