Internasionalitas Aktor Bisnis Pelabuhan
Suhu
politik kepelabuhanan atau port politics
di bandar terbesar di Indonesia, Tanjung Priok, relatif galau belakangan ini.
Belum rapi benar masalah dwelling time
yang membuat Presiden Joko Widodo meradang, kini muncul polemik antara serikat
pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dan PT Pelabuhan
Indonesia II.
Mereka menuding perusahaan induk yang menaungi operator terminal peti kemas itu tidak mempercayai kemampuan putera-puteri bangsa mengelola terminal peti kemas. Sehingga Pelindo II memperpanjang kerjasama dengan Hutchison Port Holding (HPH) dalam manajemen JICT.
Serikat Pekerja JICT mengklaim mampu mengelola
terminal peti kemas, mulai dari mendatangkan kapal-kapal asing hingga
pelayanannya sesuai standar yang berlaku di kalangan terminal peti kemas
internasional. Karena itu, tidak diperlukan lagi keterlibatan pihak asing
dalam pengelolaan terminal peti kemas di Tanjung Priok.
Pertanyaannya
kini, bagaimanakah model pengoperasian terminal-terminal peti kemas di dunia
saat ini? Tepatkah membenturkan antara operator lokal dan operator asing dalam
bisnis pelabuhan yang sangat mengglobal? Di manakah letak nasionalisme dalam bisnis pelabuhan?
Kehadiran terminal peti kemas di pelabuhan di seluruh dunia menyusul
diperkenalkan unitisasi komoditas umum (general
cargo) ke dalam peti kemas pada era
1960an. Unitisasi barang-barang yang diangkut kapal sebelumnya memang sudah
dikenal, hanya saja masih terbatas dalam bentuk karung, palet dan lain
sebagainya. Ide menggunakan kemasan baja untuk menampung komoditas itu
diadopsi dari industri kereta api AS yang telah lebih dahulu menggunakannya
(Stopford, 1997).
Pengapalan
peti kemas pertama berlangsung pada 1956 dengan mengambil rute New
York-Houston. Dua tahun kemudian, pengiriman barang-barang dari California
menuju Hawaii. Dengan itu, dimulailah era kontainer. Menyikapi
revolusi dalam bisnis pelayaran tersebut, negara pelabuhan mulai
membangun terminal peti kemas di bandar-bandar mereka.
Indonesia
tidak tinggal diam dalam gelora kontainerisasi. Pada 20 Mei 1981, beroperasi terminal
peti kemas pertama di Indonesia berlokasi di Pelabuhan III Timur Tanjung Priok.
Dibangun dengan dana, tenaga serta pemikiran anak bangsa sendiri, throughput terminal ini bertengger di
kisaran 1 juta plus TEUs sebelum bermitra dengan operator asing pada 1999.
Kuncinya sustainability
Di
negara lain, pembangunan terminal kontainer langsung dilakukan oleh operator
pelayaran atau terminal peti kemas karena negara yang bersangkutan tidak
memiliki dana atau tidak mau direpotkan dengan pemasaran. Sepertinya, tidak ada masalah dengan nasionalisme dalam pelibatan modal asing untuk membangun fasilitas itu.
Aspek
internasionalitas aktor memang dari awal sangat kental dalam pengelolaan
terminal peti kemas. Ini wajar karena terminal ini merupakan simpul pertemuan
antara pelayaran, pemilik barang dan pihak lainnya. Pelayaran perlu memastikan
bahwa ada cukup peti kemas untuk dimuat ke atas kapal mereka, sehingga
kontinuitas bisnis dapat sustainable.
Demi mencapai target ini tak jarang pelayaran peti kemas mendirikan sayap
bisnis khusus terminal. APM Terminals milik Maersk adalah salah satu contohnya.
Bagi pemilik barang (shipper)
operasional terminal peti kemas yang cepat, efisien dan berbiaya kompetitif
merupakan hal penting dalam sistem rantai pasok atau supply chain. Sehingga, tidak jarang mereka menanamkan pula sahamnya dalam perusahaan terminal
peti kemas. Kata kuncinya adalah sustainability.
Sebagai
salah satu negara yang bermitra dengan investor asing dalam pengoperasian
terminal peti kemas Indonesia juga perlu sustainability.
Negeri ini perlu memastikan bahwa apa yang sudah dicapai oleh terminal peti
kemas dalam kelolaan JICT dapat bertahan hingga seterusnya. Jika kemitraan yang
sudah berlangsung itu berakhir, kita terpaksa harus memulainya dari nol
kembali. Belum lagi alat-alat bongkar muat yang tidak performed karena tidak terawat karena biaya tinggi.
Memulai
kembali dari awal untuk terminal peti kemas yang pernah dioperasikan oleh pihak
asing bukan hal yang mudah. Pasalnya, pengguna jasa sudah terbiasa dengan service level tertentu. Jika operator
baru standar itu tidak bisa mempertahankan standar itu, terminal
kita tidak lagi disandari oleh pelayaran besar. Kalau begini, siapa
yang rugi?
Dimuat dalam koran KONTAN, Kamis 23 Juli 2015
Komentar
Posting Komentar