Berbagi Untung di Balik Dwelling Time
Untuk
kesekian kalinya isu kepelabuhanan kembali membetot perhatian publik, hanya
saja, kali ini dampaknya lumayan dahsyat. Ada beberapa menteri, direktur
jenderal pada berbagai kementerian dan jajaran direksi PT Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) II disebut-sebut akan dicopot dari posisinya masing-masing oleh
Presiden Joko Widodo karena mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan akut dwelling time yang terhitung masih tinggi
di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Biasanya melulu masalah teknis, isu dwelling time sekarang sudah menjadi
alat politik.
Fakta
ini menguatkan anggapan bahwa ada hubungan erat antara pelabuhan dan politik
sehingga melahirkan kajian politik kepelabuhanan (port politics) dalam khazanah logistik dan transportasi.
Karena
itu, masalah dwelling time di
pelabuhan Tanjung Priok berjalan menuju dua arah yang berlainan. Yang pertama
kental muatan politisnya dan makin membakar wacana reshuffle kabinet yang telah berkobar sebelum masalah tersebut
mencuat ke permukaan.
Sedangkan
yang kedua gabungan antara perdebatan terkait siapa yang salah dalam tingginya dwelling time dan berbagai pilihan
kebijakan untuk menekannya.
Artikel ini tidak hendak menyoroti poin pertama, melainkan
mencoba fokus pada poin kedua. Biarlah wacana reshuffle itu berkembang sampai ke titik akhirnya.
Pertanyaannya
kini, apakah kebijakan-kebijakan menekan dwelling
time yang diusulkan oleh para pemangku kepentingan kepelabuhanan
betul-betul efektif nantinya? Jika tidak, solusi apakah yang bisa dipilih untuk
menuntaskan masalah dwelling time
setuntas-tuntasnya?
Ada
beberapa pilihan penyelesaian masalah dwelling
time di pelabuhan Tanjung Priok yang sudah dimunculkan, misalnya
penyatuatapan (one stop service)
berbagai fungsi kepemerintahan yang ada di pelabuhan – quarantine, immigration, customs/QIC. Diusulkan pula penindakan
importir nakal, perubahan risk assessment
dan lain sebagainya. Sayangnya, yang diwacanakan tersebut tidak substansial
karena tidak menyentuh akar persoalan sesungguhnya.
Persoalan
di Tanjung Priok – juga di pelabuhan-pelabuhan utama lainnya di Indonesia –
berakar pada praktik bagi-bagi kekuasaan. Pelabuhan adalah ladang bisnis yang
sangat menggiurkan dengan jumlah perputaran uang yang luar biasa besarnya.
’Harta’
sebagus itu sayang dilewatkan begitu saja; ia perlu ‘dibagi rata’ di antara
sesama instansi. Bahkan, premanpun, mulai dari yang berdasi rapi hingga yang
hanya bersendal jepit dan berbaju seadanya, dapat jatah atau bisa mengambil
jatah dari bisnis kepelabuhanan nasional.
POWER SHARING
Dari
power sharing akhirnya menjadi profit sharing dan ini sudah berlangsung
sejak lama, dari zaman VOC hingga
republik berdiri. Memang, ada fungsi pemerintahan di pelabuhan, namun karena
orientasinya sudah ‘tahta dan harta’ akhirnya QIC lebih banyak mengedepankan
filosofi ‘kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah’. Lihatlah kantor-kantor instansi
QIC di pelabuhan, hampir semuanya berukuran besar. Seolah ingin mengatakan
‘saya adalah penguasa pelabuhan’.
Di
sisi lain, ada badan usaha milik negara yang dikerangkeng hanya sebagai
operator dan diposisikan untuk mencari duit sebanyak-banyaknya. Pada bagian
yang lain terdapat regulator yang menjadi demangnya operator.
Dualisme
operator-regulator adalah fakta paling keras bagaimana power sharing dan profit
sharing itu berlangsung di pelabuhan. Banyak yang bilang bahwa ketika zaman
Orde Baru BUMN kepelabuhanan merangkap sebagai operator dan regulator
sekaligus. Itu kurang tepat.
Dengan pondasi kekuasaan seperti yang sudah
terurai di muka, perusahaan negara tetap pada akhirnya adalah operator. Status
ini makin menguat dalam era reformasi sekarang.
Jalan
keluar terbaik bagi masalah dwelling time
yang membelit pelabuhan Tanjung Priok adalah dengan merubuhkan dulu pondasi
kekuasaan dan ekonomi yang ada di pelabuhan saat ini. Kalau tidak, jangan harap
masalah tersebut akan tuntas hingga ke akarnya.
Dari mana memulainya? Amendemen
seluruh perundang-undangan yang memiliki muara dalam pelabuhan. Tujuannya untuk
mengurangi pihak-pihak yang memiliki ‘gigi macan’ di pelabuhan.
Setelah
itu, dirikan sebuah lembaga yang terintegrasi, tunggal dan berkuasa penuh di
pelabuhan. Kepada badan inilah seluruh aktifitas quarantine, immigration, customs didelegasikan.
Mohon dicatat,
didelegasikan bukan dihilangkan. Instansi QIC tetap bisa masuk ke pelabuhan
tetapi hanya untuk mengurusi kasus-kasus besar semisal penyelundupan dan wabah
menular.
Di
samping itu, badan itu juga merupakan badan usaha yang dapat menjalankan roda
bisnis kepelabuhanan. Banyak contoh di dunia ini di mana regulator dan operator
berada dalam satu kamar yang sama. Port of Rotterdam misalnya.
Dikaitkan dengan
revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko Widodo, barangkali inilah
revolusi yang harus diselesaikan. Pelabuhan kita harus direvolusi, bukan
direformasi karena selama ini reformasi itu tidak efektif.
Dimuat dalam BISNIS INDONESIA, Senin, 29 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar