Membedah relasi politik di bidang maritim
Tahun 2014 ini adalah
tahun politik dan semua kita langsung maupun tidak langsung nantinya akan terlibat
atau terdampak dari rangkaian aktivitas kampanye hingga hari pencoblosan. Ini
konsekuensi kita sebagai zoon politicon.
Selain menitahkan bahwa tidak mungkin bagi manusia untuk lepas dari politik, ajaran
Aristoteles ini juga mengingatkan bahwa seluruh sektor kehidupan manusia
mempunyai dimensi politik yang kental. Tak terkecuali sektor maritim.
Keterikatan sektor maritim
dengan politik dimunculkan oleh Martin Stopford, penulis buku Maritime Economics. Ia mengamati kasus penutupan Terusan Suez pada 1950an dan 1960an
di mana banyak perusahaan pelayaran yang meraup untung besar dari peristiwa
itu. Sejarah mencatat terusan yang menghubungkan Laut Mediterania dan Laut
Merah itu bergejolak setelah terjadi krisis pada akhir 1956 menyusul meletusnya
Perang Arab-Israel II.
Perang terjadi karena Inggris dan Prancis ingin menguasai terusan
sepanjang 163 km itu untuk kepentingan bisnis dan kolonial mereka. Kedua negara
itu meminta Israel agar menyerang Mesir untuk mewujudkan ambisi mereka. Dan,
yang diserang langsung pun oleh pasukan Israel adalah terusan ini pada 29
Oktober.
Dalam pertempuran balatentara Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser
menenggelamkan 40 kapal di kanal itu sehingga menutup sama sekali akses bagi
kapal-kapal yang ingin berlayar ke Asia, Timur Tengah, Eropa dan Amerika
Serikat. Dari kondisi inilah Martin Stopford mengatakan: “Banyak perusahaan
pelayaran yang meraup untung besar dari krisis Terusan Suez”. Dengan
tertutupnya Terusan Suez oleh bangkai kapal terpaksa operator kapal, terutama
tanker, mencari alternatif rute pelayaran lain yang berarti perjalanan yang
tempuh kapal lebih panjang. Tentulah ongkos angkut menjadi lebih mahal dari
biasanya.
Kondisi
Indonesia
Di Indonesia kondisinya
lebih kurang sama. Keterkaitan sektor maritim dan politik di Indonesia dapat
kita telusuri di berbagai tempat. Menariknya, seringkali kita menafikannya
dengan mengatakan “jangan dipolitisasi”. Namun, seringkali hal yang wajar tadi
memiliki konsekuensi dari sisi bisnis.
Jika berkaca dari Terusan
Suez, perpolitikan di Mesir pada giliran berikutnya
mempengaruhi bisnis global dalam
bentuk naiknya ongkos logistik atau freight
kapal-kapal yang melewati terusan
tersebut dalam pelayarannya menuju pelabuhan
akhir. Ini belum lagi ditambah dengan berbagai biaya tambahan seperti Suez surcharge,
war risk surcharge dan sebagainya. Bagi otoritas pengelola Terusan Suez sendiri gejolak
yang ada menurunkan pendapatan usaha. Menurut data
dari pemerintah Mesir, pendapatan Terusan Suez per Maret 2013 mencapai 407,4
juta dollar AS. Ini turun 6,2 persen dibanding pendapatan pada April 2012 yang
mencapai 433,1 juta dollar AS.
Dampak negatif yang sama
juga akan terjadi di Indonesia. Jika sektor pelabuhan nasional bergejolak, misalnya,
sering terjadi pemogokan, maka akan muncul berbagai surcharge yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga-harga di
pasar.
Indonesia sesungguhnya sedang mengalami krisis infrastruktur,
khususnya di pelabuhan. Masalah dwelling
time dan biaya logistik yang tinggi harus menjadi prioritas pemerintah dan
pelaku usaha untuk dicarikan solusinya di tahun 2014. Jika masalah ini tak
segera diatasi, biaya ekonomi tinggi akan semakin memperlemah daya saing
ekonomi dan produk-produk Indonesia. Sementara mulai tahun depan kita harus
menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Masalah ini yang perlu menjadi konsen dan
perhatian pemerintah. Apalagi transportasi laut memberikan kontribusi lebih
dari 50 persen dari arus barang, baik ekspor-impor maupun
domestik.
Global Competitive Index (GCI) 2013-2014 yang dirilis
oleh World Economic Forum (WEF) mencatat
kualitas infrastruktur pelabuhan kita berada di peringkat 89 dari 148 negara
yang disurvei. Peringkat itu
paling rendah dibandingkan infrastruktur jalan raya (78) dan infrastruktur
bandara (68). Peringkat terbaik adalah infrastruktur kereta api yang
menempati posisi 44. Sementara
secara umum, kualitas infrastruktur
Indonesia berada di peringkat 82. Ini dari sisi kuantitatif.
Dengan pertumbuhan ekonomi di atas level 5% per tahun, kondisi infrastruktur pelabuhan di
Indonesia sudah masuk
fase krisis. Salah satu
indikasinya adalah tingginya beban biaya logistik yang mencapai sekitar 24% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Di negara-negara maju, rata-rata beban biaya logistik tersebut
hanya sekitar 7% dari GDP. Bahkan di Malaysia dan Singapura biaya logistiknya di bawah 10% dari GDP. Dengan asumsi PDB Indonesia tahun 2013 sebesar Rp 9.420 triliun, maka hanya untuk biaya logistik saja menghabiskan dana Rp 2.260 triliun.
Akibat beban biaya logistik yang demikian tinggi,
produk-produk Indonesia menjadi tidak kompetitif. Tidak hanya soal
infrastruktur kita tertinggal. Pengelolaan sumber daya
manusia (SDM) dan pemanfaatan teknologi pelabuhan juga masih buruk. Kegiatan bongkar muat kapal di Papua butuh waktu hingga 2 pekan.*****
Tulisan terbit dalam HARIAN TERBIT edisi Rabu, 22 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar