Budaya mudik dan coastal shipping
Jakarta: NAMARIN- 21 Oktober 2012. Beberapa waktu lalu
kita menyaksikan pergerakan manusia Indonesia secara kolosal dalam sebuah kegiatan
yang disebut mudik. Peristiwa yang terkait perayaan Idul Fitri itu sudah
menjadi budaya dan karenanya berulang saban tahun. Mereka bergerak dari Jawa ke
Sumatera atau sebaliknya. Ada pula dari Sulawesi ke Jawa. Disebut kolosal
karena jumlah orang yang terlibat dalam mudik mencapai jutaan. Namun, yang
terbanyak tetap pergerakan pemudik di Pulau Jawa, dengan titik pemberangkan DKI
Jakarta menuju ke Jawa Tengah dan dan Jawa Timur. Moda transportasi yang
digunakan oleh mereka yang ingin berlebaran di kampung halamannya cukup beragam,
mulai dari mobil, bus, KA hingga kendaraan roda dua alias motor. Khusus alat
transportasi yang terakhir, jumlah pemakainya tiap tahun bertambah cukup
signifikan.
Sebagai wilayah
yang paling banyak menerima pemudik dari Jakarta, beban jalan menuju Jawa
Tengah dan Jawa Timur, yakni jalur Pantura serta jalur-jalur alternatifnya,
menjadi overloaded. Dalam keadaan
normal, sehari-harinya saja, jalur sepanjang 1.161, 47 km ini dilalui oleh
33.000 kendaraan. Memasuki musim mudik lebaran jumlah tadi meningkat
signifikan. Karenanya menjadi sangat logis mana kala saat mudik kita acap
mendengar laporan dari media massa terjadi kemacetan pada hampir setiap jengkal
jalur Pantura. Pertanyaannya, akankah kondisi tadi dibiarkan tanpa terpecahkan?
Coastal
shipping
Salah satu alternatif
yang bisa disuguhkan untuk mengurai persoalan kemacetan setiap musim mudik di
jalur Pantura adalah coastal shipping.
Menurut Uni Eropa, coastal shipping
adalah the shipping of cargo or goods for
relatively short distances or to be nearby coastal ports. Ada beberapa
keuntungan jika upaya ini berhasil dijalankan nantinya. Pertama, efisiensi biaya BBM. Kedua,
menekan waktu logistik. Ketiga,
mengurangi biaya pemeliharaan jalan dengan gandar tinggi. Keempat, efisiensi biaya pemeliharaan jalan. Kelima, mengurangi emisi gas buang. Keenam, menekan angka kecelakaan di jalan raya. Dan, terakhir, mengurangi biaya pemeliharaan
kendaraan.
Semua kelebihan
di muka cocok dengan studi yang diadakan oleh Badan Litbang Kementerian
Perhubungan pada 2007. Instansi ini men mengungkapkan, penggunaan angkutan
jalan hanya akan efektif bila jarak tempuh berada pada kisaran 300 km.
Sementara angkutan kereta api (KA) akan efektif bila jaraknya antara 300-1.200
km. Dan, moda laut akan efektif penggunaannya bila jarak tempuh melebihi 1.200
km.
Untuk
mengimplementasikan coastal shipping,
yang diperlukan adalah barges atau
tongkang (dengan atau tanpa propeler), tow/gandengan,
dermaga tongkang, fasilitas ramp agar
truk atau mobil bisa langsung ke tongkang, lintasan pelayaran (sepanjang garis
pantai atau perairan sungai), dan kapal. Adapun tipe kapal yang bisa
dipergunakan selain tow dan barges mencakup, antara lain, kapal
kontener, ro-ro, ro-pax, dan con-ro.
Sebetulnya coastal
shipping bukanlah barang baru di Indonesia. Perusahaan pelayaran PT PELNI
telah menerapkan model ini pada beberapa lintasan di Nusantara. Misalnya di
pulau Sumatera. BUMN ini mengoperasikan KM Lawit untuk melayari rute pendek
Padang-Sibolga dan Batam-Belawan-Tanjung Balai (dengan KM Kelud). Lalu di pulau
Jawa, PT PELNI melayani rute Jakarta-Surabaya dengan KM Gunung Dempo, KM
Dobonsolo, KM Labobar, KM Ciremai, KM Lambelu dan KM Umsini. Pada rute
Jakarta-Semarang, perusahaan pelat merah ini mengoperasikan KM Sinabung dan KM
Sirimau.
PELNI menerapkan
coastal shipping di Sulawesi pada
lintasan Pantoloan-Pare-pare-Makassar dengan KM Tidar. Kemudian pada lintasan
Bitung-Gorontalo-Luwuk-Kolonodale-Kendari menggunakan KM Tilongkabila.
Sementara di pulau Papua pola coastal
shipping diterapkan pada lintasan Sorong-Manokwari-Jayapura dengan
menggunakan KM Labobar dan KM Sinabung dan lintasan Sorong-Jayapura dengan
menggunakan KM Dobonsolo dan KM Gunung Dempo.
Jadi, penerapan coastal shipping untuk angkutan mudik
hanya tinggal menunggu kerelaan para pemangku kepentingan atau stakeholder saja. Bahkan, teman penulis yang
pengusaha pelayaran nasional malah mengatakan jika semua pihak mau menerapkan coastal shipping, tidak perlu menunggu
lebaran tahun depan agar konsep tersebut dapat diwujudkan. Bulan depan pun
langsung bisa dilaksanakan, katanya serius.
Kerelaan atau political will pemangku kepentingan
dalam penerapan coastal shipping
memang amat dibutuhkan. Pasalnya, ada beberapa kendala yang bisa menghadang
penerapannya. Pertama, sebagian besar
pasar belum mengenal konsep coastal
shipping. Kedua, infrastruktur di
pelabuhan belum memadai. Ketiga,
koordinasi dengan berbagai jenis moda transportasi juga belum memadai. Kempat, akan terjadi kemacetan saat
pelaksanaan prosedur kepabeanan. Dan, terakhir,
infrastruktur pasar belum memadai.
Mudah-mudahan
seluruh stakeholder terkait bisa
duduk bareng dan mendiskusikan kelima kendala yang ada sehingga, paling tidak,
lebaran tahun depan coastal shipping
sudah bisa diterapkan lebih intensif. Syukur-syukur
lebih cepat. Semoga.****
Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Komentar
Posting Komentar