Sosok Ideal Menteri Transportasi



Salah satu wacana yang berkembang di masyarakat pasca penetapan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2014-2019 adalah kabinet yang akan dibentuk oleh mereka berdua. Berbagai kalangan, mulai dari partai politik, akademisi, kaum profesional hingga rakyat jelata, cukup antusias memperbincangkan topik yang satu ini dan tak lupa menyebutkan nama kandidat yang cocok untuk jabatan menteri tertentu.
Sebagai wujud peran serta masyarakat dalam pemerintahannya usulan yang ada sah-sah saja. Namun, keputusan terkait siapa figur dan kementerian apa yang cocok untuknya tetap berada di tangan sang presiden terpilih beserta wakilnya. Salah satu pos menteri yang dibicarakan adalah menteri perhubungan dan beberapa tokoh telah dimunculkan untuk mengisi jabatan tersebut.
            Menyimak nama-nama calon menteri perhubungan yang sudah beredar di masyarakat, melalui media massa maupun viva voce atau dari mulut-ke-mulut dalam lingkaran elit kekuasaan, mereka semua boleh dibilang bagus. Tetapi, tentu saja masih jauh dari sosok ideal yang diperlukan untuk mengurusi masalah perhubungan di negara ini yang teramat kompleks.
            Lalu, bagaimanakah sebetulnya sosok menteri perhubungan (menhub) yang ideal? Jika para kandidat yang ada sekarang tidak ideal, ke manakah sosok itu harus dicari?

Perhubungan vs transportasi

Key factor yang membuat kandidat-kandidat menhub yang ada dalam bursa menteri kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla jauh dari sosok ideal yang diharapkan adalah filosofi eksistensi kementerian yang kurang tepat. Nomenklatur resminya adalah kementerian perhubungan sementara aktifitas sehari-harinya adalah mengurusi transportasi. Ada jurang perbedaan yang cukup lebar menganga antara perhubungan dan transportasi.
Perhubungan dimaknai sebagai kegiatan atau aktifitas menghubungkan manusia dengan manusia lainnya tanpa pelaku perlu berpindah tempat bahkan tidak perlu berjumpa fisik. Hal ini dimungkin karena ada alat komunikasi yang menghubungkan mereka. Sementara, transportasi adalah kegiatan menghubungkan orang-orang dengan para pelaku bertemu secara langsung. Sarana yang mempertemukannya adalah alat atau moda transportasi.
Berarti selama ini di Indonesia ada dua kementerian yang mengurusi kegiatan yang pertama/perhubungan, yakni kementerian komunikasi dan informatika dan kementerian perhubungan. Tumpang tindih ini makin terasa jika nomenklatur yang ada diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Kementerian Komunikasi dan Informatika diterjemahkan menjadi ministry of communication and informatics, sedangkan kementerian perhubungan diterjemahkan menjadi ministry of communication (ini terjemahan yang dipakai oleh kementerian perhubungan sendiri).
Lantas, kementerian apa yang mengurusi transportasi? Secara filosofis jawabannya tidak ada. Tentu saja di lapangan masalah transportasi diselenggarakan oleh kementerian perhubungan. Namun, dengan eksistensi diri yang kurang pas tadi akhirnya kinerjanya kurang tajam. Karena itu ada baiknya nomenklatur kementerian perhubungan diganti menjadi kementerian transportasi agar menterinya bisa makin tokcer dalam bekerja.

Sosok ideal

Jika filosofi eksistensi kementerian sudah lebih tajam, sosok seperti apakah yang cocok untuk mengomandoinya? Tanpa hendak mendukung satupun kandidat yang saat ini beredar di tengah publik, setidaknya ada tiga kriteria untuk menjadi menteri transportasi. Pertama, mengerti dengan baik makna transportasi dan moda-nya.
Sebagai negara kepulauan, ini berarti kandidat menteri transportasi harus memiliki pemahaman yang lebih tentang transportasi laut. Pemahaman yang lebih tentang transportasi laut ini diperlukan untuk mewujudkan dua mata tombak kembar visi presiden terpilih Joko Widodo: tol laut dan poros maritim.
Kedua, mengerti dengan baik karakteristik global bidang transportasi. Sehingga, dalam menjalankan tugasnya kelak menteri transportasi Indonesia selalu bisa mengoneksikan moda transportasi dalam negeri dengan destinasi yang ada di luar negeri, paling tidak di kawasan terdekat. Ingat, tak lama setelah ia dilantik nantinya, awal 2015, menteri transportasi berurusan dengan Masyarakat Ekonomi Asea (MEA) dengan transportasi sebagai tulang punggungnya.
Ketiga, memiliki akses yang luas ke dalam komunitas pelaku usaha, penentu kebijakan dan pihak lainnya di bidang transportasi dunia dan diterima dengan baik oleh mereka. Selama ini menteri transportasi kita kebanyakan berasal dari kalangan politisi atau kaum profesional dengan akses yang relatif terbatas ke dalam komunitas tarnsportasi dunia. Akibatnya, banyak kebijakan internasional yang cenderung merugikan Indonesia di bidang transportasi tidak berhasil dibendung.
Akses juga diperlukan untuk memasarkan berbagai fasilitas transportasi skala besar yang saat ini sedang dibangun di dalam negeri. Sudah banyak pelabuhan dan bandar udara besar kita miliki tapi pemasarannya diserahkan sepenuhnya kepada direksi perusahaan yang mengelolanya.***** 

Dimuat dalam HARIAN TERBIT edisi Selasa, 2 September 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?