Infrastruktur Pelabuhan Masuk Fase Krisis
Optimisme biasanya selalu menghiasi
setiap pergantian tahun. Namun tidak dengan para pelaku usaha di sektor
pelabuhan. Rendahnya komitmen pemerintah untuk mengembangkan dan membangun
transportasi laut, yang didukung oleh infrastruktur yang bagus menjadi masalah
yang terus berulang setiap tahun. Masalah dwelling
time yang semakin menggila, biaya logistik yang semakin tinggi hingga biaya
lain-lain yang membuat potret transportasi laut kita menjadi semakin buram.
Global Competitive Index (GCI) 2013-2014 yang dirilis
oleh World Economic Forum (WEF) mencatat
kualitas infrastruktur pelabuhan kita berada di peringkat 89 dari 148 negara yang
disurvei. Peringkat itu
paling rendah dibandingkan infrastruktur jalan raya (78) dan infrastruktur
bandara (68). Peringkat terbaik adalah infrastruktur kereta api yang
menempati posisi 44. Sementara
secara umum, kualitas infrastruktur
Indonesia berada di peringkat 82.
Ini sungguh
ironis mengingat pelabuhan
memiliki peran yang sangat strategis. Transaksi ekspor
dan impor di Indonesia mayoritas melalui jalur laut. Lebih dari 60% arus barang ekspor dan impor tersebut melalui pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta.
Dengan pertumbuhan ekonomi di atas level 5% per tahun, kondisi infrastruktur pelabuhan di Indonesia sudah masuk fase krisis. Salah satu indikasinya adalah tingginya beban biaya logistik yang mencapai sekitar 24% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Di negara-negara maju, rata-rata beban biaya logistik tersebut hanya sekitar 7% dari GDP. Bahkan di Malaysia dan Singapura biaya logistiknya di bawah 10% dari GDP. Dengan asumsi PDB Indonesia tahun 2013 sebesar Rp 9.420 triliun, maka hanya untuk biaya logistik saja menghabiskan dana Rp 2.260 triliun.
Dengan pertumbuhan ekonomi di atas level 5% per tahun, kondisi infrastruktur pelabuhan di Indonesia sudah masuk fase krisis. Salah satu indikasinya adalah tingginya beban biaya logistik yang mencapai sekitar 24% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Di negara-negara maju, rata-rata beban biaya logistik tersebut hanya sekitar 7% dari GDP. Bahkan di Malaysia dan Singapura biaya logistiknya di bawah 10% dari GDP. Dengan asumsi PDB Indonesia tahun 2013 sebesar Rp 9.420 triliun, maka hanya untuk biaya logistik saja menghabiskan dana Rp 2.260 triliun.
Akibat beban biaya logistik yang demikian tinggi, produk-produk Indonesia menjadi tidak kompetitif. Contoh, konsumen di Indonesia harus membayar lebih mahal jeruk Pontianak dari pada jeruk China atau Amerika Serikat. Biaya logistik 1 kontainer dari China ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta hanya sekitar US$ 590. Sementara biaya dari Tanjung Priok ke Makassar lebih dari US$ 600. Tidak hanya soal infrastruktur kita tertinggal. Pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan pemanfaatan teknologi pelabuhan juga masih buruk. Kegiatan bongkar muat kapal di Papua butuh waktu hingga 2 pekan.
Investor Strategis
Meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan pelabuhan
di Indonesia tentu bukan hal yang mudah. Butuh komitmen dan konsistensi untuk
terus mengembangkan SDM dan memperbarui teknologinya. Apalagi di tengah iklim
persaingan yang ketat di Asia, hampir semua negara memacu diri untuk memperkuat
dan meningkatkan kapasitas serta kualitas pelabuhannya. Contohnya seperti yang
dilakukan di Singapura, Malaysia, Hong Kong dan China.
Kualitas infrastruktur pelabuhan di empat negara tersebut
berada jauh di atas kita. Sesuai Global
Competitive Index (GCI) 2013-2014, infrastruktur pelabuhan Singapura mendapat penilaian
6,8 dan berada di peringkat 2 dunia dan Hong Kong 6,6 (3). Sementara Malaysia
meraih penilaian 5,4 (24) dan China 4,5 diurutan 59. Sementara kualitas
infrastruktur pelabuhan Indonesia hanya mendapat penilaian 3,9 sehingga berada
di peringkat 89 menurut GCI.
Untuk menaikkan peringkat itu,
pembangunan pelabuhan baru berkapasitas besar dengan standar pelayanan
international mutlak dibutuhkan. Terutama di daerah-daerah strategis seperti
Medan, Surabaya, Makassar, Kalimantan dan Papua. Menjadi relevan apabila kemudian
pemerintah membuka diri untuk masuknya investasi asing dalam pengelolaan
pelabuhan di Indonesia. Hal ini tidak saja akan mempercepat pembangunan
pelabuhan baru, tapi juga mendorong terciptanya transfer of knowlegde dan teknologi. Bisa dipahami bila kemudian Pelindo
II pun juga bergandengan tangan dengan investor strategis untuk mengembangkan
pelabuhan Kalibaru.
Akan menjadi sebuah kebanggaan apabila
pelabuhan-pelabuhan di Indonesia menjadi semakin maju dengan strandar kualitas
layanan global. Upaya untuk membangun konektivitas seperti yang menjadi salah
satu komitmen dan perhatian khusus dalam Forum APEC di Bali akhir tahun lalu
dapat segera diwujudkan. Dan hanya melalui laut, konektivitas itu akan dapat
berjalan secara efisien dan efektif bagi penguatan ekonomi Indonesia.*****
Dimuat dalam harian KONTAN, Kamis, 16 Januari 2014
Selamat pagi, alhamdulillah di pagi yang mendung di Bandung saya mendapatkan artikel yang saya perlukan, mohon nomor kontaknya.. "Mari kita cintai tanah air Indonesia beserta segenap isinya, dan jayalah Indonesiaku negara kepulauan terbesar di dunia yang harus mengoptimalkan potensi kelautannya.Terima kasih, Nugroho, DS. (nugrohodjati_s@yahoo.co.id).
BalasHapus