Menakar Taji Skema KPBU di Proyek Pelabuhan
Untuk menutupi
kekurangan dana pembangunan infrastruktur, Kementerian Keuangan meluncurkan
sebuah skema pembiayaan yang disebut dengan kemitraan pemerintah dengan badan
usaha. Istilah lainnya dalam Bahasa Inggris adalah public private partnership (PPP).
Salah satu sektor yang
akan dijajal dengan model pembiayaan tersebut adalah pembangunan atau
pengembangan pelabuhan. Dan, dari berita di media, Kementerian Perhubungan, sebagai
“lurah” yang mengurusi infrastruktur darat, laut, udara dan kereta api nasional,
memasukkan pengembangan pelabuhan Anggrek di Gorontalo dan pelabuhan Bau-Bau di
Sulawesi Tenggara dalam skema KPBU.
Bau-Bau dan Anggrek
merupakan bagian dari 14 pelabuhan yang akan dikerjasamakan dengan BUMN atau
perusahaan swasta melalui skema KPBU. Adapun 12 pelabuhan lainnya yang tengah
disiapkan adalah Belang-Belang, Tahuna, Tobelo, Wanci, Serui, Kaimana, Pomako,
Saumlaki, Dobo, Banggai, Labuan Bajo, dan Namlea (bisnis.com, 12/11).
Sampai di situ everything is fine dan patut diapresiasi.
Harapan akan rampungnya proyek-proyek (pelabuhan) yang untuk sementara waktu bisa
jadi sedang terbengkalai karena ketiadaan dana tentu saja bisa bersemi kembali.
Namun, sesederhana itukah persoalan pembiayaan pembangunan pelabuhan, khususnya
dengan menggunakan skema KPBU/PPP?
Perencanaan pelabuhan
di Indonesia memiliki alur tersendiri yang, secara teori, merangkak naik dari
bawah menuju ke atas (bottom up). Pemerintah
daerah, melalui Dinas Perhubungan masing-masing, merencanakan pembangunan
pelabuhan di daerah mereka melalui forum Musrenbang. Namun, yang namanya teori,
pada praktiknya bisa berlaku hal sebaliknya. Artinya, perencanaan pelabuhan
dimulai, kalau tidak mau disebut digerakan, dari atas lalu mengalir ke bawah
alias top down. Maksudnya begini,
pemerintah pusat – dalam hal ini Kementerian Perhubungan – bisa saja “turun
gunung” mengintervensi proses perencanaan pada level pemda tadi.
Hal itu dimungkinkan
karena Kemenhub memiliki akses yang intensif ke dalam plotting dana infrastruktur di Bappenas. Dengan info A1 ini,
Kemenhub dapat “menitipkan” proyek mereka ke dalam perencanaan pelabuhan pemda.
Di samping itu, sebagaimana di diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, Pasal 71 Ayat 4, kewenangan terakhir penetapan pelabuhan toh ada di tangan Menteri Perhubungan. Penetapan
Menhub itu dituangkan ke dalam sebuah dokumen yang diberi nama Rencana Induk
Pelabuhan Nasional yang masa berlakunya selama 20 tahun.
Pada semua level
perencanaan pelabuhan yang telah diuraikan di muka, terlihat dengan gamblang bahwa
peran swasta minim jika tidak hendak disebut tidak ada sama sekali. Paling
tidak secara formal, entahlah kalau informal atau lobi high politics. Peran swasta inilah yang difasilitasi melalui skema
KPBU/PPP. Namun, kebijakan ini memiliki center
of gravity yang dapat mendeviasi maksud dan tujuan diadopsinya model
pembiayaan ini.
Taji
KPBU
Pelibatan swasta dalam
masa injury time untuk menyelesaikan
pembangunan pelabuhan yang sudah berjalan, tetapi tersengal karena dana APBN
yang seret berpeluang melemahkan taji KPBU/PPP. Sehingga, alih-alih mendapatkan
investasi dari mereka yang ada malah tidak digubris sama sekali. Memang,
terlalu dini memvonis bahwa skema tersebut tidak akan berjalan efektif. Wong, Kemenhub saja masih mengkajinya. Betul.
Hanya saja, alasan berikut ini bisa dipertimbangkan dalam menakar efektif atau
tidaknya skema itu.
Pertama,
semua pelabuhan yang akan di-KPBU-kan, dan sebetulnya juga pelabuhan lain yang
dibangun serta dikelola oleh Kemenhub melalui “sayap bisnis”nya, yaitu Unit
Pengelola Pelabuhan (UPP), didirikan ala kadarnya. Pembangunan dilakukan hanya
sekadar untuk penyerapan anggaran. Bila pelabuhan yang dibangun itu berkembang
dengan baik, syukurlah. Jika sebaliknya, nggak apa-apa. Yang penting kewajiban
institusional untuk membangun infrastruktur yang diamanatkan oleh negara sudah
dijalankan.
Kedua,
pelabuhan-pelabuhan yang masuk dalam skema pembiayaan KPBU/PPP dari sisi bisnis
tidak atau kurang menjanjikan. Tidak ada feasibility
study yang memadai, terutama terkait potensi hinterland pelabuhan (daerah belakang atau bahasa sederhananya
pusat kargo). Bagi sebuah pelabuhan hinterland
adalah daya tarik bagi kapal-kapal. Manakala kargo tersedia cukup di daerah
belakang pelabuhan, maka kapal-kapal akan berdatangan dengan sendirinya. Tidak
perlu subsidi segala. “Hukum besi” inilah yang coba ditabrak oleh program tol
laut.
Dalam program tol laut,
kapal-kapal yang dioperasikan oleh operator BUMN maupun swasta bergerak dari
bagian barat Indonesia, khususnya pulau Jawa, dengan muatan penuh menuju
pelabuhan destinasi di kawasan timur Nusantara. Ketika pulang, kapal-kapal ini
hanya memuat setengah, bahkan ada yang tidak sampai setengah, dari kapasitas
yang tersedia. Kargo di pelabuhan tujuan tidak cukup tersedia. Untuk ruang muat
kapal yang tidak terisi ketika kapal berlayar kembali ke barat, pemerintah
memberikan subsidi kepada operator kapal. Tidak hanya subsidi untuk kapal,
pemerintah malah membangun kapal-kapal baru yang dioperasikan oleh BUMN pelayaran
(Pelni, ASDP, Djakarta Lloyd) dalam trayek tol laut.
Dengan karakteristik pelabuhan
yang akan di-PPP-kan seperti itu, rasanya tidak akan ada investor yang mau
terlibat dalam menyelesaikan pembangunan pelabuhan yang terbengkalai atau
pembangunan baru. Mereka akan berhitung untung dan rugi ikut skema pembiayaaan
yang ditawarkan oleh pemerintah. Bukankah investasi mereka akan dikompensasi
dengan hak pengelolaan pelabuhan? Ya. Sayangnya, akan muncul sejumlah
komplikasi yang bisa jadi akan makin menyurutkan niat mereka.
Misalnya, calon investor
(penulis memperkirakan mereka sepertinya bukan entitas yang bergerak khusus
dalam bisnis pelabuhan) harus mendirikan badan usaha pelabuhan sebelum
mengelola pelabuhan. Bisa juga mereka bermitra dengan perusahaan yang sudah
mengantongi BUP dan membuat anak usaha. Selanjutnya, mereka harus mendapatkan
konsesi dari Kemenhub. Langkah-langkah ini risky
dan sudah ada sejumlah perusahaan yang tersandung karenanya dan berujung di
pengadilan.
Masih segar dalam
memori kolektif insan pelabuhan dispute
antara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dengan anak usahnya sendiri, PT Karya
Citra Nusantara (KCN), yang didirikan dengan menggandeng PT Karya Teknik Utama
(KTU). KBN menggugat KCN atas konsesi konsesi 70 tahun yang dilakukan anak
usahanya. Dengan putusan PN Jakarta Utara, KCN diwajibkan membayar denda
senilai Rp779 milyar sebagai ganti rugi kepada induknya. Putusan ini merupakan
yang pertama dalam sejarah penerapan konsesi di Indonesia.
Hingga kini para pihak
yang berperkara, termasuk pemberi konsesi (Kemenhub), masih terus berseteru.
Mereka yang dikalahkan oleh putusan PN Jakarta Utara mengajukan banding ke
pengadilan yang lebih tinggi. Entah kapan dispute
ini akan berakhir. Kondisi ini jelas sedikit banyak akan mempengaruhi
kelancaran penerapan skema KPBU/PPP dalam pembangunan pelabuhan.
Diterbitkan dalam harian BISNIS INDONESIA, Sabtu, 19 Januari 2019
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
BalasHapushanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^