Catatan Kecil untuk Pansus Pelindo II
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya menggenapkan niat mereka untuk mengetahui
apa yang sesungguhnya terjadi di balik heboh PT Pelindo II beberapa waktu lalu dengan
membentuk panitia khusus atau pansus. Sebelumnya, sudah terlebih dulu dibentuk
panitia kerja alias panja oleh Komisi VI yang membidangi BUMN.
Heboh
PT Pelindo II dimulai dengan penggerebekan ruang kerja direktur utama BUMN
kepelabuhanan itu oleh tim detektif Polda Metro Jaya. Dari sana sejumlah dokumen-dokumen
miliknya disita. Tidak hanya sampai di situ. Mereka juga menyegel sejumlah alat
bongkar-muat berjenis harbor mobile crane
(HMC) yang terindikasi tindak korupsi dalam pengadaannya. Sejurus kemudian
terjadilah keriuhan, paling tidak di media, yang berujung dengan pergantian
Kabareskrim Komjen Budi Waseso.
Pada
titik itulah DPR RI merasa perlu membuat pansus atau panja untuk mendalami
‘cerita di balik fakta’ dan ini sah-sah saja karena merupakan bagian dari tugas
pengawasan terhadap pemerintah, termasuk BUMN-nya.
Menyimak
prelude pansus PT Pelindo II di atas, yang menjadi fokus masalah adalah tata kelola
di perusahaan pelat merah itu yang oleh kalangan anggota DPR dipersepsi sarat
KKN dan tentunya merugikan negara. Dari pernyataan anggota DPR yang kini
menjadi anggota pansus di media, ada tiga hal yang telah dilakukan oleh PT
Pelindo II dan bermasalah menurut aturan perundang-undangan.
Pertama,
perpanjangan kerja sama antara perusahaan tersebut dan Hutchison Port Holding
(HPH) dalam pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal/JICT. Kedua, perjanjian konsesi dengan
Kementerian Perhubungan yang tidak dilakukan oleh PT Pelindo II ketika
memperpanjang kerja samanya dengan HPH. Dan, ketiga, masalah dwelling time
yang masih lama.
Bagaimana
kondisi ketiga masalah tadi? Perpanjangan kerja sama antara PT Pelindo II dan
HPH dalam pengelolaan PT JICT menempatkan BUMN kita sebagai pemegang saham
mayoritas, yakni 51 persen. Pada giliran selanjutnya akan mendorong penerimaan
tahunan PT Pelindo II naik lima kali lipat dari US$ 60 juta/tahun menjadi US$ 292
juta/tahun.
Perinciannya
begini. Harga sewa lahan yang dibayar oleh HPH saat ini adalah US$ 60
juta/tahun. Dengan amandemen kerja sama yang baru harga sewa tersebut naik
menjadi US$ 120 juta/tahun. Lalu, ada potensi pendapatan sebesar US$ 27
juta/tahun dari pengoperasian terminal II oleh PT Pelindo II sendiri. Tak
ketinggalan, terbuka pula potensi pendapatan tambahan sebesar US$ 10
juta/bulan. Last but not least, PT
Pelindo II akan mengantongi USD 85 juta/tahun sejak perjanjian kerja sama yang
baru ditandatangani.
Persoalan tata kelola
Terkait
konsesi dengan Kementerian Perhubungan yang tidak dilakukan oleh PT Pelindo II
ketika memperpanjang kerja samanya dengan HPH, hal ini sejatinya tidak perlu.
Karena, konsesi hanya diberikan kepada terminal/pelabuhan baru. Sementara,
terminal peti kemas yang berada di bawah pengelolaan PT JICT merupakan
fasilitas existing. Ada pun dasar
hukumnya adalah UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 344 Ayat 3, yang
berbunyi “Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara
dimaksud.”
Dalam
PP 61 Tahun 2009 mau pun PP yang lebih baru, PP 64 Tahun 2015 tentang
Kepelabuhanan Pasal 165 Ayat 3 tidak perlunya konsesi juga diatur.
Sementara,
persoalan dwelling time lebih banyak
disebabkan oleh proses pre-clearance yang
rumit yang menelan porsi 50% hingga 60% (3 hari) dari keseluruhan proses yang
masih sekitar 6 hari. Salah satu pangkal kerumitan ini adalah belum semua
instansi yang terkait tergabung ke dalam Indonesia National Single Window atau
INSW. Mereka masih mengandalkan sistem manual dan bersifat tatap muka.
Dalam
bahasa lain, dwelling time merupakan
masalah tata kelola, bukan masalah infrastruktur fisik. Bank Dunia mengamini
kondisi ini melalui survei terbaru mereka Improving
Indonesia’s Freight Logistics System: A Plan of Action. Lembaga tersebut
menemukan bahwa tingginya biaya logistik bukan disebabkan oleh tingginya biaya
transportasi (fisikal). Namun, lebih karena tingginya value of time (non-fisik). Ini berarti jika mengirim barang ke
bagian timur Indonesia, biaya transpor 1,6 hingga 6 persen dari nilai barang
yang diangkut. Di sisi lain, value of
time menelan 18 persen dari nilai barang yang diangkut.
Dimuat dalam harian KONTAN, 2 November 2015
Komentar
Posting Komentar