Bisnis Menggiurkan Bernama Perompakan



Belum lama berselang, sekitar akhir April lalu, sebuah tanker dirompak di seputaran Selat Malaka. Media memberitakan kasus tersebut sebetulnya bukan perompakan tapi merupakan sebuah “kerjasama” antara kru kapal atau anak buah kapal (ABK) dengan kawanan penjahat yang terorganisasi dengan baik. Kejahatan model itu dalam khazanah Keamanan Maritim diistilahkan dengan siphoning

Di samping siphoning, ada beberapa lagi jenis kejahatan maritim. Dalam klasifikasi lembaga pemantau kejahatan maritim di Asia, ReCAAP atau Regional Cooperation Agreement on Combating Pircay and Armed Robbery against Ships in Asia yang berkedudukan di Singapura, kejahatan maritim terbagi dalam tiga kategori. Kategori pertama, kejahatan dengan kadar sangat signifikan (very significant) terhadap korban. Di kelompok ini adalah perompakan atau piracy

Kategori dua, kejahatan maritim signifikansi cukup (moderately significant). Ditandai dengan penggunaan senjata tajam, biasanya berupa pisau atau parang, oleh para pelaku saat menyerang kapal. Sedangkan sebuah aksi kejahatan di laut dimasukan ke dalam kategori ketiga karena dinilai kurang signifikan (less significant); pelakunya menaiki kapal secara diam-diam layaknya pencuri dan kabur setelah mendapatkan apapun barang berharga yang dijumpai di atas kapal.

Selain ReCAAP, lembaga pemantau kejahatan maritim swasta International Maritime Bureau-IMB juga mengeluarkan klasifikasi. Hanya saja, menurut lembaga yang berbasis di London, Inggris itu semua kejahatan di laut adalah piracy. IMB disebut swasta karena ia dijalankan dan didukung oleh kalangan industri sementara ReCAAP didirikan oleh negara-negara anggotanya dan merupakan lembaga internasional seperti, Asean misalnya.

Bisnis perompakan
Bagi Indonesia isu perompakan memunculkan sejumlah dilema. Indonesia sebetulnya tidak mengakui adanya tindak perompakan (terutama bila terjadi di perairannya). Sikap ini diambil beralaskan definisi tentang perompakan yang tercantum Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982 Pasal 101. Inti aturan ini mennyatakan bahwa perompakan terjadi di laut lepas (high seas).

Selain itu, Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation 1988. Padahal, ketentuan yang dikenal dengan istilah SUA Convention oleh dunia kemaritiman internasional ini relatif lebih efektif dalam menangkal pembajakan kapal ketimbang UNCLOS 1982. Belum  diratifikasinya peraturan yang telah diberlakukan sejak 1992 oleh IMO ini karena Indonesia tidak sepakat dengan prinsip interdiction-nya. Di samping SUA Convention, Indonesia tidak terlibat dalam ReCAAP. 

Begitu berbedanya persepsi para pihak dalam menilai aksi perompakan, namun menyisakan satu fakta keras, yaitu kasus perompakan hanya sedikit yang berujung di pengadilan. Di Amerika Serikat, negeri itu hanya bisa menyidangkan tiga lanun Somalia yang ditangkap setelah membajak perahu layar berisi empat warga AS dan membunuh mereka di Tanduk Afrika pada Februari 2011. Kawanan perompak ini disidang pada Juni 2013 di Norfolk, Virginia, AS. Di Indonesia, jangankan perompakan, pencurian di atas kapal saja tidak terdengar pernah diproses oleh Kepolisian RI.

Padahal perompakan merupakan sebuah ‘bisnis’ dengan penghasilan yang menggiurkan. Kejahatan maritim yang terjadi sangat rapi layaknya badan usaha yang dikendalikan oleh sebuah manajemen. Dalam kasus yang menimpa tanker di atas, perompakan diawali dengan penetapan sasaran oleh sang mastermind dan menghubungi “kolega”nya di kapal yang akan dirompak. Mereka menetapka lokasi dan waktu untuk aksi.

Lalu, si mastermind mengaktifkan kelompok perompak yang ada dalam jaringannya untuk menjalankan aksi yang sudah direncanakan. Manajemen bisnis perompakan ini juga mengatur agar kegiatan alih muatan alias ship-to-ship (STS) yang akan dilakukan tidak akan mendapat gangguan dari pihak aparat keamanan. Tentu saja ia mengaturnya melalui jaringannya ke dalam instansi keamanan.

Karena perompakan merupakan bisnis, pekerjanya merupakan para profesional. Ada pelaut, teknisi kapal, dan sebagainya. Mereka bekerja bukan karena miskin tetapi dimotivasi oleh keuntungan. Bahwa menjadi perompak memang sebuah ‘profesi’ atau pekerjaan yang layak dilakoni.*****

Dimuat dalam harian KONTAN edisi Rabu, 21 Mei 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?