Poros Maritim Dunia Ala Negeri Tiongkok
Tidak
terasa sudah tiga tahun pemerintah menerapkan kebijakan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun, keriuhan
slogan tersebut seolah sayup. Bisa jadi ini perasaan subyektif penulis. Siapa tahu
pemerintah sudah menerapkan slogan tersebut bak kapal selam yang menyelam jauh menyusuri
seluruh kebijakan dan program yang dijalankan pemerintah.
Misalnya,
kapal selam itu muncul secara tiba-tiba di wilayah belakang pertahanan musuh dan
tepat menghancurkan center of gravity.
Mudah-mudahan poros maritim dunia ini bisa berhasil selama Presiden Joko Widodo
berkuasa. Kalau belum, bisa berlanjut di periode kedua nanti.
Sayangnya,
harapan akan kedigdayaan poros maritim itu sulit terwujud. Kalau boleh dibilang
mustahil terlaksana. Dari diskusi ratusan jam penulis dengan puluhan pakar kemaritiman
sejak visi Presiden tersebut diluncurkan hampir semuanya sepakat bilang bahwa poros
maritim memiliki kelemahan mendalam (embedded
weakness) yang sulit diterapkan. Lantas, bagaimana dengan program tol laut?
Bukankah ia sudah berjalan dan diklaim sudah mampu menekan disparitas harga
antara kawasan barat Indonesia dan timur Indonesia? Betul. Namun, jujur saja,
tanpa poros maritim dunia, konektivitas yang menjadi misi utama program tersebut
akan berjalan dengan sendirian.
Sebab
ada adagium dalam bisnis pelayaran dunia yakni ship follows the trade. Tanpa perlu disuruh kapal akan bergerak ke
pelabuhan di mana pun sejauh ada komoditas yang bisa diangkut. Apalagi bila pasokan
komoditas itu cukup tersedia sehingga kapal bisa rutin bersandar.
Kenyataannya,
program tol laut melawan hukum fisika pelayaran. Yakni bisa memberikan subsidi
kepada pelayaran yang mengarungi daerah yang tidak memiliki komoditas yang bisa
diangkut ke Jawa atau pulau terdekat. Imbasnya, nilai subsidi tersebut sudah
menyentuh angka ratusan milyar rupiah.
Semua pada kompak
Kehadiran
negara di laut itu digenapi dengan mendirikan ‘rumah kita’ di daerah untuk
menghimpun komoditas yang akan diangkut armada tol laut. Lagi-lagi, program ini
dinilai tidak berhasil.
Kalau
menyebut kebijakan poros maritim dunia masih sayup-sayup terdengar, seperti apa
parameternya? Supaya jelas, ada baiknya kita dengan kebijakan poros maritim dunia
milik China. Nah, visi negeri Tirai Bambu itu adalah belt and road initiative, disingkat BRI. Sebelumnya, istilah untuk
program yang digagas Presiden Xi Jinping itu disebut one belt one road (OBOR).
Penggantian
istilah dilakukan untuk mereduksi kesalahan interpretasi yang melekat pada OBOR
sejak pertama meluncur. Misalnya, kata one
dalam singkatan ini cenderung dilihat sebagai satu pilihan. Dengan persepsi ini
terbangun pula kompetisi yang tidak sehat. Adapun istilah BRI dipilih China untuk
menunjukkan kesan mereka terbuka terhadap masukan dari para mitra agar tak terkesan
China sentris.
Maklum
belt and road initiative (BRI)
bertumpu pada dua kaki, yaitu silk route economic
dan 21st-century maritime silk route.
Istilah yang pertama mengacu kepada jaringan konektivitas modern –dalam hal ini kereta api- di atas
Jalur Sutra klasik. Sementara yang kedua merujuk jalur pelayaran/pelabuhan yang
pernah ditempuh oleh Laksamana Chen He.
Menurut
catatan sejarah, sang laksamana memulai ekspedisi dari Nanjing (Ibukota China
kuno) hingga ke Mombasa di Afrika. Dalam perjalanannya sempat singgah di
kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Terlihat
ada hal menarik bila meneropong poros maritim dunia ala negeri Tirai Bambu yang
menjadi pembeda antara poros maritim dunia ala Indonesia. Pertama, visi China didukung data kompilasi dari berbagai
kementerian atau lembaga terkait serta pemangku kepentingan lainnya.
Selanjutnya, data ini diolah di National Marine Data and Information Service
(NMDIS).
Lembaga
ini diklaim berhasil membuat gross ocean product
(GOP) yakni formulasi penghitungan GDP berbasis kelautan. China mengklaim
mereka satu-satunya negara yang berhasil dalam hal ini.
Kedua,
terjadi sinergi yang kompak antar instansi pemerintah di China. Bila kita
berdiskusi dengan semua instansi China pada hari ini, maka para pejabat bakal menyisipkan
visi belt and road initiative disertai
dengan penjelasan yang seragam.
Last but not least,
korporasi Tiongkok akan melengkapi upaya itu dengan investasi atau proyek di
bawah payung BRI.
Diterbitkan dalam harian KONTAN edisi Kamis, 20 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar