Menakar Ketajaman Visi Maritim Capres



Dua calon presiden (capres) yang akan berlaga dalam pemilihan presiden tahun ini relatif lebih memiliki visi di bidang kemaritiman. Satu hal yang patut diapresiasi tentunya. Secara tradisional dan berlaku global, yang dimaksud bidang kemaritiman adalah pelayaran dan sangat erat terkait dengan aktifitas perdagangan. 

Dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, Capt. A. T. Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal mengatakkan bahwa setelah perdagangan berkembang negara-negara yang memiliki armada pelayaran yang kuat meningkatkan kehadirannya di lautan dengan membangun angkatan laut yang kuat untuk mengawal barang-barang yang diangkut kapal-kapal mereka. Dalam kalimat Mahan: “...the necessity of a navy, in the restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping...”. Di samping pelayaran, bidang kemaritiman juga mencakup pelabuhan, galangan kapal, dan pelaut. 

Visi Prabowo Subianto dan Joko Widodo di bidang maritim adalah sama-sama ingin membangun pelabuhan. Ini pilihan yang tepat mengingat pelabuhan merupakan fasilitas yang teramat strategis; ia bukannya hanya sekumpulan beton di bibir pantai. Ada kisah menarik terkait nilai strategis sebuah pelabuhan dari negeri jiran Malaysia ketika Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) dibangun di sana pada era 90-an.

Perdana Menteri Malaysia kala itu, Dr Mahathir Mohamad, mendirikan pelabuhan tersebut tepat di seberang Singapura, tepatnya di Johor Baru. Kebijakan ini sebetulnya tidak tepat karena PTP jauh dari kota besar atau kawasan industri utama yang terletak di ujung selatan Malaysia. Ini berarti hanya akan ada sedikit barang yang akan keluar-masuk dari pelabuhan itu.

Namun, Dr M, panggilan akrab Mahathir Mohamad, tetap membangunnya. Dioperasikan pertama kali pada 1999 dan secara resmi diluncurkannya pada 2000, PTP kini merupakan salah satu pelabuhan penting di kawasan Asia dengan throughput tahunan melebihi 5 juta TEU. Last but not least, ada banyak putera Indonesia yang terlibat dalam pembangunan PTP.

Baru-baru ini, keberadaan Pelabuhan Tanjung Pelepas mencuat dalam komunitas pelayaran domestik karena ada rute baru yang dibuka oleh pelayaran global Maersk Line dari Pelabuhan Makassar menuju PTP dengan menyinggahi terlebih dahulu Papua New Guinea (Port Moresby), Port Noro, yang berada di kota Lae, kota terbesar kedua di Papua New Guinea, kemudian masuk ke Bitung dan berakhir di Tanjung Pelepas.

Kurang tajam

Sayang, visi maritim dua pasang calon presiden yang ada kurang tajam. Alasannya, pertama, pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun oleh para capres itu adalah pelabuhan yang sudah direncanakan sebelumnya oleh para teknokrat; para capres paling nantinya hanya tinggal mengeksekusinya saja. Lebih jauh, pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun itu bisa jadi tidak cocok dengan kebutuhan yang ada karena perencananya lebih mementingkan proyek dibanding kegunaan. 

Pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara adalah contoh pelabuhan yang dibangun dengan pendekatan seperti di atas. Ketika dibangun pertama kali, Kuala Tanjung nyaris tanpa jalan masuk mau pun keluar. Pengembangnya sepertinya ingin truk-truk yang menuju ke sana terbang. Dengan fasilitas yang masih belum berkembang, Kuala Tanjung ditetapkan sebagai pelabuhan pengumpul atau hub port internasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Sistem Logistik Nasional yang diterbitkan 5 Maret 2012 (sic).

Kedua, visi maritim Joko Widodo dan Prabowo Subianto sangat berorientasi ke dalam (inward looking). Padahal, pelabuhan di mana pun di seluruh dunia terhubung satu dengan lainnya dan mereka saling bekerja sama demi kemajuan bersama atau mutual co-existence. Artinya, bukanlah hal yang memalukan jika kita membangun pelabuhan tidak jauh lokasinya dari pelabuhan yang jauh lebih mapan dari pelabuhan di Indonesia.

Alangkah lebih baik jika kedua pasang capres juga mencanangkan visi untuk membangun pelabuhan tidak jauh dari Singapura, tepatnya di seputaran Batam, Kepulauan Riau. Tidak ada yang membantah bahwa pelabuhan Negeri Singa itu merupakan magnet bagi pelayaran dunia. Jika kita bisa membangun pelabuhan (peti kemas) di Batam yang fasilitasnya setara dengan pelabuhan Singapura, kita akan bisa menampung limpahan peti kemas dari sana. Pembangunan Pelabuhan Tanjung Pelepas yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan Singapura dibangun dengan filosofi tadi.

Terakhir, visi maritim kedua pasang capres kurang tajam karena tidak disertai dengan pernyataan bagaimana cara memasarkan pelabuhan-pelabuhan yang akan mereka bangun kelak jika menjadi presiden. Pelabuhan bukanlah fasilitas sosial melainkan ia merupakan sebuah entitas bisnis harus mendatang uang bagi negara.

Sudah banyak pelabuhan tapi pemasarannya diserahkan sepenuhnya kepada direksi perusahaan yang mengelolanya. Nyaris tidak pernah terdengar orang nomor satu di republik ini terlibat memasarkannya.*****

Diterbitkan dalam Koran SINDO edisi Sabtu, 7 Juni 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?