Menata Ulang Keselamatan Pelayaran
Kecelakaan kapal kembali terjadi di perairan
Indonesia, tepatnya di perairan Teluk Lamong, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Kali ini kapal yang nahas adalah KM Wihan Sejahtera,
feri yang melayani rute Surabaya-Ende, NTT. Syukurlah tidak ada korban meninggal
dalam kecelakaan itu.
Kapal Motor Wihan Sejahtera tersebut tenggelam di
depan Dermaga Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur, pada Senin, 16 November 2015,
sekitar pukul 09.30 WIB. Kapal itu mempunyai panjang 140 GT, dengan kode 9.786
dan berangkat dari Surabaya dengan tujuan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) kini
sedang menginvestigasi sebab-sebab
terjadinya kecelakaan kendati jika kelak terungkap, publik pun tidak akan tahu
banyak apa yang sesungguhnya terjadi, karena hasil investigasi lembaga
keselamatan itu tidak akan dipublikasikan. Begitulah aturannya.
Penulis tidak hendak mengomentari KNKT yang teramat
teknis dalam kerjanya itu. Biarlah mereka bekerja dengan tenang. Penulis
mencoba menyoroti aspek yang lebih makro, yaitu manajemen keselamatan palayaran
nasional.
Isu yang satu ini terkesan berada dalam posisi yang
relatif jauh dan jarang dipertimbangkan manakala terjadi kecelakaan kapal.
Dalam bahasa lain, kecelakaan kapal yang terjadi tidak ada sangkut pautnya
dengan manajemen keselamatan pelayaran yang saat ini berlaku. Itu murni
kelalaian ABK atau perusahaan tempat mereka bekerja.
Benarkah kecelakaan kapal yang terjadi di Indonesia
semata-mata disebabkan oleh kelalaian ABK dan perusahaan mereka yang cenderung
lebih mencari keuntungan dengan mengabaikan aspek keselamatan pelayaran?.
Tidakkah regulator juga memiliki saham, bahkan bisa
jadi lebih besar, dalam setiap kecelakaan kapal yang terjadi?
Kondisi kekinian
Sebagai "flag state", keselamatan
pelayaran di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah dan pengelolaannya
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian
Perhubungan.
Pada level operasional, keselamatan pelayaran
dijalankan oleh syahbandar yang bekerja di pelabuhan, baik yang dikelola oleh
BUMN kepelabuhan maupun swasta atau dikenal dengan istilah terminal untuk
kepentingan sendiri (TUKS).
Syahbandar Ditjen Hubla juga ada di pelabuhan
penyeberangan yang secara administratif berada di bawah Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat.
Di pelabuhan perikanan yang menjadi ranahnya
kementerian Kelautan dan Perikanan pun ada Syahbandar Ditjen Hubla. Selama ada
kapal di sebuah pelabuhan, siapa pun pengelolanya (di luar pangkalan laut
militer), di situ ada Syahbandar Ditjen Hubla.
Jika manajemen keselamatan pelayaran tadi ditarik
sedikit ke belakang, maka pengelolaan keselamatan pelayaran oleh Ditjen Hubla
berwujud dalam bentuk pengawasan pembangunan baru (new building) kapal-kapal
berbendera Indonesia di galangan dalam negeri maupun di delapan penjuru mata
angin.
Juga, ketika sebuah kapal berbendera asing dan
hendak dibenderakan Merah Putih alias "reflagging".
Sebagian tugas pengawasan ada yang didelegasikan
kepada badan klasifikasi nasional, PT Biro Klasifikasi Indonesia, dikenal
dengan istilah "mandatory survey" yang mencakup hull, machineries dan
electricity, sedangkan "survei statutory" masih dilakukan oleh marine
surveyor Ditjen Hubla.
Penataan ulang
Mengapa mekanisme keselamatan pelayaran yang ada
perlu ditata ulang? Karena tidak ada check and balances di dalamnya. Jika
pekerjaan yang dilakukan oleh PT BKI bisa diawasi oleh Ditjen Hubla, lalu
"who audits the marine inspector?"
Jawabannya tentu saja pihak Ditjen Hubla sendiri
yang mengawasi para marine inspector-nya. Tetapi, karena sesama personel Hubla
tentunya pengawasan ini bisa jadi berjalan tidak efektif karena ada jiwa korsa
yang dinomorsatukan.
Banyak cerita bagaimana jiwa korsa itu dilaksanakan.
Misalnya, kondisi kelaiklautan sebuah kapal yang sebenarnya tidak laik tetapi
tetap saja bisa berlayar karena syahbandar memberikan surat persetujuan
berlayar (SPB) karena barangkali ia dapat "titip salam" dari temannya
yang berada di kantor pusat Ditjen Hubla.
Ada pula kisah bagaimana kapal tua ketika
di-reflagging menjadi lebih muda 10 tahun dari tahun pembuatannya. Untuk
mengetahui usia sebuah kapal, caranya relatif mudah. Lihat saja nomor IMO-nya.
Jika nomor IMO sebuah kapal adalah 85123XXX, berarti kapal ini dibuat pada
tahun 1985.
Penataan ulang manajemen keselamatan pelayaran
penulis usulkan mencakup beberapa hal. Pertama, menyerahkan survei statutory
seluruhnya kepada PT BKI.
Dengan pendelegasian penuh ini akan jelas garis
pertanggungjawaban para pihak terkait manakala terjadi kecelakaan kapal. Di
samping itu, dengan kebijakan ini BUMN tersebut bisa makin mendapat leverage di
komunitas klasifikasi global (IACS).
Kedua, menyapih syahbandar dari Kemhub dan
menjadikannya instansi independen. Dengan posisi syahbandar yang berada di
bawah Ditjen Hubla jelas ia tidak akan bisa menjalankan pekerjaan dengan baik.
Ia sangat rentan "ditelepon" oleh pejabat
Kemhub yang lebih tinggi posisinya agar memberikan dispensasi kepada kapal
tertentu. Syahbandar hanyalah pejabat eselon II a di Kemhub.
Independensi syahbandar sebetulnya memiliki akar
dalam sejarah maritim nasional. Pada era 60-an, ketika suatu daerah tidak
memiliki syahbandar, posisi itu bisa dirangkap oleh kepala daerah yang
bersangkutan.
Dimuat di AntaraNews (http://www.antarajatim.com/lihat/berita/169526/menata-ulang-keselamatan-pelayaran#)
Komentar
Posting Komentar