Mengurai Strategi dan Taktik Maritime Power

Sedikit tentang keanggotaan
negara-negara anggota Dewan IMO. Konvensi IMO Amendemen 1993 mengatur anggota
Council IMO dikelompokan tiga
kategori, yaitu A, B dan C. Jumlah anggota dewan keseluruhan mencapai 40 negara
dengan komposisi 10 negara kategori A, 10 negara kategori B dan 20 negara
kategori C.
Anggota Dewan kategori A merupakan
negara-negara yang memiliki kepentingan terbesar dalam dalam memfasilitasi jasa
pelayaran internasional. Di kelompok ini ada China, Yunani, Italia, Jepang, Norwegia,
Rusia, Inggris dan AS.
Anggota dewan kategori B adalah negara-negara dengan
kepentingan terbesar dalam perdagangan
maritim. Sementara kategori C terdiri dari negara-negara yang bukan kategori A
dan B namun memiliki kepentingan khusus dalam transportasi maritim dan navigasi
pelayaran. Di samping itu, mereka dipilih juga untuk melengkapi prinsip
keterwakilan dari berbagai belahan dunia. Indonesia masuk dalam anggota Dewan IMO
berkategori C.
Pada
awalnya negara-negara maritime power memanfaatkan
laut sebagai medium perdagangan. Setelah perdagangan berkembang mereka mulai
meningkatkan kehadirannya dengan membangun angkatan laut yang kuat untuk
mengawal barang-barang yang diangkut kapal-kapal mereka. Itulah peran angkatan
laut dulunya. Dalam bukunya The Influence
of Sea Power Upon History 1660-1783, Capt.
A. T. Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal mengatakkan “...the necessity of a navy, in the restricted
sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful
shipping...”
Begitulah.
Namun seiring perjalanan masa, peran angkatan laut yang pada awalnya boleh
disebut merupakan sub-sistem dari pelayaran mulai bergeser. Ia memiliki misi
dan tugas yang lebih luas dari pada
sekadar pelindung armada dagang. Bahkan terkesan relasi antara keduanya mulai bertolak
belakang. Apakah memang seperti itu? Jawabannya jelas tidak. Malah, peran
angkatan laut dalam mendukung eksistensi kapal-kapal komersial sebuah negara
makin kuat. Mengutip Mahan lagi: a strong
navy was vital to the success of a nation, and control of the seas was vital
for the projection of force on land and overseas.
Perwujudan
dukungan angkatan laut terhadap armada kapal niaga negaranya adalah dengan
diformulasikannya konsepsi blue water
navy. Secara umum ini adalah konsepsi tentang kemampuan angkatan laut satu
negara untuk digelar atau deployment
di samudera luas/high seas dalam
kurun waktu yang cukup lama. Dalam studi ilmu peperangan modern, angkatan laut
yang ingin menerapkan prinsip blue-water
navy harus memiliki kemampuan membela diri yang handal dari kemungkinan
serangan lawan yang berasal bawah air (kapal selam), permukaan (kapal perusak,
frigat, korvet, dll), dan serangan udara. Di samping itu, untuk menjadi sebuah
angkatan laut yang blue-water
dibutuhkan suplai logistik yang baik sehingga armada yang sedang berada di
tengah samudera luas tadi dapat beroperasi terus-menerus tanpa mengalami
gangguan.
Pilihan
untuk menjadi angkatan laut dengan karakteristik blue-water biasanya ditentukan oleh sifat-sifat lingkungan maritim
negara bersangkutan atau bisa juga karena alasan lain. Namun yang jelas,
menjadi blue-water navy tidak terkait
dengan postur armada (baca: tipe kapal) yang dimiliki oleh satu negara. Dengan
bahasa lain, untuk menjadi blue-water
navy tidak mesti harus memiliki aircraft
carrier (kapal induk) atau kapal selam bertenaga nuklir dan lain
sebagainya. Banyak angkatan laut di dunia yang mengoperasikan kapal-kapal baru
nan canggih tapi tidak menjadi blue-water
navy karena mereka tidak mampu mendukung kebutuhan logistiknya. Kunci untuk
menjadi blue-water navy adalah
kemampuan untuk mensuplai armada di garis depan secara terus-menerus.
Dukungan
angkatan laut juga diwujudkan melalui operasi-operasi rahasia yang ditujukan
untuk mendestablisasi kompetitor dalam menguasai lautan. Strategi ini dikenal
dengan nama sea denial. Ada berbagai
taktik yang bisa dijalankan dalam mencapai strategi ini, salah satunya dengan
menciptakan konflik internal di dalam negeri kompetitor. Jika itu merupakan
entitas bisnis, maka usaha itu akan dilumpuhkan dengan konflik internal. Inikah
yang terjadi dengan konflik di Pelindo II? Jika ini berlanjut, bisa-bisa
pembangunan Terminal Kalibaru bisa bubar.*****
Tulisan diterbitkan dalam Majalah JURNAL MARITIM edisi Januari 2014
Komentar
Posting Komentar