Meneropong Bisnis Pelabuhan Nasional

Banyak pihak di awal tahun berusaha memroyeksikan bisnis yang digeluti apakah akan makin berkembang atau malah mundur dalam satu tahun ke depan. Biasanya karena satu dan lain hal mereka optimistis keberuntungan yang ada semakin besar seiring bergantinya masa. Tetapi, karena satu dan lain hal pula ada juga pihak yang pesimistis dalam mengarungi usahanya. Dan, menyimak perkembangan lingkungan strategis yang melingkarinya tahun lalu, bisnis pelabuhan nasional dapatlah dikelompokan ke dalam kategori kedua.

Dalam bahasa lain, lingkungan strategis tersebut akan mempengaruhi performansi bisnis pelabuhan nasional selama 2016 sehingga diramalkan dia akan cenderung melambat jika tidak mau disebut stagnan alias jalan di tempat. Karena pemain utama sektor ini adalah BUMN – pelaku swasta masih sangat terbatas baik karena alasan finansial maupun teknis - stagnasi yang diprakirakan itu pada gilirannya akan mempengaruhi setoran mereka kepada keuangan negara. 

Lalu, apa saja perubahan lingkungan strategis yang dapat mempengaruhi jalannya bisnis kepelabuhanan nasional sepanjang 2016?

FAKTOR EKSTERNAL 

Faktor eksternal (externality) yang menaungi bisnis kepelabuhanan nasional terdiri dari dua elemen, yaitu yang ada di dalam negeri sendiri dan yang lainnya berasal dari luar negeri. Selama 2015, terutama pada kuartal ketiga, perubahan mendasar terjadi dalam tata kelola kepelabuhan nasional. Ini adalah yang dimaksud dengan externality yang berlangsung di dalam negeri. Adalah pemberlakuan konsesi kepada BUMN kepelabuhanan yang menjadi pemicunya.

Kebijakan itu boleh dibilang kontroversial karena baik UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 344 Ayat 3, yang berbunyi “Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud.” Maupun PP 61 Tahun 2009 dan PP yang lebih baru, PP 64 Tahun 2015 tentang Kepelabuhanan Pasal 165 Ayat 3 tidak perlunya konsesi juga diatur. Pelindo mendapatkan konsesinya langsung dari UU (concession by the law). Tetapi, tetap saja pada akhirnya keempat Pelindo menandatangani perjanjian konsesi dengan Kementerian Perhubungan atas aset-aset yang sejak dulu sudah mereka kelola yang merupakan pelimpahan dari negara melalui Kementerian Keuangan selaku pemegang ‘BPKB’ seluruh kekayaan negara yang sudah dipisahkan itu.

Tak hanya sampai di situ. Pemberlakuan konsesi diikuti pula dengan kewajiban bagi seluruh Pelindo untuk mengantongi izin bongkar-muat bagi aktivitas stevedoring yang berlangsung. Pemaksaan ini terjadi di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang hingga lumpuh bongkar-muat di sana. Memang, pada akhirnya bisnis kembali berjalan as usual di Tanjung Emas namun regulasinya tidak berubah sama sekali sehingga bisa jadi kelak kegaduhan akan berulang di sana atau pelabuhan lainnya.

Masalah konsesi inilah yang menjadi salah satu ‘bahan bakar’ bagi Pansus Pelindo II untuk merekomendasikan pembatalan perpanjangan kerja sama antara Pelindo II dan HPH Hong Kong dalam manajemen PT Jakarta International Container Terminal (JICT). Pemerintah belum bersikap terhadap usulan DPR tersebut. Diharapkan desakan itu tidak mesti dituruti oleh Presiden karena ada ancaman arbitrase yang menunggu jika kerja sama yang ada diterminasi. Biasanya, Indonesia selalu kalah dalam palagan arbitrase internasional.

Last but not least, melalui PP Nomor 11 Tahun 2015 tentang PNBP bisnis kepelabuhanan juga akan mengalami perubahan. Daya rusak aturan ini terletak pada terjadinya tumpang-tindih pungutan. Apa yang akan dipungut oleh Kemenhub berdasarkan PP tersebut sebenarnya sudah dipungut oleh Pelindo atas nama Kemenhub.

TAHUN SURAM

Faktor eksternal yang berasal dari luar menambah persoalan yang sudah muncul di dalam negeri sehingga diperkirakan selama 2016 bisnis kepelabuhanan nasional akan relatif suram. Faktor ini berupa masih melemahnya perdagangan internasional sebagai akibat perekonomian global yang belum begitu sehat. Akibatnya, shipment komoditas selama setahun lalu oleh main line operator atau MLO mengalami penurunan. Terpaksalah mereka menata ulang armada dan rute yang ada serta melakukan merger dan acquisition demi tetap menagpung di samudera bisnis. Yang terbaru adalah M&A oleh CMA-CGM atas NOL.

Pada putaran selanjutnya, kelesuan dalam bisnis pelayaran berimbas kepada kinerja pelabuhan-pelabuhan besar di dunia. Pelabuhan Singapura misalnya, selama sembilan bulan pertama 2015, kegiatan bongkar-muat peti kemasnya turun 6,5%  dari 25,1 juta TEU menjadi 23,5 juta TEU.

Pelabuhan-pelabuhan kita memang tidak ada yang sebesar Pelabuhan Singapura tetapi para eksekutif seluruh pelabuhan komersial kita terus berjuang memperbaiki fasilitas yang ada agar makin efisien dan efektif. Namun, sayangnya upaya mereka acap tidak diimbangi dukungan kebijakan yang lebih BUMN friendly dari kementerian terkait. Di samping itu, para pihak banyak menyalahartikan kebijakan yang mereka ambil.


Diterbitkan dalam BISNIS INDONESIA, Jumat 8 Januari 2016 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?