Setelah MT Horse dan MT Freya Kembali Berlayar
Pengadilan
Negeri Batam, Kepulauan Riau, sudah membacakan vonisnya terhadap kapal MT Horse dan MT Freya. Tanker
pertama (berbendera Iran), nakhodanya diganjar hukuman satu tahun penjara
sementara kapal kedua, MT Freya – berkebangsaan Panama – dijatuhi
hukuman denda senilai 2,5 milyar rupiah. Sekilas, kedua putusan PN tersebut
baik-baik saja. Namun, bila diselami lebih jauh, ada beberapa catatan kritis
yang bisa disajikan. Saat tulisan ini diselesaikan, kedua kapal sudah berlayar meninggalkan
perairan Indonesia menuju ke destinasinya masing-masing.
Kasus
MT Horse dan MT Freya menarik diberikan catatan karena dari sejak awal
ditangkap oleh otoritas kemaritiman Indonesia sudah membentot perhatian publik.
Khalayak disuguhi berbagai komentar oleh para pejabat penting yang ingin pelanggaran
oleh kedua kapal ditindaklanjuti. Bergantian mereka muncul di hadapan publik melalui sejumlah
konferensi pers. Inti pesannya sama: negara/pemerintah akan memproses hukum
kapal tersebut. Yang menarik adalah keyakinan para pejabat itu bahwa aturan
perundang-undangan yang ada cukup untuk menjerat pelaku pelanggaran dan diganjar
hukuman setimpal.
Di
sisi lain, pada saat bersamaan, sejumlah pengamat – salah satunya adalah
Soleman B Pontoh, mantan Kepala BAIS 2011 hingga 2013– buka suara bahwa langkah
pemerintah dimaksud akan menghadapi sejumlah halangan. Pasalnya, aturan
perundangan-undangan yang ada tidak atau kurang kuat untuk menghukum MT Horse
dan MT Freya. Kalaupun dipaksakan, paling banter hanya satu UU saja yang bisa
menjerat mereka. Kemungkinan ini penulis ketahui langsung dari teman-teman yang
aktif terlibat dalam rapat-rapat antarinstansi yang digelar tak lama setelah
kedua tanker ditahan.
Kata
teman-teman itu, dari beberapa tuduhan yang dialamatkan kepada MT Horse dan MT
Freya, hanya pelanggaran terhadap UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang
paling memungkinkan untuk dikenakan kepada kedua kapal beserta kaptennya. Adapun
tuduhan lainnya, seperti pencemaran lingkungan, transaksi BBM illegal serta
kepemilikan senjata, sulit membuktikannya. Sementara, tuduhan pelanggaran wilayah
sebagaimana yang diatur dalam UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
tidak mengatur hukuman pidana bagi mereka yang melanggar.
Dari
laporan media seputar persidangan MT Horse dan MT Freya di PN Batam terungkap
bahwa keduanya dijerat hanya dengan UU Pelayaran 2008. Berdasarkan aturan itu,
nakhoda dikenakan hukuman penjara satu tahun dan denda 200 juta rupiah. Ada yang
menggelitik dari putusan ini, yaitu pemberitaan media terkait putusan
pengadilan yang boleh dibilang simpang-siur. Paling tidak dalam pandangan saya.
Maksudnya begini. Seperti yang saya sampaikan pada awal karangan ini, nakhoda tanker
berbendera Iran diganjar hukuman satu tahun penjara. Namun, tidak saya temukan
berita yang menyebut Mehdi Monghasemjahromi, sang nakhoda, didenda 200 juta
rupiah. Ini catatan pertama.
Yang
kedua, kendati dakwaan yang diajukan
oleh jaksa relatif sama, namun putusan terhadap MT Freya berbeda dengan yang
diterima oleh MT Horse. Nakhoda Freya, Chen Yiqun, diharuskan membayar denda
senilai 2 milyar lebih. Hanya satu kesamaan di antara mereka berdua, yakni
sama-sama tidak perlu mendekam dalam penjara. Hakim PN Batam yang memimpin persidangan,
David P Sitorus, memerintahkan kedua terdakwa agar segera keluar meninggalkan
tahanan kendati mereka dihukum satu tahun kurungan. Jujur, saya bingung dengan
amar hakim ini. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.
Ketiga,
Indonesia
memiliki catatan penahanan kapal yang lama di dunia. Dulu, pada 2012, setelah
bertubrukan dengan KMP Bahuga Jaya yang mengakibatkan feri ini tenggelam, dalam
catatan penulis, kapal Norgas Cathinka (berbendera Singapura) yang menabrak
feri tersebut ditahan hampir setahun.
Dalam kasus MT Horse dan MT Freya,
keduanya ditahan sekitar 4 bulan lamanya.
Keempat,
dari sejak ditangkap hingga disidangkan, makin jelas terungkap bahwa hukum maritim di dalam negeri ditegakkan oleh beberapa instansi yang
memiliki kewenangan yang setara di antara mereka. Yang satu tidak lebih tinggi dibanding lainnya. Memang ada yang mengaku sebagai “ketua
kelas” di antara instansi yang ada tapi itu hanya klaim sepihak.
Dari
vonis atas MT Horse dan MT Freya, apa yang bisa dipetik sebagai hikmah? Sudah
saatnya kita berpikir untuk segera menubuhkan admiralty court. Inilah jalan keluarnya. Ketiadaan maritime court (nama lain untuk admiralty court) menjadikan praktik
peradilan kemaritiman di Indonesia selama ini salah kaprah sehingga memunculkan
ketidakpastian dan ketidakadilan hukum bagi para pihak yang terbelit masalah
hukum maritim di sektor pelayaran, kepelautan dan sebagainya.
Salah kaprah itu terlihat dari persepsi sebagian besar publik yang
menilai admiralty court adalah sebuah entitas tempat
mencari keadilan bagi mereka yang berkasus yang di dalamnya ada hakim, jaksa
dan pembela. Admiralty court
merupakan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan perbuatan satu pihak yang
merugikan pihak lainnya. Tidak ada jaksa, hakim maupun pembela di sini.
Maritime court mencakup tiga hal
berikut: Pertama, aspek teknis (dalam
hal ini kapal dan prasarana penunjangnya). Kedua,
aspek taktis, yaitu administrasi dan tata kelola kapal dan sarana penunjangnya.
Dan, terakhir, aspek bisnis berupa tata niaga pengoperasian kapal dan sarana
penunjangnya. Ketiga komponen ini sebagian besar berbentuk rules and procedures yang didasarkan di atas kesepakatan tertulis,
bukan laws and regulations. Karena
bersifat teknis, tidak ada kriminalisasi terhadap anak buah kapak (ABK) di
sini.
Pemerintah sudah menubuhkan Mahkamah Pelayaran (Mahpel) untuk mengurusi admiralty selama ini. Istilah Mahkamah Pelayaran
tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Sayangnya, lembaga ini
lebih diniatkan sebagai institusi legal prosedural layaknya pengadilan umum
dengan segala kelengkapannya – hakim, jaksa, dan pembela. Seharusnya, Mahpel
merupakan "panel of technical
experts" di bidang kemaritiman dan berbentuk komite bukan komisi.
Dalam Bahasa Inggris, committee/komite
atau majelis melaksanakan tugas yang bersifat teknis operasional, sedangkan commission/komisi atau mahkamah
melaksanakan tugas yang bersifat legal prosedural.
Karenanya, dulu sebelum proklamasi, putusan Mahpel baru bisa memiliki
kekuatan mengikat setelah diregister di lembaga residentierechter, kalau sekarang adalah Direktorat Jenderal Perundangan
di Kementerian Hukum dan HAM, tidak ke pengadilan. Sehingga, proses penahanan kapal
bisa segera dilaksanakan karena prosedurnya tidak perlu lewat hakim lembaga
peradilan. Cukup pejabat yang berwenang di Mahpel meregistrasikan penetapannya.
Barangkali vonis MT Horse dan MT Freya tidak seabsurd yang sudah berlaku
jika Indonesia memilik admiralty court.
Entahlah.
Komentar
Posting Komentar