2020, Annus Horribilis Dunia Kemaritiman
Bila perjalanan itu menyenangkan, diucapkanlah annus mirabilis. Sebaliknya, annus horribilis akan terlontar jika
dirasakan perjalanan selama setahun itu berat, melelahkan dan seterusnya. Bagi dunia
kemaritiman, tahun 2020 merupakan annus
horibilis. Organisasi, lembaga dan person/orang
yang bergelut di bidang ini menjalani tahun ini dengan tersengal-sengal, malah
ada yang kehabisan nafas sama sekali dan game
over pada akhirnya, karena beratnya medan. Tetapi perlu dicatat, kepayahan
yang ada sudah dirasakan pada 2019 dan terus bereskalasi pada 2020. Merebaknya virus
corona membuat kondisi yang ada makin tajam saja. Ambil contoh bisnis galangan
kapal (shipbuilding).
Kondisinya sudah berdarah-darah jauh sebelum virus itu bersimaharajalela.
Menurut data, jumlah galangan dunia yang ditutup karena melorotnya proyek
pembangunan kapal baru atau new building
sejak 2013 berjumlah 240 unit dengan total kapasitas 16 juta combined gross tonnage (CGT).
Diperkirakan lebih dari 200 shipyard
kembali akan ditutup dalam beberapa bulan ke depan hingga tahun-tahun
berikutnya.
Data yang dihimpun oleh Danish Ship Finance di muka
mengungkapkan, total kapasitas galangan dunia saat ini sebesar 56 juta CGT yang
tersebar di 281 shipyard di berbagai
belahan bumi. Diperkirakan, proses penutupan yang sudah, masih dan akan
berjalan hanya menyisakan sekitar 64 galangan kelak. Kelompok ini merupakan
galangan besar pemain “divisi utama” yang menguasai lebih dari 75 persen order new building global.
Bagaimana dengan kondisi galangan di Indonesia? Kondisinya
setali tiga uang. Bahkan bisa jadi lebih parah. Ihwal keadaan yang mengenaskan
ini sudah menggelayuti sekitar 250 galangan di Tanah Air sejak waktu yang cukup
lama. Kondisi mereka sedikit membaik pada periode 2015 hingga 2017 saat
pemerintah memesan berbagai macam kapal untuk beragam keperluan.
Setelah periode dimaksud, tidak terdengar, paling tidak oleh penulis,
pemerintah ada memesan kapal lagi kepada galangan nasional dalam jumlah yang
lumayan banyak. Galangan akhirnya lebih banyak menerima pekerjaan reparasi/docking. Lumayanlah untuk bertahan
hidup. Pasalnya, keuntungan pekerjaan reparasi tidak sebesar order new building dari sisi finansial.
Annus horribilis juga berlaku dalam sektor kepelautan.
Yang paling telak disengat Covid-19 adalah
pelayaran pesiar (cruise). Bisnis
pelayaran pesiar memang paling banyak dijangkiti oleh virus corona. Sayang,
respon operator pelayaran cruise dunia
terbilang lambat dibanding sektor pelayaran lainnya. Salah satu contoh, mereka
tidak segera membatalkan pelayaran wisata yang sudah diprogram dan
mengembalikan uang tiket (refund).
Penumpang akhirnya terpaksa tetap melakukan pelayaran sementara wabah corona
sudah mengharu biru di bebagai belahan dunia.
Indonesia langsung terkena getahnya. Ada
puluhan ribu anak Indonesia yang bekerja sebagai pelayan di atas berbagai hotel
terapung di dunia namun kini sedikit demi sedikit mereka dikirim balik oleh
operatornya. Menurut data Kementerian Perhubungan, jumlahnya sekitar 20.000
ABK. Di Indonesia sendiri kasus terpapar virus corona di atas kapal penumpang
juga lumayan banyak dibanding pelayaran lain. Sejauh ini kapal yang
dioperasikan oleh PT Pelni paling mendominasi sebagai tempat penjangkit.
Yang paling menyedihkan adalah nasib ABK
Indonesia yang bekerja di atas kapal ikan berbendera China. Dalam
tahun 2020 ini, banyak di antara mereka yang meregang nyawa akibat praktik
perbudakan di laut (sea slavery).
Yang membentot perhatian
publik tentu saja kematian ABK kita di atas kapal ikan Long Xin yang jenazahnya dilarung ke laut tanpa seizin keluarga. Setelah
kasus ini masih ada banyak kejadian ABK Indonesia yang bernasib malang yang
sayangnya kasus hukumnya tidak jelas akhirnya.
Di pengujung tahun 2020 ini terjadi kelangkaan peti kemas
yang luar biasa parah sehingga dunia yang tengah dilanda resesi yang sebagian
di antaranya diakibatkan oleh Covid-19 terpukul makin telak. Biaya angkut (freight) bergerak liar dan ini pada
akhirnya akan dipikul oleh konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi di
pasar. Di sisi lain, daya beli masyarakat belum pulih.
Perusahaan pelayaran peti kemas global merupakan pihak yang
diuntungkan dengan situasi langkanya peti kemas. Tahun 2020 sepertinya
merupakan annus mirabilis bagi mereka
karena dapat “durian runtuh” dengan naiknya freight.
Padahal, barang yang satu ini sudah perlu disesuaikan namun tidak berjalan
mulus seperti yang diharapkan.
Di Indonesia, pengusaha pelayaran juga tengah berjibaku
dengan masalah kelangkaan peti kemas. Melalui asosiasi yang menaunginya, mereka
menginginkan pemerintah turun tangan dengan mendatangkan peti kemas dari luar
negeri dan membebaskan biaya bongkarnya di terminal peti kemas di dalam negeri.
Permintaan ini terasa janggal jika tidak hendak dikatakan mau enaknya sendiri.
Sebagai agen perusahaan pelayaran peti kemas global, perusahaan pelayaran domestik tentulah menikmati pula kenaikan freight yang terjadi saat ini. Bagi mereka tahun 2020 adalah annus mirabilis. Jika permintaannya dipenuhi oleh pemerintah, pengusaha pelayaran dalam negeri dapat lagi keuntungan tambahan dari gratisnya container handling charge (CHC). Padahal, biaya ini sudah masuk dalam perhitungan principal mereka untuk dibayarkan kepada operator terminal peti kemas.
Yang mau enaknya sendiri itu begini. Operator pelayaran peti kemas mengenakan terminal handling charge (THC) kepada pemilik barang atau shipper. Memang ada kata terminal tetapi tidak urusannya dengan pengelola terminal. Pendapatan ini sepenuhnya masuk ke kantong pelayaran. Biaya ini tidak pernah tidak dipungut kendati sedang terjadi krisis dalam bisnis pelayaran seperti saat ini.
Pembebasan biaya bongkar seperti yang diinginkan oleh
pengusaha pelayaran dalam negeri tidak berarti gratis sama sekali. Tetap saja ia
harus dibayar. Kewenangan membebaskan biaya ada di tangan pemerintah, karenanya
pemerintah jugalah yang pada akhirnya harus membayar biaya tersebut kepada
operator terminal peti kemas. Jika pemerintah menyetujui usulan yang ada, sama
saja pemerintah menjebol kantongnya sendiri.
Apakah Indonesia tidak menguasai teknik pembuatan peti kemas??
BalasHapusSehingga harus tergantung dari negara2 produsen nya?