Mengkritisi Wacana Pendirian BLU Pelabuhan
Dengan
pilihan kata dan susunan kalimat yang terkesan jutek seperti biasa, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengabarkan
melalui media bahwa tertutup sudah peluang keterlibatan berbagai pihak yang
ingin mengelola pelabuhan-pelabuhan nonkomersial di seluruh Indonesia. Pelabuhan-pelabuhan
itu nantinya akan dikelola oleh badan layanan umum (BLU), katanya.
Apa yang dinyatakan Menhub di atas adalah
perwujudan politik pelabuhan (port politics) nasional. Ia akan menjadi rujukan bagi para stakeholder kepelabuhanan untuk, paling tidak, lima tahun ke depan.
Pemangku
kepentingan di sektor kepelabuhanan nasional tidak asing dengan port politics dan mantan direktur utama
KAI itu bukanlah satu-satunya pejabat publik yang bermain politik di pelabuhan.
Pelabuhan sejatinya bukanlah daerah yang steril dari hiruk-pikuk politik.
Sejarah nasional pun menyajikan beragam cerita
terkait kebijakan politik di bidang pelabuhan yang dijalankan oleh rezim yang
berkuasa, mulai dari zaman kolonial Belanda hingga era Presiden SBY.
Pada
zaman Belanda misalnya, pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia, sesuai kesepakatan
antara Belanda dan Inggris yang tertuang dalam Treaty of London, hanya melayani
kapal-kapal dari jajahan Belanda. Sedangkan kapal-kapal dari koloni Inggris
dilayani di Singapura. Kedua pihak sepakat untuk tidak mengganggu eksistensi
pelabuhan yang ada dalam wilayah masing-masing. Dari perjanjian tersebut kita
bisa menilai bahwa pelabuhan-pelabuhan nasional “disengaja” dikecilkan.
Kini,
dengan keinginan mendirikan BLU pelabuhan, pemerintahan Presiden Joko Widodo juga
telah menorehkan catatan sejarah port
politics. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kebijakan pelabuhan yang
diformulasi oleh Menhub harus dipahami?
KELEMAHAN KONSEP
Ada
beberapa catatan yang bisa dikemukan untuk mengkritisi kebijakan tersebut. Pertama, pendirian BLU pelabuhan
menjadikan bisnis pelabuhan yang semula bonafid karena membutuhkan modal besar
untuk menjalankannya kini berubah menjadi bisnis kacangan.
Memang, segala hal terkait pendirian BLU pelabuhan hingga
sekarang belum jelas tetapi dari pengemasan pesan atau encoding ide itu oleh pejabat Kemenhub di muka publik terkesan
bahwa pendiriannya semudah membangun usaha angkutan perkotaan (angkot).
Kedua,
rencana pendirian BLU pelabuhan tidak memiliki fokus usaha atau line of business yang jelas. Dari 2.000 lebih
pelabuhan di bawah pengelolaan Kemenhub yang nantinya akan dikelola oleh BLU, jenis
kegiatannya beragam; ada pelabuhan barang, pelabuhan penumpang atau gabungan
keduanya.
Tidak ada penjelasan, apa lagi peta jalan, mau dijadikan apa
pelabuhan-pelabuhan itu kelak. Yang juga kurang jelas adalah bagaimana hubungan
pelabuhan BLU dengan pelabuhan komersial dan terminal untuk kepentingan sendiri
(TUKS) jika kenetulan berada dalam kawasan yang sama.
Ketiga,
model badan hukum BLU berpeluang memicu praktik fraud/hazard dari sisi
keuangan negara yang bisa berujung korupsi. Kasus korupsi bus Transjakarta
merupakan contoh nyata bagaimana badan hukum BLU sangat rentan fraud. Dalam kasus tersebut, jumlah dana
korupsi yang ditilep oleh pelaku
mencapai lebih dari 1 triliun rupiah. Ini baru satu BLU.
Anda bisa bayangkan jika BLU yang akan didirikan
oleh Kemenhub sebanyak jumlah pelabuhan yang mereka kelola – lebih dari 2.000 pelabuhan
– berapa triliun rupiah yang akan tertelan jika terjadi hazard?
Tindak
korupsi kemungkinan akan berasal dari pembelian alat bongkar-muat (gantry crane, jib crane dan lain sebagainya) atau pengadaan kapal tunda atau tug boat. Alat-alat ini harganya tidak
seperti angkot yang berkisar antara 100-200 juta rupiah per unit; satu crane bisa dibanderol 10-20 milyar
rupiah, tergantung negara produsen sementara tug boat bisa menyundul 100 miliyar per kapal dengan spesifikasi
standar.
BANYAK MUDARAT
Sepertinya
akan lebih banyak mudarat dari pada
manfaat rencana pendirian BLU pelabuhan oleh Kemenhub. Tentang manfaat yang
akan diperoleh, tidak ada satu pun ancer-ancer
yang disampaikan oleh pejabat Kemenhub mengenai seberapa besar nilai pendapatan
bukan pajak (PNBP) yang akan diperoleh BLU.
Singkat
cerita, gagasan pendirian BLU masih teramat kasar dan sepertinya keluar begitu
saja tanpa didahului oleh kajian yang cukup. Kita berharap jika gagasan ini
akan ditindaklanjuti, Kemenhub sebaiknya melakukan kajian yang mendalam dengan
melibatkan berbagai pihak.
Di samping itu, karena akan mempengaruhi keuangan
negara, DPR juga harus dilibatkan dalam pembahasan pendirian BLU.
Bila
hasil kajian menyatakan bahwa gagasan pendirian BLU tidak tepat, Kemenhub
sebaiknya berbesar hati untuk menghentikan rencana itu. Serahkanlah urusan
pengelolaan pelabuhan kepada pihak-pihak yang sudah berpengalaman, baik dari
kalangan BUMN mau pun swasta nasional.
Sejalan dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi
Asea (MEA) tidak ada waktu lagi untuk belajar mengelola pelabuhan. Pelabuhan
adalah etalase kita, jangan sampai ia menjadi potret buram karena dikelola
tidak efisien dan tidak profesional.
Diterbitkan dalam koran BISNIS INDONESIA, Kamis, 9 April 2015
Komentar
Posting Komentar