Meneropong Wajah Kemaritiman Nasional 2015
Kita
akan meninggalkan 2014 menuju 2015. Dalam menyongsong Tahun Baru biasanya kita
melakukan kilas balik atas perjalanan yang dilakukan setahun ke belakang sambil
merencanakan apa yang akan diperbuat dalam satu tahun di hadapan. Lalu,
bagaimanakah perjalanan bidang kemaritiman nasional selama setahun lalu? Dan,
seperti apa kira-kira wajahnya di tahun depan?
Kemaritiman
adalah satu bidang yang secara umum mencakup pelayaran (shipping) yang didukung oleh pelabuhan, galangan kapal, pelaut dan
perbankan serta asuransi yang kuat. Ada anggapan di masyarakat kita bahwa
kemaritiman itu identik dengan perikanan, pariwisata bahari, riset kelautan dan
sejenisnya. Ada juga asumsi yang mengatakan bahwa kemaritiman adalah bagian
dari kelautan, ini dipegang oleh Dewan Kelautan Indonesia (Dekin).
Jika
ingin mengilas balik dan memproyeksi bidang kemaritiman nasional, hal yang
menjadi objeknya adalah shipping dan hal-hal yang terkait dengannya. Tentu
bidang kelautan juga akan dikomentari. Adapun tolok ukurnya adalah pencapaian (achievement) dari apayangsudah
direncanakan sebelumnya.
Kinerja 2014
Selama 2014 sektor kemaritiman nasional tidak banyak mengalami perkembangan yang cukup berarti dibanding 2013. Achievement besar hampir tidak ada sepanjang 2014 karena para pelaku hanya memutar roda bisnisnya sebagaimana biasanya (business as usual).
Di sektor pelayaran misalnya, pengusaha pelayaran sepertinya sudah merasa berhasil dalam upaya mereka menaikkan populasi armada nasional hingga mencapai lebih dari 13.000 unit kapal saat ini dari sebelumnya yang sedikit di atas 6.000 kapal pada 2005. Semua ini dimungkinkan karena diberlakukannya asas cabotage sejak 2005.
Tentu
pencapaian itu patut diapresiasi. Hanya, setelah mampu mendongkrak jumlah kapal
tidak terdengar lagi apa yang menjadi “mainan” operator kapal yang bergabung
dalam Indonesian National Shipowners Association (INSA). Memang, ada upaya
untuk menggenapkan kesuksesan penerapan asas cabotage dengan menguasai pelayaran lepas pantai. Tetapi belum
berhasil hingga akhir tahun ini.
Sementara itu, gagasan beyond cabotage yang diklaim INSA sebagai program besar mereka setelah asas cabotage terlihat berjalan di tempat jika tidak mau disebut tidak bergerak sama sekali. Padahal, dengan program inilah kita sebetulnya bisa menghadapi penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di bidang transportasi laut.
Sektor
kepelautan selama 2014 juga jalan di tempat, terutama dalam hal ratifikasi
Maritime Labor Convention (MLC). Entah apa alasannya, mengapa peraturan
internasional yang mengatur hakhak pelaut itu belum juga disahkan oleh
Indonesia. Yang jelas, INSA sudah menolak keinginan ini dengan alasan
kapal-kapal mereka belum siap. Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang
melakukan ratifikasi MLC tidak memberikan alasan resmi mengapa aturan tersebut
belum juga diratifikasi.
Bisa jadi, jika MLC diratifikasi, muncul efek domino di sektor-sektor lain di luar kepelautan. Meratifikasi berarti mengakui adanya upah minimum sektoral, padahal kebijakan ini tidak dikenal di Indonesia. Jika untuk pelaut diberlakukan standar pengupahan khusus, tentulah sektor pekerjaan lain juga akan meminta perlakuan yang sama.
Akibatnya
kita tahu: negara ini akan disapu demonstrasi setiap hari oleh seluruh pekerja
dari seluruh sektor yang ada. Ini tentu berbahaya bagi negara. Sebab lain,
kuatnya ego sektoral kementerian yang mengurus pelaut/buruh. Leading agency dalam ratifikasi MLC
adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tapi instansi ini hampir
tidak pernah bersinggungan langsung dengan pelaut.
Pihak yang intensif berhubungan dengan profesi itu adalah Kementerian Perhubungan, namun dalam ratifikasi konvensi tersebut Kemenhub boleh dibilang tidak memiliki peran yang signifikan. Situasi ini diperparah dengan tidak jalannya koordinasi antara kedua lembaga. Tentu, penolakan oleh INSA tadi menjadi bahan pertimbangan pula mengapa MLC belum juga diratifikasi.
Wajah 2015
Yang menarik selama 2014 adalah geliat yang terjadi di sektor kepelabuhanan dengan dibesutnya ide tol laut dan poros maritim oleh Presiden Joko Widodo sejak berkampanye dalam pemilihan presiden lalu. Begitu kuatnya geliat kedua gagasan itu, sampai-sampai masyarakat kini dijangkiti “demam maritim”. Gejalanya, semua orang merasa bisa bicara kemaritiman walaupun mereka tidak mengerti dan memiliki pemahaman yang cukup untuk itu.
Bagaimanakah wajah kemaritiman pada 2015? Bukan hendak pesimis, wajah kemaritiman Indonesia masih saja akan tetap sama dengan 2014, bahkan boleh jadi lebih buruk dibanding tahun lalu. Pasalnya, ada program yang konsep dasarnya sudah keliru di samping faktor eksternal yang dihadapi bidang kemaritiman nasional juga tidak mendukung.
Ambil
contoh, asas cabotage. Dikaitkan
dengan program poros maritim yang ada, kebijakan ini bisa jadi akan
mengganjalnya. Dalam poros maritim (baca: International Maritime Center/IMC)
pemerintah amat diharapkan memberikan aneka fasilitas, infrastruktur dan
regulasi yang dapat menarik minat kalangan pelayaran internasional dan
komunitas maritim lain untuk mendatanginya dan dapat menjalankan bisnis yang
menguntungkan di Indonesia.
Namun,
dengan asas cabotage tidak ada tempat
untuk pemain asing. Untuk perbandingan, sebagai salah satu IMC di dunia,
Singapura menjadi lokasi berkantornya lebih dari 4.200 multinational
corporations dan 26.000 perusahaan mancanegara lain. Dari jumlah itu, ada
ratusan perusahaan pelayaran asing di samping pelayaran milik Kota Singa itu
sendiri, yakni Neptune Orient Line (NOL). Sanggupkah pelayaran nasional kita
“berdamai” dengan asing? Sepertinya sulit karena asas cabotage kita hanya
sedikit memberi ruang untuk itu.
Masalah
yang ada bukan tidak bisa diselesaikan. Caranya, mari kita duduk bareng, merembukkan hal-hal yang saling
bertentangan itu dan mencari jalan keluar terbaik. Kita memang belum pernah
duduk bersama membahas kemaritiman dengan tuntas. Semoga.
Diterbitkan dalam KORAN SINDO, Selasa, 30 Desember 2015
Komentar
Posting Komentar