Memetik Hikmah dari Kasus Dwelling Time

Seiring perjalanan waktu, kasus dwelling time (DT) mulai meredup dari perhatian publik. Ia digantikan oleh isu lain yang lebih hangat dan karenanya membetot mata kita semua. Salah satunya adalah isu reshuffle kabinet yang baru saja usai. Tetapi penulis tidak ingin membahas topik pergantian menteri itu. Pikiran utama artikel ini tetap berkenaan dengan isu DT.
Mengingat kehebohan aksi penangkapan pelaku suap dan pemerasan terkait DT oleh kepolisian tidak lagi terlalu dominan, kinilah saatnya untuk merenung dalam upaya memetik hikmah dari apa yang telah terjadi. Hikmah pertama, dwelling time bukan perbuatan yang bisa dipidanakan seperti pencurian, pembunuhan atau korupsi. Ia merupakan domain tatakelola pemerintahan yang baik (good corporate governance/GCG).
Bahwa kepolisian berwenang memeriksa apapun dan siapapun tidak ada yang membantahnya. Namun, dalam kasus DT kepolisian berada dalam posisi sedikit offside. Menurut Bank Dunia, definisi dwelling time adalah the measure of the time elapsed from the time cargo arrives in the port to the time the goods leave the port premises after all permits and clearances have been obtained.
Terlihat jelas bahwa DT adalah bukan perbuatan, apalagi perbuatan pidana (crime). Sependek pengetahuan penulis, tidak ada peraturan perundangan yang menyatakan bahwa DT adalah perbuatan melanggar hukum dan bisa dipidanakan. Dan, belum terdengar satu kasuspun digelar di pengadilan dengan dakwaan tingginya DT. Kalau kapten kapal menjadi terdakwa banyak kasusnya.
Dwelling time hanyalah proses. Manakala berita penggeledahan kantor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan terkait DT muncul dalam media massa, reaksi publik kemaritiman jelas saja amat terkejut. Kok, DT bisa dijadikan tindak pidana, tanya mereka. Perubahan sangkaan dari DT menjadi gratifikasi akhirnya menyelamatkan wajah law enforcement kemaritiman nasional dari pergunjingan komunitas maritim dunia akibat “terobosan hukum” Polri.
Bergeraknya polisi mengusut masalah dwelling time bisa jadi merupakan respon Mabes Polri terhadap kemarahan Presiden Joko Widodo akibat masih tingginya DT ketika ia berkunjung ke Pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu lalu. Satu sisi apa yang dilakukan oleh kepolisian dengan mendindak DT menjadi reminder bahwa dunia kemaritiman kita masih dibelit oleh hantu DT. Pasalnya, isu DT perlahan meredup dari wacana publik seiring perjalan waktu.
Pelajaran Berharga
Namun, di sisi lain, kita tidak berharap kepolisian merasa sudah berhasil menuntaskan tingginya DT dengan keberhasilan medwelling time amat sangat kompleks yang penyelesaianya membutuhkan lebih dari aksi polisionil. Dibutuhkan kemauan berjamaah instansi pemerintah terkait untuk menyelesaikannya dan ini sudah merupakan ranah politik, bukan lagi domain kepolisian. Sekali lagi, ia merupakan GCG.
Ada pelajaran berharga yang lain yang bisa kita ambil dari tindakan terhadap dwelling time. Pertama, untuk aparat penegak hukum, praktik-praktik dalam bisnis kemaritiman banyak mengacu kepada rezim hukum luar. Penegak hukum kita bukan tidak tahu itu hanya saja mereka tidak familiar. Karenanya mereka bisa lebih membiasakan diri dengannya melalui sosialisasi berbagai aturan internasional bagi aparat hukum. Di samping itu, perlu juga ditindak lanjuti wacana pendirian peradilan maritim (admiralty court) untuk menyidangkan kasus-kasus hukum yang terkait dengan bidang kemaritiman seperti pelayaran, perikanan, sengketa kepelautan dan lain-lain.
Kedua, ditujukan kepada pelaku usaha kemaritiman, pembenahan DT sebaiknya dijadikan pintu masuk untuk lebih menertibkan praktik yang dijalankan. Bukan rahasia lagi, ada banyak pungutan atau biaya yang dikenakan kepada pengguna jasa mereka yang pada derajat tertentu rentan pelanggaran hukum jika pihak tertentu mempermasalahkannya. Misalnya, berbagai surcharge, uang titipan dan lain sebagainya.
Khusus untuk surcharge, barangkali kita bisa meniru kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Cina yang sudah memasukkannya ke dalam freight sejak beberapa tahun lalu. Di Indonesia surcharge masih belum dimasukan sebagai salah komponen uang tambang dan ditagih terpisah oleh pelayaran.
Dimuat dalam koran SUARA KARYA, Sabtu, 22 Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?