Mengurai Strategi dan Taktik Maritime Power



Sejak dahulu bidang kemaritiman telah memberikan kontribusi yang besar bagi negara-negara yang mampu mengelolanya dengan baik. Spanyol dan Portugal adalah dua negara yang dapat disebut sebagai contoh. Kemudian, Inggris, Belanda dan Perancis juga masuk dalam klab negara-negara yang berjaya di lautan setelah kekuatan dua negara sebelumnya perlahan meredup. Negara-negara tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama disebut sebagai maritime power yang secara relatif tetap bertahan hingga kini. Kendati pemain-pemain yang lebih baru seperti Jepang, Amerika, Cina dan lain sebagainya mulai menyalip mereka. Negara-negara itu sekarang duduk di Council Organisasi Maritim Internasional (IMO) dengan berbagai kategori keanggotaan, mulai dari A hingga B, untuk memajukan bisnis pelayaran dunia seraya mempertahankan dominasi yang mereka miliki sejak ratausan tahun lalu.

Sedikit tentang keanggotaan negara-negara anggota Dewan IMO. Konvensi IMO Amendemen 1993 mengatur anggota Council IMO dikelompokan tiga kategori, yaitu A, B dan C. Jumlah anggota dewan keseluruhan mencapai 40 negara dengan komposisi 10 negara kategori A, 10 negara kategori B dan 20 negara kategori C. 

Anggota Dewan kategori A merupakan negara-negara yang memiliki kepentingan terbesar dalam dalam memfasilitasi jasa pelayaran internasional. Di kelompok ini ada China, Yunani, Italia, Jepang, Norwegia, Rusia, Inggris dan AS.

Anggota dewan kategori B adalah negara-negara dengan kepentingan terbesar  dalam perdagangan maritim. Sementara kategori C terdiri dari negara-negara yang bukan kategori A dan B namun memiliki kepentingan khusus dalam transportasi maritim dan navigasi pelayaran. Di samping itu, mereka dipilih juga untuk melengkapi prinsip keterwakilan dari berbagai belahan dunia. Indonesia masuk dalam anggota Dewan IMO berkategori C.

Pada awalnya negara-negara maritime power memanfaatkan laut sebagai medium perdagangan. Setelah perdagangan berkembang mereka mulai meningkatkan kehadirannya dengan membangun angkatan laut yang kuat untuk mengawal barang-barang yang diangkut kapal-kapal mereka. Itulah peran angkatan laut dulunya. Dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, Capt. A. T. Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal mengatakkan “...the necessity of a navy, in the restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping...”

Begitulah. Namun seiring perjalanan masa, peran angkatan laut yang pada awalnya boleh disebut merupakan sub-sistem dari pelayaran mulai bergeser. Ia memiliki misi dan tugas  yang lebih luas dari pada sekadar pelindung armada dagang. Bahkan terkesan relasi antara keduanya mulai bertolak belakang. Apakah memang seperti itu? Jawabannya jelas tidak. Malah, peran angkatan laut dalam mendukung eksistensi kapal-kapal komersial sebuah negara makin kuat. Mengutip Mahan lagi: a strong navy was vital to the success of a nation, and control of the seas was vital for the projection of force on land and overseas.

Perwujudan dukungan angkatan laut terhadap armada kapal niaga negaranya adalah dengan diformulasikannya konsepsi blue water navy. Secara umum ini adalah konsepsi tentang kemampuan angkatan laut satu negara untuk digelar atau deployment di samudera luas/high seas dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam studi ilmu peperangan modern, angkatan laut yang ingin menerapkan prinsip blue-water navy harus memiliki kemampuan membela diri yang handal dari kemungkinan serangan lawan yang berasal bawah air (kapal selam), permukaan (kapal perusak, frigat, korvet, dll), dan serangan udara. Di samping itu, untuk menjadi sebuah angkatan laut yang blue-water dibutuhkan suplai logistik yang baik sehingga armada yang sedang berada di tengah samudera luas tadi dapat beroperasi terus-menerus tanpa mengalami gangguan.

Pilihan untuk menjadi angkatan laut dengan karakteristik blue-water biasanya ditentukan oleh sifat-sifat lingkungan maritim negara bersangkutan atau bisa juga karena alasan lain. Namun yang jelas, menjadi blue-water navy tidak terkait dengan postur armada (baca: tipe kapal) yang dimiliki oleh satu negara. Dengan bahasa lain, untuk menjadi blue-water navy tidak mesti harus memiliki aircraft carrier (kapal induk) atau kapal selam bertenaga nuklir dan lain sebagainya. Banyak angkatan laut di dunia yang mengoperasikan kapal-kapal baru nan canggih tapi tidak menjadi blue-water navy karena mereka tidak mampu mendukung kebutuhan logistiknya. Kunci untuk menjadi blue-water navy adalah kemampuan untuk mensuplai armada di garis depan secara terus-menerus.

Dukungan angkatan laut juga diwujudkan melalui operasi-operasi rahasia yang ditujukan untuk mendestablisasi kompetitor dalam menguasai lautan. Strategi ini dikenal dengan nama sea denial. Ada berbagai taktik yang bisa dijalankan dalam mencapai strategi ini, salah satunya dengan menciptakan konflik internal di dalam negeri kompetitor. Jika itu merupakan entitas bisnis, maka usaha itu akan dilumpuhkan dengan konflik internal. Inikah yang terjadi dengan konflik di Pelindo II? Jika ini berlanjut, bisa-bisa pembangunan Terminal Kalibaru bisa bubar.*****

Tulisan diterbitkan dalam Majalah JURNAL MARITIM edisi Januari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Pengenaaan CHC dan THC di Pelabuhan

In search for a new IMO Secretary-General – assessing Indonesia’s strength at the Global Maritime Forum

Mungkinkah TNI-AL menjadi blue-water navy (kembali)?