Awas Penumpang Gelap Tol Laut dan Poros Maritim!
Anda
tentu sering mendengar frasa penumpang gelap dan pastinya acap menjumpainya
dalam kehidupan sehari-hari. Penumpang gelap biasanya dikonotasikan istilah yang biasa
dipakai dalam Semiotika Roland Barthes sebagai mereka yang naik angkutan umum
atau memasuki/menggunakan fasilitas umum berbayar tanpa mengeluarkan ongkos
sepeserpun. Ini adalah tipe penumpang gelap konvensional di mana untuk menjadi
jenis ini yang berminat tidak perlu persiapan khusus. Cukup bermuka sangar atau
disangarkan, berambut gondrong, bila perlu, tubuh dirajah dengan gambar
tengkorak atau pedang. Masyarakat umumnya melabeli mereka dengan sebutan preman.
Lalu,
ada penumpang gelap tipe kedua yang karakteristiknya berbeda seratus delapan
puluh derajat dari yang pertama. Mereka bermetamorfosis dari wajah sangar,
rambut gondrong dan tubuh yang dipenuhi tato menjadi wajah-wajah yang rapi dan
tubuh yang rapat ditutupi pakaian bermerek, bahkan tak jarang memakai seragam.
Dan, ini yang menjadi competitive
advantage, meminjam istilah dari Michael Porter, penulis buku dengan judul
yang sama, penumpang gelap tipe kedua: mereka menjalankan aktifitasnya secara
berkelompok dengan manajemen yang apik serta sasaran yang terukur. Sementara,
preman seringkali beroperasi sendiri-sendiri serta tanpa pola dan sasaran yang
jelas. Hanya untuk sekedar cari makan saja.
Karena
lebih canggih dalam beroperasi, penumpang gelap tipe kedua itu bisa menclok di mana saja. Kini, mereka
mencoba menempel pada dua program kemaritiman nasional yang ada, yaitu poros
maritim dan tol laut. Bagaimana permainan mereka? Sebelumnya, mari dipahami
dulu apa itu poros maritim dan tol laut. Kedua istilah tersebut sejatinya tidak
memiliki padanan dalam kosakata kemaritiman internasional. Bisa jadi,
keberadaan penumpang gelap pada program kemaritiman nasional berawal dari
istilah yang tidak baku sehingga orang gampang memanipulasinya.
Dunia
internasional mengistilahkan poros maritim sebagai internasional maritime center (IMC). International maritime center
adalah sebuah pelabuhan atau negara yang telah berhasil membangun aneka macam
fasilitas, infrastruktur dan regulasi sehingga menarik minat kalangan pelayaran
internasional dan komunitas maritim lainnya untuk mendatanginya dan dapat
menjalankan bisnis yang menguntungkan di pelabuhan/negara bersangkutan. Jadi,
untuk menjadi IMC yang baik maka yang diperlukan adalah kemampuan menarik
pemain internasional dengan berbagai kemudahan untuk datang dan menjalankan
bisnis.
Singapura
adalah salah satu contoh IMC. Status IMC yang didapat oleh negeri jiran ini
bertumpu pada posisinya sebagai sebuah hub
kemaritiman global. Sejalan dengan statusnya, Singapura saat ini menjadi lokasi
berkantornya lebih dari 4.200 multinational
corporations (MNC) dan 26.000 perusahaan mancanegara lainnya. Mereka
terdiri dari shipbrokers, charterers, marine insurers, maritime law,
dan sebagainya. Sebagai operator untuk menangani para pebisnis itu, pemerintah
Negeri Singa menugaskan Maritime and Port Autority/MPA yang diisi dengan staf
yang profesional. Dalian di China
juga merupakan IMC yang terkenal di kawasan Asia. Sementara, tol laut dipahami
oleh masyarakat global sebagai pendulum
service. Adapun maksudnya adalah a
voyage pattern for container ship based on cargo availability at the port of
call. As long as there are cargoes there the ship operator will deploy their
vessels regularly and timely (Siswanto Rusdi, The Jakarta Post, 3 Desember
2014).
Modus
operandi
Di
Indonesia, poros maritim dan tol laut dimaknai dengan pengertian yang berbeda sama
sekali. Yang dimaksud poros maritim adalah – ini penulis pahami dari berbagai
pernyataan yang muncul di media massa dari berbagai pejabat pemerintah pasalnya
tidak ada penjelasan resminya – pusat bagi seluruh kegiatan kemaritiman, apa
pun kegiatan itu. Bisa menjadi pusat wisata bahari, atau pusat perikanan dan
sebagainya. Tidak ada fokus khusus, yang penting menjadi pusat kemaritiman.
Untuk tol laut, kebijakan ini diartikan sebagai pembangunan pelabuhan lumayan
besar-besaran, tak peduli apakah akan disandari kapal setelah dioperasikan
kelak atau tidak. Memang, tidak ada yang salah dengan istilah buatan lokal.
Namun, bisnis kemaritiman adalah salah satu bidang usaha yang sangat
meng-internasional sehingga kesamaan (commonness)
makna terhadap nomenklatur yang digunakan sangat diharapkan. Selain
kemaritiman, bisnis yang juga sangat mondial adalah penerbangan.
Dengan
kondisi tanpa kejelasan makna resmi dari pemerintah terkait definisi dua
program kemaritiman tadi, para penumpang gelap akhirnya dengan gampang
melakukan manuver untuk memetik keuntungan. Berdasarkan pengamatan terhadap
berita-berita seputar poros maritim dan tol laut dalam media massa nasional,
penumpang gelap itu ada yang berupa badan usaha dan ada pula instansi
pemerintah. Ambil contoh, penumpang gelap mewacanakan perlunya subsidi bagi
kapal-kapal yang mengoperasikan pelayaran dalam skema tol laut. Soalnya,
kapal-kapal ini sepi peminat – terutama pemilik barang – namun mereka harus
berlayar tepat waktu.
Dalam
pelayaran perdananya dari Panjang (Lampung) menuju Surabaya (Jawa Timur)
beberapa waktu lalu, kapal roll on-roll off/ro-ro yang dioperasikan oleh PT
Atosim Lampung Pelayaran hanya mengangkut 11 truk sementara sisi kapasitas ia mampu
memuat 500 truk. Selain pelayaran tersebut, Kementerian Perhubungan berencana
akan mengoperasikan dua lagi pelayaran di rute itu. Tanpa perlu menjadi ahli
ekonomi transportasi, pengoperasian ini amat sangat merugikan dan dapat
dipastikan hanya akan berlangsung sekali saja. Jika ingin tetap bertahan, tidak
ada jalan lain selain meminta subsidi. Kita tunggu saja perkembangan
selanjutnya.
Lalu,
masih terkait dengan upaya memperlancar distribusi barang ke seluruh Indonesia
dalam bingkai tol laut/poros maritim, Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman telah mengujicoba penggunaan pesawat angkut tipe Hercules milik TNI
AU. Rute penerbangan Japura-Wamena. Menko Maritim Indroyono Soesilo
mengharapkan dengan pengoperasian pesawat tersebut ongkos angkut semen dari
Jayapura-Wamena dapat ditekan hingga Rp 250,000 per karung. Harga pasaran semen
di Wamena berkisar Rp 1 juta/karung. Kemungkinan besar TNI AL juga akan
dilibatkan kapal-kapalnya untuk memurahkan ongkos logistik yang tinggi saat
ini.
Kebijakan
tersebut dapat digolongkan sebagai penumpang gelap karena, pertama, apa nama penerimaan yang didapat oleh TNI AU untuk jasa
mereka menerbangkan semen itu? Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)? Tentunya
bukan. Lantas, masuk ke kantong siapa dana yang diterima untuk pengganti biaya
avtur tersebut? Kedua, jika terjadi liability, siapa yang akan
menanggungnya? TNI AU bukanlah pengangkut resmi yang nama dan tanggungjawabnya
sebagai pengangkut tertera dalam perjanjian pengangkutan yang biasa
ditandatangani antara carrier dan shipper atau bill of lading (B/L).
Dimuat dalam KORAN SINDO, Sabtu, 13 Juni 2015
Komentar
Posting Komentar