New Normal, Lonceng Kematian Usaha Kapal Penumpang?
Dunia sebetulnya masih tengah bertempur dengan pandemi Covid-19 dan tidak tahu kapan pertempuran ini akan berakhir. Menariknya, sejak pertempuran global
melawan wabah mematikan itu dikumandangkan pada awal tahun ini, gagasan new normal telah muncul. Sepertinya,
dunia sudah tahu bahwa ia tidak akan pernah berhasil menumpas hingga tuntas penyakit
yang satu itu.
New normal kini bukan lagi sekadar wacana. Negara-negara
sudah mulai menyiapkan protokol bagi seluruh sektor kehidupan agar bisa hidup
berdampingan dengan Covid-19. Bidang kemaritiman juga bersiap menyambut new normal. Sektor pelabuhan, pelayaran,
logistik dan lain-lain dikabarkan telah menyiapkan sejumlah langkah untuk itu. Mengingat
kalangan top pemerintahan, mulai dari Presiden, Menteri hingga Kepala Daerah, sudah
menyebut-nyebut frasa new normal belakangan
ini, bagi sektor tersebut nampaknya normal baru akan segera dijalankan tak lama
lagi.
Salah satu normal baru yang akan digeber pada sektor pelabuhan,
pelayaran, dan lain-lain itu adalah pemanfaatan Internet dan berbagai aplikasi teknologi
informasi (TI). Ya, digeber. Karena barang-barang ini sudah dijalankan jauh
sebelum Covid-19 bersimaharajalela oleh pelaku usaha. Internet dan aplikasi TI
dipakai untuk memesan kontainer dan truk. Ada pula untuk melaporkan
posisi/pergerakan kapal sehingga memudahkan proses penyandaran kapal di dermaga
begitu tiba.
Tidak jelas selama masa pandemi ini apakah semua itu makin
meningkat pemanfaatannya, biasa-biasa saja atau bahkan menurun. Secara logika, pastilah
menurun. Wong, bisnis utama yang
ditopang oleh Internet dan aplikasi TI itu, dalam hal ini bisnis pelayaran, melorot
drastis karena Covid-19. Kalaupun ada peningkatan, paling pemakaian bandwidth Internet korporasi yang
melonjak signifikan karena digunakan untuk video
conference. Hemat saya, biaya untuk urusan yang satu ini bakal membengkak
jika new normal diterapkan kelak. Tidak
ada berapa angka pastinya. Mudah-mudahan
ada pihak yang melakukan studi terkait isu ini mumpung masih hangat.
Dalam sektor usaha pelayaran ada bagian yang namanya
pelayaran penumpang atau cruise line.
Diperkirakan usaha ini akan terdampak cukup dalam bila new normal diterapkan bila tidak hendak dikatakan sekarat (dying). Dari semua bagian sektor pelayaran,
pelayaran penumpang adalah yang paling banyak
dijangkiti oleh virus corona. Sayang, respon operator pelayaran cruise dunia terbilang lambat dibanding
sektor pelayaran lainnya. Makanya jumlah orang yang terjangkit pun paling
tinggi di antara berbagai jenis usaha pelayaran.
Salah satu penyebabnya, sikap keras kepala operator
cruise. Mereka tidak segera membatalkan
pelayaran wisata yang sudah diprogram dan mengembalikan uang tiket (refund). Penumpang akhirnya terpaksa
tetap melakukan pelayaran sementara wabah corona sudah mengharu biru di bebagai
belahan dunia. Semarang sempat disandari oleh kapal pesiar internasional dan
memantik kontroversi di dalam negeri apalagi sepasang suami istri asal luar
negeri yang menumpangi kapal itu sempat dilarikan ke rumah sakit setempat karena ada gejala. Sebab lain, kapal penumpang adalah alat angkut yang paling banyak membawa
penumpang di antara moda lainnya. Sehingga, sulit sekali melakukan physical distancing.
Indonesia merupakan salah negara yang amat
tersengat dengan penyebaran virus corona di atas kapal pesiar. Pasalnya ada
puluhan ribu anak Indonesia yang bekerja sebagai pelayan di atas berbagai hotel
terapung di dunia seperti Carnival Cruise Line, Cunard Line, American Cruise
Line, dan sebagainya. Kini, sedikit demi sedikit mereka dikirim balik oleh
operatornya. Gelombang pertama sekitar 800 lebih anak buah kapal (ABK) sudah
tiba di pelabuhan Benoa, Bali, beberapa waktu lalu.
Ratusan lagi sudah menyusul masuk dan terus
akan masuk hingga berjumlah, menurut data Kementerian Perhubungan, 20.000 ABK. Di
Indonesia sendiri kasus terpapar virus corona di atas kapal penumpang juga
lumayan banyak dibanding pelayaran lain. Sejauh ini kapal yang dioperasikan
oleh PT Pelni paling mendominasi sebagai tempat penjangkit. Perusahaan BUMN itu
kini telah menyetop operasi kapal penumpang namun tetap menjalankan kapal
perintis Sabuk Nusantara.
Bagaimanakah bisnis pelayaran penumpang ini di
masa new normal yang segera akan
menjelang? Apakah normal baru akan membunyikan lonceng kematian bagi operator cruise line?
Sebelum virus corona merebak, bisnis kapal
penumpang internasional relatif moncer. Kapal-kapal pesiar yang dioperasikan oleh
operator utama dunia selalu fully booked.
Di Indonesia situasinya berbeda seratus delapan puluh derajat. Pelayaran penumpang
dalam negeri sudah terseok-terseok sejak penerbangan berbiaya murah (low cost carrier) beroperasi. Penumpang yang biasanya menggunakan kapal laut untuk membereskan
urusan mereka di tempat jauh beralih menggunakan pesawat. Dengan harga tiket pesawat
yang relatif tidak berbeda jauh dengan harga tiket kapal laut, jelas mereka pilih pesawat
dong. Nyaman, bergaya dan, yang paling penting, cepat sampai tujuan.
Covid-19 membuat posisi kedua operator pelayaran
penumpang itu kini sama. Mereka sama-sama tersengal. Memang, dari sisi keuangan
perusahaan luar negeri bisa jadi lebih kuat dibanding pelayaran penumpang domestik.
Tetapi kantong uang ini akan jebol dengan cepat begitu bisnis cruise dimulai lagi dalam lingkungan new normal. Sebagaimana diketahui, operator
pelayaran penumpang internasional masih mengandangkan untuk sementara
kapal-kapal mereka. Wacana new normal
yang bergaung di seantero penjuru mata angin tentu mendorong pemiliknya melayarkan
kembali armada mereka.
Bisnis pelayaran penumpang di zaman new normal akan berbeda jauh dengan kondisi
normal lama. Kapasitas kapal tidak bisa lagi diisi penuh karena adanya
kewajiban physical distancing. Kapal pun
harus sering-sering disterilisasi agar virus corona punah. ABK mesti mendapat
seragam kerja baru yang disesuaikan dengan protokol kesehatan. Alat
perlindungan diri (APD) harus tersedia cukup di atas kapal untuk jaga-jaga.
Di darat, operator kapal dihadapkan dengan
perubahan prosedur pelayanan kapal penumpang yang diberlakukan oleh otoritas
pelabuhan. Semua ini tentu saja ada biayanya. Sayangnya, biaya-biaya tidak
terduga itu sulit ditutup dengan pendapatan operasi yang akan terpangkas lebih
dari 50 persen karena pembatasan jumlah penumpang yang boleh diangkut di zaman new normal nanti.
Bagi pelayaran dalam negeri, likuiditas sudah menjadi
masalah jauh sebelum wabah corona datang. New
normal akan membuat masalah ini makin berat. Saat ini, penumpang kapal di
dalam negeri sudah berkurang hampir lima puluh persen. Bisa jadi lebih. Di sisi
lain, likuiditas pelayaran penumpang pelat merah banyak ditopang oleh subsidi
negara. Dengan kondisi keuangan negara yang makin berat dihajar pandemi,
bisa-bisa subsidi ini disetop. Kalau sudah begini, normal baru sama dengan membunyikan
lonceng kematian bagi operator kapal penumpang domestik? Entahlah.
Komentar
Posting Komentar