Antara Tol Laut dan Kontainerisasi di Indonesia
Tahun
ini merupakan tahun ketiga tol laut. Sejak diluncurkan, program ini terus
mendapat sorotan dari komunitas kemaritiman di Tanah Air. Lazimnya, sorotan ini
ada yang ramah namun tak sedikit pula yang kritis. Mereka yang ramah adalah
orang-orang yang menilai bahwa program tersebut sudah sukses, seperti klaim
pemerintah, dalam menekan disparitas harga antara Jawa dan luar Jawa. Sementara,
yang kritis adalah mereka yang menilai tol laut masih jauh ‘panggang dari api’.
Tulisan
ini tidak hendak mempertajam perbedaan penilaian terhadap eksistensi program
tol laut yang ada. Melainkan, mencoba mengangkat satu aspek yang sepertinya
luput dari diskursus tol laut, yaitu pengemasan atau unitization barang-barang yang diangkut oleh kapal-kapal tol laut.
Maksudnya begini. Kapal-kapal tol laut mengangkut barang baik dalam peti kemas
maupun break bulk. Pertanyaannya,
pilihan pengemasan manakah yang lebih tepat?
Menurut
Martin Stopford (1988), unitization
barang-barang yang diangkut oleh kapal terhitung sebagai salah revolusi dalam
bisnis pelayaran – yang lainnya adalah revolusi dalam pelayaran bulk. Sebelumnya, barang-barang
ditempatkan begitu saja di atas kapal atau palka dan dikemas dalam karung, drum
dan sebagainya. Kemudian, diperkenalkanlah palet dan kontainer untuk menampung
barang-barang tadi. Disebut revolusi dalam bisnis pelayaran karena bila dikirim
dalam bentuk break bulk butuh waktu
bulanan untuk sampai ke destinasinya.
Sementara,
jika dikemas dalam bentuk palet atau kontainer, hanya diperlukan waktu beberapa
minggu saja. Disamping itu, unitisasi juga lebih menjamin keselamatan
barang-barang yang dikapalkan (terutama yang dimasukan ke dalam kontainer) dari
kerusakan selama pemuatan/pembongkaran dan pindah kapal. Perubahan mendasar ini
kemudian dilengkapi dengan diintroduksinya sistem intermodal dalam pelayaran
berjadwal alias liner shipping pada
1960-an.
Kontainerisasi
Menurut
perencanaan yang ada, kapal tol laut terdiri dari tiga tipe, yakni peti kemas, general cargo dan kapal kayu (pelayaran
rakyat). Malahan, salah satu komunitas kemaritiman di Tanah Air mengusulkan
agar kapal berjenis katamaran juga dipergunakan dalam program tol laut. Apa pun
pilihan kapalnya, sejatinya tidak ada masalah karena mereka tetap akan bisa
mengangkut barang atau kargo. Persoalan baru muncul tatkala kapal-kapal itu dipergunakan
mengangkut peti kemas.
Kontainer
atau peti kemas memiliki karakteristik yang khas sehingga untuk mengangkutnya diperlukan
kapal khusus. Dalam dunia pelayaran, dikenal dua jenis kapal kontainer: full
container dan semi container. Bedanya hanya pada keberadaan
alat bongkar muat di atas kapal. Pada jenis pertama, tidak ada crane dan menggantungkan bongkar muat
barang sepenuhnya kepada crane yang
ada di pelabuhan. Sementara, jenis kedua memiliki crane di atas kapal.
Dalam
program tol laut pengangkutan kontainer memang tidak secara khusus disebut
apalagi dibuatkan peta jalan (roadmap)-nya.
Yang penting barang-barang yang menumpuk di Jawa bisa diangkut keluar Jawa dengan
harga diusahakan sama dengan di Jawa. Apakah barang-barang itu diangkut dalam
peti kemas atau break bulk tak jadi
masalah. Jika pun sudah terlanjur barang-barang itu dikemas dalam kontainer,
mau diangkut menggunakan kapal khusus kontainer atau bukan tidak apa-apa juga.
Boleh
jadi program tol laut tidak perlu hal itu semua karena lumayan njlimet menghitungnya. Tetapi, sebagai
bagian dari komunitas kemaritiman global rasanya kita tidak bisa cuek bebek
dengan praktik kontainerisasi ini. Artinya, mumpung ada program tol laut
alangkah baiknya bila praktik kontainerisasi di Indonesia juga makin
dikencangkan. Di luar sana, kontainerisasi berjalan semakin pesat yang salah
satu indikasinya adalah dibangunnya kapal-kapal pengangkut peti kemas berukuran
jumbo, di atas 19.000 twenty foot
equivalent unit (TEU).
Dengan
program tol laut yang memberikan perhatian sedikit lebih terhadap pengangkutan kontainer
Indonesia berpeluang memainkan peran yang lebih besar dalam kancah bisnis
pelayaran peti kemas. Alasannya cukup sederhana. Perhatian terhadap pengangkutan
kontainer dalam tol laut membuat pengelolaan bisnis ini – mulai dari
pencatatan, pemasaran, dll - akan makin teliti. Sehingga, pada giliran
selanjutnya, akan tersusun sebuah data bank yang rapi terkait pergerakan peti
kemas nasional. Jika kita ingin mendorong Tanjung Priok menghandle 15 juta TEU setahun, data ini
penting.
Selama
ini, semua aspek tersebut masih belum rapi tersusun. Karenanya, ketika berhadapan
dengan perusahaan pengangkutan peti kemas kelas dunia atau main line operator (MLO), kita tidak bisa meyakinkan mereka supaya
mau memindahkan operasinya dari negeri jiran ke Indonesia. Data kontainer
nasional yang tidak jelas yang menjadi pasal keenganan mereka menyahuti ajakan
kita. Di sisi lain, negeri jiran memiliki data peti kemas yang sangat detil
sehingga MLO berbondong ke sana. Bisa saja data itu dikumpulkan dari pergerakan
kontainer yang ada di Indonesia.
Diterbitkan dalam HARIAN TERBIT Edisi Kamis, 28 Desember 2017
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
BalasHapushanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^