Hikmah di Balik Kasus Penyanderaan ABK
Usai
sudah drama penyanderaan anak buah kapal (ABK) kapal-kapal berbendera Indonesia
oleh kelompok Abu Sayyaf. Empat belas ABK dari dua kali operasi penculikan yang
dilancarkan oleh kelompok tersebut sekarang sudah berkumpul kembali dengan
keluarganya. Ada di antara mereka bahkan diberitakan oleh media telah melaut
lagi. Urusan yang tersisa dari drama penculikan itu adalah bagaimana seluruh stakeholder kemaritiman di Tanah Air
mengupayakan agar kasus penculikan atau ancaman keamanan maritim lainnya, bisa
ditekan.
Namun,
sebelum mengetengahkan pilihan-pilihan untuk memitigasi ancaman penculikan ABK
di masa depan, ada baiknya memahami terlebih dahulu apa yang sesungguhnya
terjadi di balik aksi penculikan itu. Penculikan hanyalah gejala (symtom) dari sebuah penyakit yang
bernama terorisme maritim. Ancaman terorisme ini muncul taklama setelah
runtuhnya menara kembar WTC di AS pada 9 September 2001. Jika pesawat bisa
pergunakan sebagai senjata yang mematikan, maka kapalpun dapat pula
dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.
Keterlibatan
kelompok Abu Sayyaf dalam terorisme maritim bukan hal baru. Sejarah mencatat,
kelompok inilah di balik pengeboman Superferry 14 yang meledak di Teluk Manila
pada 26 Februari 2004. Pada awalnya ledakan besar yang terjadi di atas kapal
bertipe ro-ro itu dinilai sebagai murni ledakan dari kenderaan yang diangkut
feri. Namun, setelah diselidiki lebih jauh ternyata ledakan tersebut berasal
dari bahan peledak trinitrotoluene (TNT). Penyelidikan berhasil pula mengungkap
pelaku pengeboman, yaitu Redendo Cain Dellosa.
Kepada
para investigator yang menanyainya, Redendo mengatakan bahwa ia diminta oleh
kelompok Abu Sayyaf untuk meledakkan Superferry 14. Investigator meyakini
bahwa Redendo dikontrak oleh kelompok itu karena operator feri tersebut, William,
Gothong & Aboitiz (WG&A), telah menolak permohonan ‘jatah preman’ yang
diminta kelompok Abu Sayyaf.
Selain
kelompok asal Filipina itu, ada berbagai kelompok lain yang beroperasi di
kawasan Asia Tenggara. Keberadaan mereka tidak permanen seperti kelompok Abu
Sayyaf. Mereka beroperasi
jika ada order. Kelompok-kelompok ini beroperasinya adalah Selat Malaka dan
Selat Singapura dan anggotanya sebagian besar berdomisili di Batam, Kepulauan
Riau.
Berbeda
dengan taktik kelompok Abu Sayyaf - kapal tidak ditahan, muatan tidak diambil,
hanya menyandera ABK – kelompok-kelompok Selat Malaka dan Selat Singapura lebih
memilih muatan dibanding kapal dan ABK. Hanya satu kesamaan di antara dua tipe
kelompok terorisme maritim ini: sama-sama mengejar keuntungan finansial.
Pengawalan kapal
Apa
yang bisa dilakukan untuk menekan ancaman terorisme maritim? Pertama, yang diterapkan di atas
kapal. Sudah saatnya
untuk mengawal kapal-kapal yang melayari perairan rawan terorisme maritim
dengan menempatkan satuan pengamanan bersenjata independen atau private armed security guard di atas
kapal.
Opsi
pengawalan kapal sudah pernah dimunculkan oleh Presiden Joko Widodo. Namun,
pengawalan yang ia maksudkan adalah dengan menempatkan pasukan TNI/Polri di
atas kapal. Saran Presiden
ini dapat dilaksanakan dengan mudah jika kapal yang dikawal berlayar dalam
perairan teritorial Indonesia. Ceritanya akan amat berbeda manakala kapal yang
ditumpangi pasukan TNI/Polri itu berlayar ke perairan teritorial negara lain.
Private armed security
guard karenanya merupakan pilihan yang jauh
lebih tepat dibanding kebijakan moratorium pengapalan batu bara ke Filipina –yang
kemudian direvisi dengan moratorium melalui jalur pelayaran rawan- yang dijalankan oleh
pemerintah. Moratorium ini menimbulkan kerugian bagi operator tug and barge sekitar US$ 6 juta. Di samping itu,
satpam bersenjata ini tidak akan menimbulkan komplikasi serius dalam hubungan
diplomatik.
Kedua, dilakukan oleh Negara bendera (flag state), port state,
maupun coastal state. Caranya dengan patroli terkoordinasi antarnegara pantai,
dalam hal ini Indonesia, Malaysia dan Filipina. Mekanismenya bisa meniru
kerjasama serupa yang sudah berjalan selama ini di Selat Malaka. Dalam patroli
terkoordinasi di selat itu,
TNI AL, RMN dan RSN berpatroli di perairan teritorial masing-masing. Sayangnya,
patroli terkoordinasi di Selat Malaka ini belum efektif dalam mengurangi
ancaman terorisme maritim karena tidak ada kewenangan mengejar lintas batas (hot pursuit) bagi ketiga angkatan laut
tersebut.
Dimuat dalam koran KONTAN edisi Kamis, 26 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar