Hub Cruise Center dan Penguatan Wisata Bahari

Geliat wisata bahari atau marine tourism dalam negeri makin membuncah dalam lima belas tahun terakhir seiring dengan dibukanya destinasi-destinasi baru di luar Pulau Dewata. Lokasinya tersebar mulai dari seputaran Sumatera, Nusa Tenggara, Papua dan lain sebagainya. Objek-objek baru akan terus dibuka karena potensi Indonesia memang luar biasa dalam bidang yang satu ini.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikarunia begitu banyak kelebihan, salah satunya adalah sebagai segi tiga terumbu karang (coral triangle) dunia. Segi tiga terumbu karang adalah istilah geografi yang mewakili suatu daerah berbentuk hampir segi tiga dari perairan tropis di wilayah Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Filipina, Kepulauan Solomon dan TimorLeste. Perairan ini mengandung 500 spesies pembentuk terumbu karang di setiap ecoregion.

Bagi pencinta marine tourism – domestik maupun mancanegara - keragaman yang tersimpan di kawasan segi tiga terumbu karang tadi merupakan surga idaman. Mereka dapat dipastikan akan mendatangi kawasan itu dengan cara apapun.

Bagi Indonesia kondisi itu tentulah merupakan sebuah kesempatan untuk menghasilkan keuntungan dalam bentuk devisa dan berbagai multiplier effect lainnya jika bisa dikelola dengan baik.

MINIM HUB

Sayang sekali, kegiatan pariwisata maritim di destinasi-destinasi yang ada tidak didukung sarana yang cukup. Sarana pendukung yang dimaksud di sini adalah hub cruise center.

Jika kita mendatangi pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, pelayanan kapal pesiar (cruise) diselenggarakan di terminal yang memang disiapkan khusus untuk itu. Fasilitasnya lumayan lengkap dan kenyamanannya pun cukup baik; aula untuk penumpang dilengkapi dengan pendinginan ruangan misalnya.

Namun, terminal ini masih bergabung atau bertetangga dengan terminal-terminal barang. Tidak ada yang salah dengan terminal penumpang bergabung dengan fasilitas bongkar-muat barang.

Merujuk kepada praktek yang lazim dalam dunia pelayaran, terminal penumpang yang beroperasi di Indonesia itu boleh dibilang bukanlah cruise center. Salah satu ciri cruise center adalah fasilitas ini terpisah dari terminal barang.

Untuk mendukung pariwisata bahari, kita tidak hanya membutuhkan cruise center. Lebih dari itu, kita membutuhkan hub cruise center. Satu dibangun di belahan barat Indonesia, penulis mengusulkan di Ancol, Jakarta Utara. Dan, yang lain dibangun di bagian timur Indonesia, tepatnya di Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari hub inilah kapal-kapal pesiar melakukan perjalanan menuju cruise center-cruise center yang ada di destinasi wisata bahari.

Hub cruise center di Ancol akan melayani kapal pesiar dengan destinasi yang terkenal di Indonesia bagian barat seperti Krakatau, Mentawai, Nias dan sebagainya. Voyage dilakukan dengan pola melingkar, artinya berawal dari Ancol dan kembali lagi ke Ancol. Sementara untuk Labuan Bajo, ia akan menjadi starting point bagi kapal pesiar yang berlayar menuju Wakatobi, Bunaken atau destinasi lainnya yang ada di Indonesia bagian timur.

Perjalanan kapal-kapal pesiar itu penulis usulkan agar dipaket untuk 7 hingga 10 hari. Jangan terlalu lama. Bila lebih dari sepuluh hari, paket yang ditawarkan akan terisi oleh para orang tua (60 tahun ke atas) karena hanya merekalah yang bisa berwisata melebihi sepuluh hari. Anak-anak muda – berkisar antara 35 hingga 50 tahun -  kemungkinan besar tidak akan tertarik mengingat ada pekerjaan yang harus ditekuni setelah liburan.

Bukan hendak melarang orang tua berwisata, tetapi rombongan wisata yang didominasi oleh kalangan sepuh membuat agen wisata agak susah membuat itinerary karena kekuatan fisik yang sudah tidak lagi mendukung di samping purchasing power yang juga sudah melemah digegeroti usia. Kondisi ini tentu saja berbeda jauh dengan wisatawan yang berasal dari generasi muda.

Oleh karena kapal-kapal pesiar yang akan melayari destinasi wisata bahari domestik dioperasikan oleh pelayaran asing semisal Star Cruise, Carnival dan lain-lain (kita tidak memiliki operator cruise lokal), maka mesti ada pelonggaran asas cabotage. Pelonggaran ini diperlukan agar kapal-kapal itu bisa bergerak dari satu destinasi ke destinasi berikutnya yang menurut asas cabotage tidak dibolehkan. Selain itu, pelonggaran juga untuk mempermudah naiknya calon penumpang, baik domestik maupun mancanegara, yang juga terlarang menurut kebijakan tersebut.

Lalu, siapa yang akan membangun hub cruise center? Bisa PT Pelindo, bisa pula perusahaan pelayaran, bisa siapa saja. Hal yang penting adalah pengembang mampu menggandeng operator cruise global agar menyinggahi hub yang mereka bangun. Dan, untuk tahap awal, pengembang cukup membangun fasilitas untuk kapal saja. Hotel belum perlu karena cruise itu sendiri adalah hotel terapung. Pemerintah daerah setempat bisa berperan dalam menyiapkan tempat-tempat yang bisa dikunjungi oleh penumpang cruise selama kapal mereka sandar berikut infrastrukturnya.

Diterbitkan dalam BISNIS INDONESIA, Selasa, 13 Oktober 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?