Tol Laut, antara Logistik dan Transportasi
Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla akhirnya
mengucapkan sumpah sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019
dihadapan sidang MPR RI. Bagi pemerhati dan pengamat kemaritiman yang menarik
dari prosesi pelantikan mereka berdua adalah pernyataannya bahwa “Kita telah lama memunggungi laut,
samudera, selat dan teluk. Sekarang saatnya kita mengembalikan semua, sehingga
tercapai Jalesveva Jayamahe kembali
membahana di laut kita jaya.”
Dengan mengutip Bung Karno, Jokowi (begitu ia
biasa dipanggil) lebih lanjut mengatakan, “Untuk membangun Indonesia kuat,
makmur dan damai, yakni cakrawati
samudera, diperlukan jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan
hempasan ombak yang menggulung.” Singkat cerita, kemaritiman menjadi salah satu
alas strategi penting bagi dia dalam mewujudkan visinya menjadikan Indonesia
Hebat.
Komitmen
yang kuat kepada kemaritiman mantan walikota Surakarta itu sudah terlihat
ketika ia mengusung gagasan tol laut saat kampanye pilpres lalu. Sejak
diluncurkan, ide tentang tol laut tersebut memantik pro dan kontra. Sampai saat
ini pun masih saja menjadi buah bibir publik, khususnya mereka yang bergelut di
sektor kemaritiman.
Tetap
hangatnya (baca: kontroversial) isu tersebut berangkat dari kondisi bahwa ia
sampai hari ini kita tidak memiliki blueprint
resmi yang dikeluarkan oleh sang presiden terpilih terkait gagasannya itu. Benar
bahwa gagasan tol laut itu kini sudah memiliki bentuk yang cukup jelas tetapi
hal ini lebih merupakan persepsi eksternal terhadapnya.
Apakah
bentuk itu juga sebangun-seruang dengan yang ada dalam pemikiran presiden
terpilih Joko Widodo, kita tidak tahu. Karenanya, kita berharap besar kepada
Jokowi agar sesegera mungkin menjelaskan secara gamblang konsep tol laut yang
ia gagas dalam masa kampanye pemilihan presiden.
Penjelasan
itu nantinya diharapkan akan menjadi tafsir paling otoritatif terhadap tol laut
dan merupakan bagian integral dari kebijakan nasional selama lima tahun ke
depan. Bisa jadi dari sisi legal-formal tol laut itu dituangkan dalam bentuk
perpres, keppres dan sebagainya. Dengan begini kontroversi tol laut dapat
diakhiri. Adapun penjelasan yang ditunggu publik adalah, antara lain, asal-usul
istilah dan pendekatan teknis (technical
approach).
Ada
ungkapan what is a name? Apalah
artinya sebuah nama, ia tidaklah penting. Mawar tetaplah mawar walaupun mungkin
ia diberi nama lain. Namun, selalu ada cerita di balik sebuah nama. Tol laut
disebut-sebut merupakan sinonim dari konsep pendulum. Sementara itu bagi
komunitas kemaritiman mondial yang dimaksud dengan pendulum adalah “a set of sequential port calls from at
least two maritime ranges, commonly including a transoceanic service and
structured as a continuous loop.”
Pendulum
pertama kali diperkenalkan oleh perusahaan pelayaran Amerika Serikat Sea-Land pada
1962 dengan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan New York, Los Angeles dan Oakland
melalui Terusan Panama. Ketika pulang, armada pendulum ini menyinggahi San
Juan, Puerto Rico. Kini, Sea-Land tergabung dalam Maersk
Line. Apakah dengan mengusung tol laut ada upaya untuk memasukkan pelayaran
tersebut ke Indonesia? Ada kabar, kapal-kapal milik mereka yang berukuran 3.000
TEU tengah menganggur di Eropa.
Logistik vs Transportasi
Yang
juga perlu dijelaskan oleh Jokowi adalah pendekatan teknis dalam menjalankan gagasan
tol lautnya. Ada dua pendekatan dalam hal ini, yaitu pendekatan logistik dan
pendekatan transportasi. Mana yang dia
lebih utamakan: pendekatan logistik atau transportasi. Saat ini, dalam dinamika
wacana tol laut yang berkembang pendekatan yang dominan adalah pendekatan
logistik.
Pendekatan
logistik ditandai dengan lebih mengedepannya peran para middle man (forwarder)
dibanding pengangkut atau operator kapal. Selain para forwarder, pendekatan ini juga memberi tepat yang relatif besar
kepada pengelola pelabuhan. Lihatlah bagaimana sepak terjang mereka sejak gagasan
tol laut dimunculkan dalam kampanye pemilihan presiden.
Para
middle man dan pengelola pelabuhan
sontak mendukung gagasan tol laut padahal mereka tidak tahu apa yang diinginkan
oleh Jokowi. Mereka menguasai wacana di media massa dengan keywords-nya “sistem logistik”, “pengembangan pelabuhan”, dan
sebagainya. Sang presiden terpilih sepertinya terjebak dalam pusaran para
pelaku pendekatan ini. Ia bertemu dan bicara dengan para forwarder dan pengelola pelabuhan dan berkunjung ke sana.
Padahal,
jika mengacu kepada istilah tol laut, pendekatan yang sebaiknya diutamakan
adalah pendekatan transportasi. Layaknya tol di darat, di mana yang
menggunakannya tentulah mobil dan truk, tol laut yang mengunakannya adalah
kapal. Sayang, sejak muncul ke permukaan tol laut terkesan mengenyampingkan
perusahaan pelayaran. Dari pihak presiden terpilih juga tidak terdengar kabar
bahwa dia bertemu dengan pelaku usaha pelayaran dan mendiskusikan tol laut.
Kondisi
asimetris tadi menyebabkan sampai saat ini tol laut tidak memiliki gambaran
terkait siapa yang akan mengoperasikan kapal dengan kapasitas 3.000 TEU; BUMN-kah
atau swastakah. Insentif dan disinsentif seperti apa yang akan diberikan kepada
operator kapal yang bersedia mengisi slot
yang tersedia nantinya.
Tol
laut tidak hanya terkait dengan pengembangan pelabuhan atau pengumpulan dan
pengiriman (to farward) barang.
Gagasan ini juga menyangkut kapal sebagai alat angkut yang tugasnya mengunjungi
pelabuhan yang telah dikembangkan dan mengangkut barang yang telah dikumpulkan
di sana.
Dalam
bukunya The Influence of Sea Power Upon
History 1660-1783, Capt. A. T.
Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal mengatakkan “...the necessity of a navy, in the restricted
sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful
shipping...”. Jadi, jangan tinggalkan pelayaran dalam wacana tol laut.
Selamat mengemban tugas untuk anda berdua, Pak Jokowi dan Pak JK. Jalesveva Jayamahe.*****
Diterbitkan dalam KORAN SINDO edisi Rabu, 22 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar