Antara Poros Maritim Dunia dan Ocean Governance
Pernah mendengar
istilah ocean governance? Sering pula
disebut maritime governance,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai tata pemerintahan di laut. Bisa
jadi di antara kita tidak pernah mendengarnya atau, paling banter, mendengarnya
sayup-sayup. Memang, keberadaan isu ini bagi publik di Tanah Air tak terdengar
lantang, baik ketika kita disebut masih “memunggungi lautan” maupun di saat
“melek bahari” seperti sekarang ini. Padahal, di luar sana ocean governance sudah diperbincangkan sejak lama.
Tata
pemerintahan di laut dibicarakan oleh komunitas kemaritiman sejak United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dibahas mulai dari 1973
hingga diberlakukan pada 1982. Tentu saja belum muncul istilah ocean governance selama periode tersebut.
Nomenklatur
ocean governance, berikut
konsepsinya, baru disebut-sebut pada 1993 manakala sejumlah pakar memublikasikan
tulisan mereka dalam sebuah buku bertajuk
Freedom for the Seas in the 21st Century: Ocean Governance
and Environmental Harmony. Nah, apa yang
ditulis oleh Jon M Van Dyke, Durwood Zaelke dan Grant Hewison itu berangkat
dari diskusi yang berkembang dalam pembahasan “konstitusi” laut di PBB.
Apa sih yang dibicarakan oleh sidang-sidang PBB yang
melahirkan UNCLOS 1982 sehingga mendorong ketiga sarjana tersebut
memperkenalkan konsep ocean governance?
Harap dicatat, yang dibicarakan dalam sidang-sidang semuanya penting. Jadi, bukan
hanya isu ocean governance yang
dibicarakan. Apalagi, tidak ada urusan “recehan” yang ditangani oleh PBB.
Konsep Ocean
Governance
Salah satu isu yang membetot energi persidangan adalah wacana
mare liberum vs mare closum. Hal ini terkait dengan kebebasan navigasi (freedom of navigation) – mare liberum dan mare clausum jika diperas esensinya memang terkait dengan topik ini
– sudah dibicarakan sejak UNCLOS I (1958) dan UNCLOS II (1960). Di kedua UNCLOS
itu, luas laut teritorial bervariasi mulai dari 3 mil laut, 6 mil laut, hingga
ada yang mengklaim 200 mil laut. Baru kemudian, pada UNCLOS III (1973-1982)
luas laut teritorial disepakati sepanjang 12 mil laut. Ada pun terkait
kedaulatan atau sovereignty, negara
pantai berdaulat penuh di laut teritorialnya.
Di luar laut teritorial, mulai dari zona tambahan, ZEE hingga
landas kontinen, negara pantai memiliki hak berdaulat atau sovereignty right. Bisa juga disebut yurisdiksi.
Freedom of
navigation sejatinya isu yang amat lama. Ketika Paus
Alexander VI memegang tampuk kekuasaan di Vatikan, ia mengeluarkan sebuah surat
keputusan pada 1493, dikenal dengan istilah Papal Bull. Keputusan Paus itu
membagi daratan, berikut lautannya, kepada Spanyol dan Portugal. Di luar kedua
kerajaan tersebut laut dinyatakan tertutup (mare
clausum).
Nah, lantaran tidak hanya Portugal dan Spanyol yang ikut
dalam usaha pelayaran lintas benua, keputusan Paus tersebut – yang kemudian
dimaktubkan dalam Perjanjian Tordesillas – digugat. Hugo Grotius, seorang
sarjana Belanda, melawan ketetapan Paus ketika ia membela sebuah kapal dagang
VOC yang melintasi perairan yang dianggap milik Portugal. Pembelaan Hugo
menjadi baris demarkasi yang menandai munculnya doktrin freedom of navigation (mare
liberum).
Kebebasan navigasi akhirnya diselesaikan melalui penerapan
laut teritorial, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif bagi negara pantai (coastal state), dan landas kontinen. Di luar zona ini disebut areas beyond national jurisdiction atau dikenal dengan istilah high seas yang dalam Bahasa Indonesia
dialihbahasakan sebagai laut lepas.
Topik lain yang juga hangat dibicarakan dalam sidang
pembahasan hukum laut internasional di PBB adalah isu archipelagic state (negara kepulauan). Sejatinya, pada derajat
tertentu juga merupakan jawaban atas perdebatan antara mare liberum vs mare closum.
Diusung oleh Indonesia, hal ini berhasil
diperjuangkan masuk menjadi salah satu bagian/pasal dari UNCLOS 1982. Berkat
usaha delegasi Indonesia perairan di antara pulau-pulau kita akhirnya diakui
sebagai perairan teritorial nasional.
Sebelumnya, perairan teritorial sebuah negara pantai (coastal state) hanya sejauh tembakan
meriam yang hanya mampu menjangkau jarak sekitar 3 mil laut. Bukan hanya
Indonesia yang diuntungkan dengan diterimanya prinsip negara kepulauan tersebut
namun, termasuk juga negara-negara dengan kondisi geografis yang sama dengan
kita.
Kembali
kepada topik utama, lantas, apa itu ocean
governance? Tidak ada satu pun definisi tunggal yang disepakati oleh
komunitas kemaritiman global tentang tata pemerintahan di laut. Oleh karena
itu, ada baiknya memahami isu ini dari sudut yang lain, yakni konsepnya.
Ocean governance berangkat dari fakta terancamnya laut akibat salah kelola (governance) yang dilakukan di dalam
yurisdiksi sebuah negara pantai. Salah kelola itu bisa saja terjadi pada
kebijakan perikanan, pelayaran atau kepelabuhanan, keamanan maritim, dan
sebagainya. Kebijakan coastal state
ini dikenal dengan istilah ocean
management.
Poros Maritim Dunia dan Ocean Governance
Dalam bahasa
lain, ocean management adalah
antitesis atau sebuah jawaban terhadap ocean
management. Hanya saja, fokus perhatiannya adalah area di luar yurisdiksi
negara pantai (area beyond national
jurisdiction/ABNJ). Karena berada di luar yurisdiksi negara pantai, ocean
governance perlu diatur secara internasional dan pada titik inilah UNCLOS 1982
perlu diapresiasi keberadaannya. Bayangkan bila tidak diatur, pasti akan
terjadi kerusakan laut yang luar biasa, baik yang menjadi yurisdiksi negara
pantai maupun di luarnya.
Lalu, apa
hubungannya poros maritim dunia dan ocean
governance? Ada beberapa catatan untuk pertanyaan ini. Pertama, sampai saat
ini sebetulnya masih cukup sulit mencari hubungan antara poros maritim dunia
dan ocean governance. Sepertinya,
yang pertama disusun dengan tidak memerhatikan yang kedua. Entahlah. Bisa saja
pengamatan penulis salah.
Buktinya,
bila membaca Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI), yang disebut-sebut sebagai ocean policy-nya Indonesia, dan pada
derajat tertentu merupakan elaborasi poros maritim dunia. Di dalamnya, tercatat
beberapa prinsip ocean governance – sustainability
dan blue economy, menyebut sebagian
dari padanya – hanya saja belum detil. Kita masih harus menunggu entah sampai
kapan prinsip itu diterapkan dalam aksi konkret di lapangan melalui berbagai
program. Yang jelas, dari beberapa isu yang terdapat dalam SDG 14, hanya
dirujuk samar jika tidak mau disebut tidak di-mention sama sekali.
Kedua, tidak
seperti namanya, poros maritim dunia sebetulnya miskin dimensi internasional.
Dalam kalimat lain, nama itu amat sangat domestik. Dalam perjumpaan penulis
dengan kalangan internasional, ternyata hanya segelintir yang tahu apa itu
poros maritim dunia dan itu pun amat sangat dipengaruhi oleh pendekatan
geopolitik atau geostrategi. Kondisi ini tampaknya terkait dengan lemahnya
sosialisasi poros maritim oleh Jakarta maupun perwakilan Indonesia di luar
negeri. Padahal, sebagai warga maritim dunia, kita berutang penjelasan yang
gamblang perihal apa yang kita perbuat di lautan.
DIterbitkan dalam majalah SINDOWEEKLY edisi 18-24 September 2017
DIterbitkan dalam majalah SINDOWEEKLY edisi 18-24 September 2017
Komentar
Posting Komentar