Demam Kemaritiman Minus Ocean Policy
Indonesia
saat ini berada dalam keadaan demam maritim sejak naiknya Presiden Joko Widodo
ke tampuk kepemimpinan nasional. Lazimnya dalam keadaan seperti itu, semua
orang merasa bisa bicara kemaritiman walau pun mereka tidak mengerti dan
memiliki pemahaman yang cukup untuk itu. Tak jadi masalah, itu sah-sah saja.
Akan
tetapi, dalam keriuhan itu satu hal luput dibicarakan, jika tidak mau disebut
dilupakan, yaitu ocean policy. Ketiadaan ocean policy membuat tol laut dan
poros maritim ibarat sayur tanpa bumbu: hambar. Namun, karena tol laut dan
poros maritim merupakan program utama Presiden, maka ketiadaan ocean policy
tidak hanya membuat keduanya hambar.
Lebih
dari itu, tidak adanya ocean policy mengurangi makna tol laut dan poros maritim
dari sudut pandang filosofis. Padahal, ocean policy adalah inti dari grand
strategy kelautan sebuah negara. Akhirnya, diskursus bidang kelautan tidak bermakna
karena ia diwakili oleh slogan-slogan saja yang membuat demam kemaritiman yang
ada menjadi perbincangan ‘orang sakit.’
Mengapa
kita miskin terhadap pemahaman dalam bidang kelautan dan kemaritiman? Jawabnya terletak
pada perjalanan sejarah, mulai dari awal kemerdekaan hingga rezim penguasa yang
silih berganti, yang memang tidak memiliki perhatian kepada kelautan dan kemaritiman.
Perang kemerdekaan yang kita hadapi, sistem politik yang tidak stabil setelah
merdeka dan gonta-ganti konstitusi bolehlah disebut sebagai akar masalahnya.
Betul
bahwa dalam pemerintahan Presiden Soekarno periode 1960-1967, setelah Dekrit 5
Juli 1959, dibentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman di bawah kepemimpinan Ali
Sadikin. Namun, tetap saja persoalan kelautan dan kemaritiman belum dapat
dikelola dengan penuh dan maksimal.
Menariknya,
perhatian kepada kelautan dan kemaritiman yang ala kadarnya itu tetap dapat menunjukkan
prestasi dalam operasi Trikora dan pembebasan Irian Barat. Angkatan Laut RI
sebagaibagian dari kekuatan maritim nasional saat itu berhasil membebaskan Irian
Barat dari cengkeraman Belanda dan tenggelamnya kapal Karel Doorman dalam
pertempuran laut di Laut Aru. Pencapaian tadi baru sebatas penguatan militer dalam
konteks membangun ALRI, belum dalam perspektif kelautan dan kemaritiman yang
lebih luas.
Ketika
terjadi pergantian kekuasaan dari rezim Soekarno ke Soeharto muncul harapan
baru yang gegap-gempita yang diusung oleh kekuatan angkatan ‘66 yang juga
dikenal dengan sebutan Orde Baru (Orba). Dari rezim baru ini kita mengharapkan
perubahan ekonomi, politik dan budaya yang semakin baik. Dan, kita akui dengan ditopang
oleh kebijakan ekonomi gerak pembangunan semakin dapat dipicu dan menghasilkan perubahan-perubahan
ekonomi seperti papan, sandang dan pangan.
OCEAN
POLICY
Pada
era Orba, Soeharto membangun sistem politik yang bertumpu pada konsep dwifungsi
ABRI, tapi tentara yang dimaksudnya pada kenyataannya hanyalah Angkatan Darat.
Dari kenyataan inilah kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya Soeharto semakin
jauh menarik pembangun Indonesia ke dalam perspektif kontinental.
Tentu,
Angkatan Laut tetap dibangun oleh Sang Bapak Pembangunan; ingat pembelian kapal
perang eks Jerman Timur besar-besaran yang ia lakukan. Sayangnya, secara
keseluruhan kebijakan pembangunan Soeharto masih saja tegak berkiblat ke
daratan. Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan presiden-presiden
setelah Soekarno dan Soeharto, termasuk Joko Widodo; pembangunan kelautan dan
kemaritiman tidak mengacu kepada ocean policy yang terurai dengan gamblang.
Apa
itu ocean policy? Secara umum, ocean policy atau kebijakan kelautan dipahami
sebagai seperangkat aturan yang komprehensif, plus langkah-langkah untuk
mencapainya, yang ditetapkan oleh sebuah negara terkait dengan pengelolaan seluruh
kawasan perairannya.
Jika
mengacu kepada Jepang, salah satu negara yang sudah memiliki kebijakan
kelautan, aturan yang mereka buat mencakup, antara lain, tujuan ocean policy, harmonisasi
pembangunan dan pemanfaatan laut dengan konservasi lingkungan kelautan,
pengamanan dan penyelamatan lautan, pemutakhiran pengetahuan kelautan dan
sebagainya.
Bukankah
Indonesia sudah memiliki berbagai UU terkait kelautan atau kemaritiman semisal
UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU No. 32 tahun 2014 tentang
Kelautan yang pada derajat tertentu dapat disebut sebagai ocean policy? Tidak,
kedua peraturan tersebut bukanlah ocean policy karena mereka hanya mencakup segelintir
bagian dari kelautan yang amat luas.
Di
samping itu, ocean policy adalah domainnya eksekutif sehingga pihak eksekutiflah
yang harus menyusunnya dengan mengacu kepada berbagai peraturan, kearifan lokal
yang hidup dalam masyarakat dan sumber lainnya. Ocean policy ibarat RPJM yang
khusus disusun untuk bidang kelautan atau kemaritiman.
Ayo,
kita susun ocean policy sesegera mungkin. Jangan sampai kita lelah untuk
melakukannya, kendati diperlukan upaya besar untuk itu. Jadilah kita seperti
ombak yang tak pernah letih menuju pantai.
Dimuat dalam harian BISNIS INDONESIA, Rabu, 24 Desember 2014
Komentar
Posting Komentar