Pekerjaan Kemaritiman yang Tertinggal
Dengan “jam biologis”
administrasi pemerintahaan saat ini yang berdetak menuju putaran terakhirnya, ternyata
ada beberapa pekerjaan rumah (PR) bidang kemaritiman yang tertinggal. Sepertinya,
hampir
tidak mungkin diselesaikan hingga pelaksanaan pemilihan legislatif (Pileg)
dan
pemilihan presiden (Pilpres) April 2019
mendatang. Maka, parlemen dan presiden
terpilihnya diharapkan mampu menuntaskannya sehingga bidang kemaritiman
nasional makin well-governed untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun, perlu segera
ditegaskan bahwa PR yang tertinggal itu tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada
dua elemen tersebut di atas. Masyarakat umum perlu terlibat untuk
menuntaskannya, termasuk agenda kemaritiman lainnya.
Kesadaran maritim (maritime awareness), yang paling dasar
adalah bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, milik semua anak
bangsa dan tidak bisa seorang pun mengklaim mereka paling berjiwa maritim
dibanding yang lain. Semua pemimpin nasional, pada derajat tertentu, memiliki maritimeawareness yang diwujudkan ke
dalam kebijakan pada saat mereka memegang kekuasaan.
Lantas, apa PR bidang
kemaritiman yang tertinggal oleh pemerintah saat
ini?
Ada Standards of Training,
Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F 1995) yang
diberlakukan
oleh International
Maritime
Organization
(IMO) pada 29 September 2012. Hal ini setelah setahun
sebelumnya diratifikasi oleh 17 negara anggota, yaitu Kanada, Kongo, Denmark,
Islandia, Kiribati, Latvia, Lithuania, Mauritania, Moroko, Namibia, Norwegia,
Palau, Rusia, Sierra Leone, Spanyol, Suriah, dan Ukraina.
Konvensi ini mengatur standar pendidikan dan pelatihan,
sertifikasi awak kapal, dan tugas jaga pada kapal ikan. Semua
diwajibkan
untuk kapal dengan dimensi panjang 24 meter atau lebih dan beroperasi di laut
lepas. Pekerjaan di kapal ikan bersifat 3D yaitu dirty (kotor), dangerous
(berbahaya) dan difficult (sulit).
International Labor Organization (ILO), menyebutkan tak
kurang dari 24 ribu nyawa pelaut kapal ikan melayang setiap tahunnya.
Dalam setiap kemalangan yang terjadi, faktor humanerror berkontribusi sebesar 42%. Untuk
memperkecil kecelakaan, dibutuhkan pelaut yang memenuhi keahlian dalam keselamatan, navigasi, dan operasional
kapal. Inilah alasan utama diberlakukannya SCTW-F 1995.
Menyikapi kondisi yang ada, pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. KM 9 Tahun 2005
tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian Sertifikasi Pelaut Kapal Penangkap
Ikan. Peraturan ini membagi keahlian pelaut kapal ikan ke dalam ANKAPIN (Ahli
Nautika Kapal Ikan) dan ATKAPIN (Ahli Teknika Kapal Ikan).
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Indonesia tercatat
ada 2,2 juta orang pelaut kapal ikan, termasuk nelayan (2011). Jumlah ini jauh
lebih banyak dibanding jumlah pelaut kapal niaga yang berkisar 300.000
orang.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyelesaikan
rancangan Peraturan Presiden (Perpres) untuk meratifikasi SCTW-F 1995 pada Juli
2015. Namun entah kenapa hingga kini belum juga disahkan.
Sepertinya, Indonesia belum memprioritaskan ratifikasi SCTW-F
karena tidak banyak kapal ikan berdimensi panjang 24 meter yang berbendera
Indonesia. KKP lebih fokus pada nelayan domestik, yang ukuran kapalnya di bawah
24 meter dan hanya melaut di perairan Indonesia.
Sebetulnya, ratifikasi STCW-F dapat menjadi salah satu instrumen
yang menjamin terlindunginya hak-hak dasar bagi awak kapal ikan Indonesia,
terutama yang bekerja di luar negeri. Saat ini, terdapat ribuan pelaut Indonesia
yang bekerja di kapal ikan milik asing sebagai pekerja migran (TKI), seperti di
Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.
Namun, ketiadaan sertifikasi membuat daya tawar mereka rendah.
Tak sedikit berita tentang TKI pelaut yang diperlakukan tidak adil, upah kerja
rendah, diskriminasi, bahkan terlantar.
KONVENSI TORREMOLINOS
Bernama lengkap “Torremolinos
International Convention for the Safety of Fishing Vessels”, ini adalah aturan IMO yang lumayan
unik. Uniknya begini. Diadopsi pada 1977, sayang aturan ini tak pernah bisa diimplementasikan
karena alasan teknis. Sehingga, pada April 1993, organisasi yang bermarkas di
kota London, Inggris tersebut mengadopsi aturan baru yang menyempurnakan kekurangan yang
terdapat dalam konvensi awal.
Aturan baru ini dinamai Torremolinos
Protocol. Lagi, langkah ini pun tak membuahkan hasil karena tidak banyak negara anggota IMO
yang meratifikasi Protokol ini.
Sejak tahun 1993, selama lebih dari
sepuluh tahun, IMO terus berusaha mencari terobosan agar proses ratifikasi
Konvensi Torremolinos berjalan mulus.Akhirnya, sebuah kesepakatan baru diadopsi
di Cape Town, Afrika Selatan, pada 2012. Nama kesepakatan ini adalah “Cape Town
Agreement of 2012 on the Implementation of the Provisions of the 1993 Protocol
relating to the Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing
Vessels, 1977”. Konvensi ini merupakan “saudara kembar” STCW-F 1995.
Kesepakatan Cape Town diplot untuk diberlakukan 12 bulan
sejak diadopsi sepanjang terdapat paling sedikit 22 negara yang berkehendak
mengikuti aturan tersebut. Di samping itu, negara-negara yang berminat harus
memiliki armada kapal penangkap ikan yang berukuran 24 meter atau lebih dan
beroperasi di laut lepas.
Cape Town Agreement mensyaratkan gabungan armada kapal ikan
negara yang berminat tadi sekurang-kurangnya berjumlah 3.600 unit. Sampai saat
ini baru lima negara yang menjadi pihak atau party terhadap kesepakatan tersebut, yaitu Kongo, Afrika Selatan,
Islandia, Norwegia, Belanda (data 2015).
Lagi, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Torremolinos
(termasuk turunannya.) Tidak ada penjelasan yang cukup atas keadaan ini. Penulis
menduga, kita belum meratifikasi karena tidak memiliki armada seperti yang
persyaratkan oleh Kesepakatan Cape Town, berukuran lebih dari 24 meter dan
beroperasi di laut lepas. Armada perikanan nasional didominasi oleh kapal-kapal
kecil, di bawah 30 gross ton (GT), bahkan banyak di bawah 10 GT.
Dari lima negara yang menjadi pihak Cape Town Agreement,
total armada yang didaftarkan berjumlah 570 unit (per Juli 2015). Selandia Baru
berencana bergabung dengan kelompok tersebut dan untuk itu menjanjikan akan
mendaftarkan ratusan kapal ikan berukuran 24 meter lebih dan beroperasi di laut
lepas.
Indonesia perlu meratifikasi Konvensi Torremolinos 1977 atau
turunannya agar bisa “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan
negara-negara penangkap ikan lainnya. Kita perlu keluar dari tempurung yang
selama ini sudah mengungkung
sektor kemaritiman nasional. Semoga.
Diterbitkan dalam harian KONTAN, Jumat, 8 Februari 2019
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
BalasHapushanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^